Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dr. Moewardi, Bapak Pandu Indonesia?

5 Mei 2016   13:14 Diperbarui: 6 Mei 2016   16:02 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia kemudian berperan besar dalam penyusunan organisasi KBI, termasuk tata upacara, aturan-aturan, sampai beberapa kali sukses menyelenggarakan jambore, perkemahan besar yang diikuti cabang-cabang KBI dari berbagai daerah.

Pada sekitar 1938, Dr. Moewardi walaupun di tengah kesibukannya sebagai dokter yang melayani pasien-pasiennya, tetap aktif di kepanduan. Dia bahkan termasuk pimpinan sejumlah organisasi kepanduan yang memutuskan untuk menyelenggarakan All Indonesian Jambore. Belakangan nama yang berbahasa asing diganti dengan Bahasa Indonesia dan disebut Perkemahan Kepandoean Indonesia Oemoem disingkat Perkino.

Di tengah Perang Dunia II yang mulai meletus, Perkino pertama masih bisa diselenggarakan di Gampingan, Yogyakarta, pada 1941. Hebatnya lagi, meski Jepang sudah menguasai Indonesia, namum Perkino II tetap berlangsung sukses selama sepuluh hari dari 2 sampai 12 Februari 1943 di Jakarta. Adalah Dr. Moewardi sendiri yang langsung memimpin Perkino II.

Sayangnya, setelah itu Balatentara Dai Nippon melarang kegiatan kepanduan di Tanah Air. Di samping tetap menjalankan profesi sebagai dokter, Dr. Moewardi kemudian membentuk Barisan Pelopor dan selanjutnya Barisan Banteng. Banyak di antara anggotanya adalah para Pandu yang pernah dibinanya, sehingga tidak menyulitkan mereka untuk melatih baris-berbaris dan kedisplinan serta keterampilan lain yang diperlukan. Mereka sudah mendapat pendidikan itu sewaktu masih aktif di gerakan kepanduan.

Atas jasa-jasanya dalam kepanduan itulah, patung Dr. Moewardi yang cukup besar didirikan di depan Bumi Perkemahan Pramuka di kawasan Jurug, Solo, pada November 1988. Bahkan kini sejumlah kalangan mengusulkan pula agar Dr. Moewardi dapat diberi gelar Bapak Pandu Indonesia.

Di lingkungan Gerakan Pramuka sendiri telah ada Bapak Pramuka Indonesia. Gelar yang disematkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX melalui Keputusan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka di Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste), pada 1988. Sri Sultan Hamengku Buwono IX memang sangat besar jasanya pada pembentukan Gerakan Pramuka, bahkan dialah yang menerima Panji Gerakan Pramuka pertama kalinya dari tangan Presiden Soekarno pada 14 Agustus 1961.

Jadi, ada yang mengusulkan agar generasi muda, khususnya dari kalangan kepramukan, tidak lupa sejarah gerakan pendidikan non-formal itu, mungkin tidak salah bila Dr. Moewardi dijadikan Bapak Pandu Indonesia bersanding dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Sehingga terlihat kesinambungan sejarah dari masa kepanduan sebelum 1961 ke masa kepramukaan setelah 1961.

Persoalannya, ada juga menganggap Pandu itu ya Pramuka, dan Pramuka itu ya Pandu. Cukup satu saja yang diberi sebutan Bapak Pramuka atau Bapak Pandu Indonesia. Karena Sri Sultan Hamengku Buwono IX sudah lebih dulu diberi gelar itu, maka cukup satu saja.

Walaupun demikian, tentu saja kita –terutama para Pramuka– tak boleh melupakan jasa-jasa Dr. Moewardi dalam mengembangkan gerakan pendidikan kepanduan. Kalau pun tak disebut sebagai Bapak Pandu Indonesia agar tidak membuat orang bingung kenapa ada Bapak Pandu dan ada Bapak Pramuka, seyogyanya nama Dr. Moewardi tetap ditulis dengan 'tinta emas' dalam sejarah gerakan pendidikan kepanduan di Tanah Air.

Nama Dr. Moewardi memang sejak lama telah diabadikan sebagai nama salah satu bangunan di Taman Rekreasi Wiladatika, kompleks pendidikan dan rekreasi Gerakan Pramuka di Cibubur, Jakarta Timur. Namun rasanya pantas pula bila pimpinan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka memberikan penghargaan tertinggi Gerakan Pramuka, Lencana Tunas Kencana.

(Kisah ini belum selesai, nantikan kisah berikutnya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun