Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nasib Ilmu dan Profesi Arkeologi Sebagai "Dunia yang Sepi"

4 November 2016   16:46 Diperbarui: 4 November 2016   19:28 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi arkeologi. Vidyaloka

Beberapa hari lalu, seorang teman sesama Pengurus Pusat Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), mengirim pesan WA kepada saya, “Bert, lu bikin rapat hari Jumat, 4 November. Mau rapat apa mau demo?”. Karena tahu pertanyaannya hanya becanda, saya pun menjawab, “Kita rapat dulu, abis gitu kita demo masak eh demo makan aja”.

Begitulah, Jumat ini kami tetap mengadakan rapat di salah satu ruangan di Gedung E Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bilangan Senayan, Jakarta. Lagi-lagi, sebelum dimulai rapatnya, “drama” imbas demo kembali terjadi. Beberapa teman terlambat hadir, karena susah mencari angkutan umum. Ada yang mau naik bus TransJakarta dari arah Dukuh Atas ke Senayan, ternyata sejak Harmoni sampai depan Bundaran HI, rute sudah ditutup. Jadi dia akhirnya memilih naik taksi.

Ini pun bukan soal mudah. Banyak taksi kabarnya yang memilih menghindari Jalan Thamrin-Sudirman. Itulah sebabnya juga, seorang teman yang rumahnya di bilangan Setiabudi, setelah berjalan kaki kea rah jalan besar untuk mencegat taksi namun tak ada satu pun, akhirnya pulang kembali ke rumah. Kali ini dia terpaksa mengemudikan mobilnya sendiri.

Tapi apa pun, rapat IAAI tetap berlangsung. Rapat dari suatu organisasi nasional profesi arkeologi yang mungkin belum begitu dikenal masyarakat luas. Walaupun IAAI telah ada sejak 1976, namun namanya bisa jadi kalah “beken” dibandingkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Ini terjadi karena dari segi jumlah, anggota IAAI memang jauh lebih sedikit dibandingkan IDI atau IAI.

Dari segi profesi pun, arkeologi tak salah bila dikatakan sebagai “dunia sepi”, dibandingkan profesi dokter atau arsitek. Rekan Kompasianer, Djulianto Susantio, beberapa kali mengeluh. Tulisan-tulisannya tentang arkeologi di Kompasiana, bila yang membaca lebih dari 100 orang saja sudah terhitung cukup banyak pembacanya. Sementara kalau dia menulis topik lainnya, bisa dibaca lebih dari 200-300 bahkan 1000 kali. “Kalau topiknya tentang politik atau judulnya yang sensasional, baru yang baca banyak,” tuturnya.

Itu terbukti dari tulisannya di Kompasiana berjudul “Mencari Arkeolog yang Mau Beramal Buku”. Diunggah pada 2 November 2016 pukul 19:57:40, sampai 4 November 2016 pukul 16:11:30, tulisan itu hanya dibaca sebanyak 37 kali, tanpa komentar, dan tanpa nilai sedikit pun. Oleh Admin Kompasiana pun hanya dianggap tulisan biasa, tidak dijadikan “Pilihan” apalagi “Headline”.

Djulianto ini memang “orang gila” pada arkeologi. Dia sengaja mendatangi instansi pemerintah atau swasta yang menerbitkan buku-buku, memintanya, kemudian menyumbangkan kembali buku-buku yang diterimanya melalui kuis-kuis ringan dengan pertanyaan seputar sejarah, purbakala, dan museum. Ongkos pengepakan dan kirim buku-buku itu ditanggungnya sendiri. 

Sungguh, dedikasi yang cukup hebat. Padahal, dia tidak bekerja di instansi yang terkait dengan arkeologi. Djulianto hanyalah seorang sarjana arkeologi UI yang menghidupi dirinya dengan menulis di berbagai tempat.

Itu pun kerap luput dari perhatian. Penyebabnya sekali lagi, arkeologi adalah “dunia sepi” yang tidak sexy – sengaja saya tulis seperti dan bukannya “seksi” karena bisa bermakna lain – dan hanya dianggap berkutat dengan masa lalu saja. Arkeologi atau secara mudah dijelaskan sebagai ilmu purbakala, memang suatu studi yang mempelajari masa lalu manusia sejak dari zaman prasejarah.

Istilah arkeologi sendiri berasal dari Bahasa Inggris “archaeology”. Suatu kata yang berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani, “archaeo” yang berarti kuno dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi, arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia masa lalu melalui kajian sistematis atas data tinggalan benda berupa artefak (benda-benda buatan manusia), ekofak (benda atau temuan alam dari lingkungan di dekat artefak atau situs), dan situs arkeologi (lokasi atau kawasan di mana ditemukan artefak dan ekofak),  yang masih tersisa.

Walaupun hanya mempelajari masa lalu melalui benda-benda zaman dulu yang masih tersisa, namun arkeologi menjadi penting. Bukankah kita juga sudah kenal ungkapan, “belajarlah dari kesalahan masa lalu untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, sebaliknya belajarlah dari hal positif masa lalu, agar dapat dipertahankan dan dikembangkan lebih baik lagi”.

Masa kini ada karena masa lalu, dan masa depan akan terjadi setelah melalui rangkaian masa lalu dan masa kini. Di tengah “ribut-ribut” tentang kecenderungan kurang menghargai antarsuku, antaragama, antarras, dan antargolongan di negara kita, bila kita cermati dari tinggalan-tinggalan masa lalu, sebenarnya pada masa lalu, banyak bukti yang menunjukkan betapa harmonisnya hubungan antarpenduduk di negeri ini. 

Justru karena keharmonisan itu, maka semangat gotong royong tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara. Tak heran bila puncak-puncak kebudayaan, seperti berdirinya Candi Borobudur, kebesaran Kerajaan Sriwijaya, serta kemegahan Kerajaan Majapahit, yang sampai kini diakui di seluruh dunia, dapat terwujud.

Bekal gotong royong dan persatuan itulah yang seharusnya terus dikembangkan. Dari masa lalu kita juga belajar, betapa karena nafsu serakah, ingin berkuasa, ingin mendapatkan uang banyak dengan cepat, maka antarsuku bangsa ini mudah dipecah belah. Akibatnya, negara kita jadi terjajah ratusan tahun. Hal itu tentunya jangan sampai terulang sekarang dan di masa depan. Kita harus belajar dari masa lalu, kita harus belajar untuk tetap bersatu dan jangan mudah dipecah belah dengan cara apa pun.

Arkeologi membantu kita mempelajari masa lalu untuk masa kini dan masa depan. “Dunia sepi” arkeologi tidaklah harus menjadi penghalang bagi arkeolog dan generasi muda yang ingin berkecimpung di dunia arkeologi untuk memasuki dan mempelajari masa lalu. 

Pada akhirnya, kegemilangan bangsa dan Tanah Air, serta majunya peradaban dunia yang sejahtera, aman, damai, sedikit banyak terbantu dengan hasil studi arkeologi. Jadi tetaplah berkarya para arkeolog, dan bagi generasi muda pastikan kalau minatmu mempelajari studi arkeologi, jangan ragu memasuki ranah pendidikan kepurbakalaan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun