Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dr. Angka, Kuliah 8 Tahun Bisa Lulus "Cum Laude"?

30 November 2016   15:00 Diperbarui: 30 November 2016   21:36 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan wajah Dr. Angka di Museum Kebangkitan Nasional. (Foto: BDHS)

Dokter Angka atau lengkapnya dr. Raden Angka Prodjosoedirdjo, mungkin bukan nama yang dikenal masyarakat luas. Bahkan bagi penduduk di sekitar Purwokerto, Jawa Tengah, di mana terdapat Jalan Dr. Angka, bisa jadi mereka pun tak tahu siapa orang yang menjadi nama jalan di sana.

Nama dr. Angka memang sangat jarang disebut dalam buku dan kisah sejarah Indonesia. Dua sejarawan Universitas Indonesia, Prof. Dr. Djoko Marihandono dan Dr. Yuda B. Tangkilisan, yang menjadi pembicara dalam diskusi tokoh dr. Angka di Museum Kebangkitan Nasional, Jalan Kwini, Jakarta Pusat, pada Rabu, 30 November 2016, juga mengakui bahwa namanya kurang dikenal dalam banyak buku dan kisah sejarah Indonesia. Sebagai informasi tambahan, gedung Museum Kebangkitan Nasional itu adalah bekas gedung STOVIA, sekolah kedokteran Jawa yang melahirkan banyak tokoh dalam sejarah nasional Indonesia.

Yuda Tangkilisan antara lain mengutip karya Indonesianis – ahli tentang Indonesia – asal Jepang, Akira Nagazumi, yang meneliti tentang perkumpulan Boedi Oetomo (BO), sama sekali tak menyinggung mengenai nama dr. Angka. Padahal dr. Angka termasuk dalam deretan sembilan pendiri BO, yang berdiri pada 20 Mei 1908. Tanggal yang kemudian dijadiikan tanggal Hari Kebangkitan Nasional dan diperingati setiap tahunnya.

Di dalam organisasi BO yang didirikan para mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA pada zaman Hindia-Bekanda tersebut, dr. Angka menjabat sebagai bendahara. Disebutkan oleh Djoko maupun Yuda, pemilihan dr. Angka sebagai bendahara  antara lain karena dia seorang yang pendiam namun teliti. Dari penelusuran kedua sejarawan tersebut, didapat data dr. Angka juga tidak pernah melibatkan dalam politik. Ketika BO berubah menjadi organisasi politik, banyak anggota yang mengundurkan  dari kepengurusan dan kembali menekuni bidang kedokteran.

Lebih banyak bergerak di bidang sosial, antara lain dengan membantu mengatasi penyebaran penyakit menular, Dr. Angka benar-benar mengabdikan hidupnya untuk menolong orang lain. Bahkan ketika rumah sakit tempatnya bekerja di Boyolali dan Pemalang hampir ditutup karena Pemerintah Hindia-Belanda tak kuat membiayai, sampai kemudian diambil alih oleh Zending (misi pekabaran Kristiani), Dr. Angka tetap bekerja. Dia tak mempedulikan siapa yang membiayai rumah sakit, baginya seperti dikatakan Djoko Marihandono, prinsip dr. Angka adalah “yang penting masyarakat harus dibuat sehat”.

Bisa jadi ini juga penyebab namanya kurang dikenal. Pendiam dan tak bergerak dalam bidang politik, sedikit banyak membuat namanya tak banyak dicatat dalam sejarah. Begitu sedikitnya data yang dimiliki tentang dr. Angka, sampai Yuda Tangkilisan membuat makalah dengan mencantumkan tulisan tambahan “Sebuah Kajian Awal”. Baginya, makalah tersebut barulah kajian awal untuk dikembangkan lebih lanjut.

Di antara bahasan dari kedua sejarawan tersebut, yang menarik untuk diamati antara lain mengenai lamanya kuliah Dr. Angka di STOVIA. Disebutkan oleh Djoko, dr. Angka yang dilahirkan 13 Desember 1897 di Madukara, Banyumas, Jawa Tengah, masuk STOVIA pada 1904, lulus sebagai dokter pada 30 Juli 1912.

Kelulusannya sangat memuaskan dengan predikat “cum laude”. Atas prestasinya itu, dr. Angka menerima tanda penghargaan berupa jam saku berantai emas,lengkap dengan gantungannya berbentuk kuku macan. Hal ini menjadi pertanyaan oleh peserta diskusi, mengapa pendidikan di STOVIA ditempuhnya demikian lama sampai 8 tahun. Padahal seperti dikatakan Djoko, sebelum 1899 pendidikan di STOVIA cukup ditempuh selama 5 tahun, dan sesudah itu ditambah setahun, menjadi 6 tahun.

Maka ini menjadi pertanyaan lagi, apakah mungkin seorang yang kuliah begitu lama bahkan melewati masa kuliah normal – yang pada 1960 sampai awal 1980-an dikenal dengan sebutan “mahasiswa abadi” karena belum lulus juga sementara teman-temannya sudah lama lulus – bisa mendapatkan predikat “cum laude”?

Bisa jadi memang tidak benar bahwa dr. Angka masuk STOVIA pada 1904, karena itu berarti dia baru berusia 7 tahun. Sedangkan kalau dia lulus 1912, berarti saat didirikan BO pada 20 Mei 1908 dia sudah tidak lagi menjadi mahasiswa STOVIA. Walaupun memang tidak tertutup kemungkinan lulusan STOVIA tetap dapat ikut mendirikan BO.

Namun, saya sendiri menduga ada kesalahan penulisan data. Kalau diambil angka 1921 sebagai tahun kelulusan dr. Angka (mungkin terjadi salah menulis yang seharusnya 1921 ditulis 1912), berarti saat lulus dr. Angka berusia 24 tahun. Usia yang cukup normal untuk lulusan STOVIA. Lalu bila dikurangi 6 tahun dari tahun 1921 sesuai dengan lama rata-rata studi di STOVIA, berarti didapat tahun 1915. Pada 1915 usia Angka adalah 18 tahun, cocok untuk masuk STOVIA.  Data-data ini juga lebih masuk akal, bahwa lulusan yang tepat waktunya memperoleh predikat “cum laude”.

Sedangkan mengenai namanya yang hanya terdiri dari dua suku kata “ang” dan “ka”, sementara orang Jawa terutama kaum bangsawan sebagaimana Raden Angka itu biasanya memiliki nama dengan tiga suku kata, sebagaimana dibahas oleh peserta diskusi, bisa jadi itu merupakan singkatan. Dia dilahirkan pada 13 Desember 1897 dan menurut pertanggalan Jawa itu adalah Selasa Kiwon. Bisa jadi namanya adalah singkatan dari Anggara (Anggoro) Kasih yang berarti Selasa yang mulia, sebagaimana Selasa Kliwon tadi.

Diskusi tersebut menunjukkan bahwa penelitian sejarah memang harus melibatkan banyak aspek dan bidang studi. Seperti contoh lain yang juga dikemukakan Yuda Tangkilisan ketika menunjukkan foto peserta Kongres I pada 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta. Di situ tidak ada penjelasan mengenai nama-nama peserta kongres yang terlihat pada foto. Tetapi Yuda mengambil studi ikonografi atau studi yang mempelajari identifikasi, deskripsi dan interpretasi isi gambar, sebagaimana sering dilakukan para arkeolog untuk mendeskripsikan arca-arca yang banyak dijumpai di candi-candi Indonesia, melihat foto profil dr. Angka dan berhasil mengidentifikasikan salah satu peserta kongres sebagai dr. Angka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun