Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dr. Moewardi, Bapak Pandu Indonesia?

5 Mei 2016   13:14 Diperbarui: 6 Mei 2016   16:02 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah plakat di Museum Dr. Moewardi. Usulan dari komunitas Majelis Pandu Indonesia untuk menjadikan Dr. Moewardi sebagai Bapak Pandu Indonesia. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)

Sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dan dokter spesialis yang merakyat, nama Dr. Moewardi sudah amat dikenal. Pemerintah telah menganugerahkan gelar pahlawan nasional atas jasa-jasanya. Bahkan selain diabadikan dalam nama jalan, nama Dr. Moewardi juga dijadikan nama Rumah Sakit yang terkenal di Kota Solo, Jawa Tengah.

Tetapi mungkin belum begitu banyak yang tahu betapa besar juga jasanya pada gerakan pendidikan kepanduan (scouting movement), yang kini di Indonesia dikenal dengan nama Gerakan Pramuka. Bahkan ketertarikan saya berkunjung ke Museum Dr. Moewardi di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan, adalah karena saya pernah membaca  betapa besarnya peranan Dr. Moewardi di bidang kepanduan di Tanah Air tercinta.

Mungkin hanya kebetulan, Dr. Moewardi dilahirkan pada 1907, tahun yang sama ketika Baden-Powell, kelak diberi gelar Lord dan dijuluki Bapak Pandu Sedunia, mengadakan suatu perkemahan percobaan di Pulau Brownsea di Inggris. Melalui perkemahan percobaan itulah, Baden-Powell kemudian menuliskan artikel-artikelnya yang dibukukan dengan judul Scouting for Boys. Suatu buku yang kemudian melahirkan gerakan pendidikan kepanduan, pendidikan bagi anak-anak dan remaja yang melengkapi pendidikan di lingkungan keluarga dan pendidikan di lingkungan sekolah.

Tapi yang pasti, belakangan Dr. Moewardi juga aktif di gerakan kepanduan sejak gerakan pendidikan yang menekankan pendidikan di alam terbuka masuk ke Indonesia (ketika itu masih bernama Hindia-Belanda) pada 1912. Saat itu, seorang pegawai Dinas Meteorologi Hindia-Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) bernama P. Joh Smits, memulai pendidikan kepanduan pada anak-anak keluarga Belanda di negeri kita ini.

Awalnya, organisasi kepanduan yang ada merupakan cabang dari Nederlandsch Padvinders Organisatie (NPO), organisasi gerakan kepanduan di Belanda. Baru kemudian, organisasi di Hindia-Belanda berdiri sendiri dengan nama Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (NIPV). Moewardi menjadi anggota yang sangat aktif, bahkan dia mencapai jenjang Assistant Troep Leider, wakil pimpinan pasukan yang sangat jarang dicapai oleh seorang pandu bumiputera, karena biasanya jabatan itu hanya dikuasai oleh anak-anak dan remaja Belanda saja.

Namun saat akan diangkat sebagai Troep Leider atau pimpinan pasukan, Moewardi menolak dan memilih keluar, karena dia diharuskan mengucapkan janji setia kepada Raja Belanda. Tapi bukan berarti lalu dia berhenti berkegiatan di kepanduan. Dia bahkan kemudian ikut menjadi pemimpin sejumlah organisasi kepanduan nasional. Dimulai dari Jong Java Padvinders (JJP), organisasi kepanduan dari perkumpulan Jong Java. Moewardi sempat menjadi Komisaris Besar dan memimpin Kwartir Besar JJP, jabatan yang setara dengan Ketua Kwartir Nasional saat ini. Organisasi JJP ini kemudian berubah menjadi Pandoe Kebangsaan.

moewardi-5-572ae17f709773040c75beb2.jpg
moewardi-5-572ae17f709773040c75beb2.jpg
Moewardi bersama teman-temannya dari Jong Java Padvinders (JJP), foto yang terdapat di Museum Dr. Moewardi. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)

Sebagai tokoh Jong Java, dia juga ikut Kongres Pemuda II pada 1928 yang melahirkan “Sumpah Pemuda”. Di dalam ikrar tersebut selain janji: “Bertanah air satu Indonesia, berbangsa satu Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan Indonesia”, juga dilengkapi dengan keterangan tentang upaya-upaya memajukan kaum muda dan Indonesia seutuhnya. Di situlah tertulis bahwa kepanduan juga berperan dalam Kongres Pemuda itu. Selain Mr. Soenario yang mewakili kepanduan, maka Dr. Moewardi walaupun sebagai utusan Jong Java, tetapi jiwa pandunya tetap memberikan masukan agar kepanduan dimasukkkan dalam ikrar lengkap 'Sumpah Pemuda'.

Jauh sebelum ide Ir. Soekarno untuk menyatukan semua organisasi kepanduan dalam satu wadah bernama Gerakan Pramuka, maka Moewardi telah lebih dulu mengungkapkannya pada pertemuan Pandoe Kebangsaan di tahun 1929. Dia mengusulkan supaya diadakan fusi atau peleburan semua organisasi kepanduan menjadi Satu Organisasi Kepanduan Indonesia (SOKI). Sayang ide tersebut belum dapat diterima ketika itu.

Tetapi setahun kemudian, Pandoe Kebangsaan, Pandoe Pemoeda Sumatera (PPS), dan Indoneisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) untuk melebur menjadi satu organisasi kepanduan dengan nama Kepandoean Bangsa Indonesia (KBI) pada 13 September 1930. Di organisasi tersebut Muwardi duduk sebagai Komisaris Besar KBI.

Dia kemudian berperan besar dalam penyusunan organisasi KBI, termasuk tata upacara, aturan-aturan, sampai beberapa kali sukses menyelenggarakan jambore, perkemahan besar yang diikuti cabang-cabang KBI dari berbagai daerah.

Pada sekitar 1938, Dr. Moewardi walaupun di tengah kesibukannya sebagai dokter yang melayani pasien-pasiennya, tetap aktif di kepanduan. Dia bahkan termasuk pimpinan sejumlah organisasi kepanduan yang memutuskan untuk menyelenggarakan All Indonesian Jambore. Belakangan nama yang berbahasa asing diganti dengan Bahasa Indonesia dan disebut Perkemahan Kepandoean Indonesia Oemoem disingkat Perkino.

Di tengah Perang Dunia II yang mulai meletus, Perkino pertama masih bisa diselenggarakan di Gampingan, Yogyakarta, pada 1941. Hebatnya lagi, meski Jepang sudah menguasai Indonesia, namum Perkino II tetap berlangsung sukses selama sepuluh hari dari 2 sampai 12 Februari 1943 di Jakarta. Adalah Dr. Moewardi sendiri yang langsung memimpin Perkino II.

Sayangnya, setelah itu Balatentara Dai Nippon melarang kegiatan kepanduan di Tanah Air. Di samping tetap menjalankan profesi sebagai dokter, Dr. Moewardi kemudian membentuk Barisan Pelopor dan selanjutnya Barisan Banteng. Banyak di antara anggotanya adalah para Pandu yang pernah dibinanya, sehingga tidak menyulitkan mereka untuk melatih baris-berbaris dan kedisplinan serta keterampilan lain yang diperlukan. Mereka sudah mendapat pendidikan itu sewaktu masih aktif di gerakan kepanduan.

Atas jasa-jasanya dalam kepanduan itulah, patung Dr. Moewardi yang cukup besar didirikan di depan Bumi Perkemahan Pramuka di kawasan Jurug, Solo, pada November 1988. Bahkan kini sejumlah kalangan mengusulkan pula agar Dr. Moewardi dapat diberi gelar Bapak Pandu Indonesia.

Di lingkungan Gerakan Pramuka sendiri telah ada Bapak Pramuka Indonesia. Gelar yang disematkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX melalui Keputusan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka di Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste), pada 1988. Sri Sultan Hamengku Buwono IX memang sangat besar jasanya pada pembentukan Gerakan Pramuka, bahkan dialah yang menerima Panji Gerakan Pramuka pertama kalinya dari tangan Presiden Soekarno pada 14 Agustus 1961.

Jadi, ada yang mengusulkan agar generasi muda, khususnya dari kalangan kepramukan, tidak lupa sejarah gerakan pendidikan non-formal itu, mungkin tidak salah bila Dr. Moewardi dijadikan Bapak Pandu Indonesia bersanding dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Sehingga terlihat kesinambungan sejarah dari masa kepanduan sebelum 1961 ke masa kepramukaan setelah 1961.

Persoalannya, ada juga menganggap Pandu itu ya Pramuka, dan Pramuka itu ya Pandu. Cukup satu saja yang diberi sebutan Bapak Pramuka atau Bapak Pandu Indonesia. Karena Sri Sultan Hamengku Buwono IX sudah lebih dulu diberi gelar itu, maka cukup satu saja.

Walaupun demikian, tentu saja kita –terutama para Pramuka– tak boleh melupakan jasa-jasa Dr. Moewardi dalam mengembangkan gerakan pendidikan kepanduan. Kalau pun tak disebut sebagai Bapak Pandu Indonesia agar tidak membuat orang bingung kenapa ada Bapak Pandu dan ada Bapak Pramuka, seyogyanya nama Dr. Moewardi tetap ditulis dengan 'tinta emas' dalam sejarah gerakan pendidikan kepanduan di Tanah Air.

Nama Dr. Moewardi memang sejak lama telah diabadikan sebagai nama salah satu bangunan di Taman Rekreasi Wiladatika, kompleks pendidikan dan rekreasi Gerakan Pramuka di Cibubur, Jakarta Timur. Namun rasanya pantas pula bila pimpinan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka memberikan penghargaan tertinggi Gerakan Pramuka, Lencana Tunas Kencana.

(Kisah ini belum selesai, nantikan kisah berikutnya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun