Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Saya Hapus Tulisan Sendiri di “Kompasiana”

1 November 2016   21:32 Diperbarui: 1 November 2016   21:40 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang tadi, 1 November 2016, saya menghapus tulisan saya sendiri yang saya muat kemarin sore di Kompasiana. Padahal tulisan itu luar biasa jumlah pembacanya. Kalau biasanya tulisan saya paling dibaca antara 100 sampai 300 kali, maka tulisan itu dibaca sampai 2.444 kali, dengan 2 komentar dan 2 nilai. Dari segi statistik, sebenarnya tulisan itu membantu “menaikkan” peringkat saya di kalangan Kompasianer.

Ini catatan saya. Setelah tulisan tersebut ditayangkan di Kompasiana, data saya sebagai Kompasianer aktif mencapai 184 artikel, dibaca 61.418 kali, dengan 167 komentar, nilai 278, dan yang dijadikan “headline’ sebanyak 47 tulisan dan 146 dijadikan tulisan “pilihan”. Setelah saya hapus, maka jumlahnya menurun. Tercatat 183 kali, dibaca 58.980 kali, dengan 165 komentar, nilai 276, dan yang dijadikan “headline” tetap 47 tulisan, namun “pilihan”nya menjadi 145 tulisan.

Dari data tersebut terlihat, bahwa yang sebelumnya saya menargetkan sampai akhir 2016 ini setidaknya ada 60.000 kali tulisan-tulisan saya dibaca, sebenarnya sudah terpenuhi. Namun dengan dihapuskannya tulisan tadi, maka jumlahnya kembali berkurang, baru 58.980 kali dibaca.

Inilah juga untuk pertama kalinya saya menghapus tulisan saya sendiri. Ketika akan menghapus, ada pertanyaan dari Kompasiana untuk menjelaskan mengapa saya ingin menghapus tulisan tersebut. Maka saya jawab, itu adalah untuk menghormati permohonan ada pihak yang menjadi korban dalam suatu kasus – yang kemudian saya jadikan bahan tulisan – yang meminta agar jangan dijadikan viral lagi kasusnya.

Saya tidak akan bercerita tulisan apa dan tentang apa tulisan yang saya hapus itu, tetapi saya ingin mengemukakan bahwa inilah paling tidak yang bisa saya lakukan untuk bersimpati pada pihak yang menjadi korban. Saya menghormati keputusannya yang meminta agar kasusnya jangan dijadikan viral. Dan inilah yang bisa saya lakukan, walaupun mungkin sudah cukup banyak yang membacanya.

Swasensor

Sikap saya jelas berbeda dengan “self-censorship” (menyensor diri sendiri atau mungkin dapat juga disebut swasensor), sewaktu masih aktif menjadi pewarta penuh waktu sekian tahun silam. Ini pasti dialami juga oleh teman-teman pewarta yang bekerja di media massa. Seringkali ada kecenderungan untuk – dalam kasus saya sebagai pewarta tulis – tidak menulis untuk hal-hal tertentu.

Swasensor di kalangan pewarta biasanya karena dua hal. Pertama, kebijakan pimpinan redaksi yang melarang menulis atau memuat berita tertentu. Kedua, keinginan yang timbul dari dalam diri sang pewarta sendiri.

Untuk yang pertama, biasanya kebijakan pimpinan redaksi juga dipengaruhi dengan situasi dan kondisi. Sewaktu masa Orde Baru misalnya, tulisan atau berita yang terkait dengan komunisme, sedapat mungkin dihindari. Saya misalnya pernah menghadiri suatu seminar atau lokakarya di sebuah perguruan tinggi. Ketika itu dibahas mengenai tokoh WF Wertheim, seorang Indonesianis asal Belanda. Karena kekurangtahuan saya mengenai latar belakang sang tokoh, saya menulisnya. Sudah lulus dari pemeriksaan penyunting dan baru akan dimuat, seperti biasa hasil tata letak berita-berita yang akan dimuat dibawa ke dalam rapat pimpinan. Ada nama WF Wertheim di judul berita saya. Segera disuruh dicabut, dan beritanya diganti dengan yang lain.

Belakangan baru saya tahu, bahwa Wertheim pernah menulis suatu analisis yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh di balik Gerakan-30-September sebenarnya adalah Jenderal Soeharto dan para jenderal Angkatan Darat nonkomunis. Mereka kabarnya, menggunakan Sjam Kamurazzaman sebagai agen ganda, dimasukkan ke dalam tubuh PKI, yang kemudian aksi PKI itu digunakan untuk menghancurkan organisasi komunis itu dan menurunkan Presiden Soekarno dari kursi kepresidenannya.

Saya sendiri sejak kecil dididik untuk tidak mendukung gerakan komunisme, dan karena itu kalau saya tahu bahwa nama WF Wertheim ada kaitannya dengan analisis tentang komunisme, tentu akan saya hindari. Pasti saya pun sudah melakukan swasensor sendiri, sebelum disensor oleh pimpinan redaksi saya. Tapi, saat itu saya memang tak tahu apa-apa, saya pikir penyebutan namanya dalam lokakarya itu - yang saya juga sudah lupa judul dan temanya - karena dia hanya sekadar seorang asing yang menyukai sejarah Indonesia. Ya, apa boleh buat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun