Mohon tunggu...
Bertram Budiharto
Bertram Budiharto Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Politik dan Ekonomi

Pelajar kelas 10 SMA. Senang mengikuti berita-berita politik dan gemar menganalisanya terutama yang menyangkut masalah domestik dan internasional. Membaca buku tentang sejarah ekonomi dan politik menjadi hobi utama saya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kemungkinan China Berharap Trump Menang Kedua Kalinya

29 Juni 2020   14:55 Diperbarui: 29 Juni 2020   16:03 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, publik dunia digegerkan dengan sebuah buku milik John Bolton yang berjudul “The Room Where It Happened” karena mengandung serangkaian kontroversi. Mulai dari Putin yang menganggap Trump adalah presiden yang gampang dipermainkan, Kim Jong Un menertawakan Trump karena idenya untuk meredakan ketegangan di Semenanjung Korea, hingga perjanjian quid pro quo antara Trump dengan China

Dalam buku itu, dijelaskan bahwa Trump melontarkan harapannya kepada Xi Jinping untuk memenangkan pemilu kedua kalinya pada bulan November ini dengan renegosiasi ulang terkait perjanjian dagang antar kedua negara, yang intinya memohon China agar membeli produk pertanian asal Amerika karena itu akan menguntungkan para petani -- sumber kantong pemilih terbesar Trump pada pemilu November 2016 silam. 

Trump pun sangat geram ketika mengetahui rencana Bolton untuk mempublikasi buku memoarnya itu sehari sebelumnya. Ia pun menuduh Bolton telah melakukan pelanggaran yang sangat berat karena menyalahgunakan jabatannya sebagai eks-Penasihat Keamanan Senior Gedung Putih untuk mendapatkan informasi rahasia dan kemudian membocorkannya kepada publik. 

Tak perlu waktu lama, Trump pun memerintahkan Jaksa Agung Federal AS, William Barr untuk segera menjerat hukuman terhadap Bolton dengan dakwaan serupa, namun akhirnya ditolak mentah-mentah olehnya karena tidak cukup bukti. 

Mungkin saja, Barr berpikir bahwa isi buku tersebut hanya mengandung konten yang menyudutkan Trump selama menjabat sebagai Presiden AS dan tidak ada korelasinya sama sekali dengan tuduhan Trump bahwa buku itu berbahaya karena mengandung informasi rahasia negara.

Bagi sebagian besar masyarakat, argumen Bolton ini penuh dengan kejanggalan karena tidak sejalan dengan sikap permusuhan dan kebencian yang selama ini selalu dikobarkan Trump terhadap Tiongkok. Pasti hampir semua diantara kita bertanya-tanya, “Mengapa Trump yang begitu dikenal oleh publik sebagai tokoh atau figur antitesa dari Xi Jinping dan Tiongkok tanpa ada rasa malu memberanikan diri memberikan tawaran perjanjian perdagangan dengan tujuan utama memenangkan Trump untuk kedua kalinya?” 

Atau ada yang pasti berpikiran lain mengapa Tiongkok begitu mudahnya saja menyanggupi permintaan penawaran dari musuh lamanya itu. Lagipula, selama ini, kebijakan perdagangan Amerika dibawah Trump yang sangat proteksionis tentu saja pasti sedikit banyaknya akan merugikan pertumbuhan ekonomi Tiongkok karena sebagian besar barang-barang yang diekspornya terpukul mundur akibat pengenaan tarif yang begitu tinggi. Kalau sampai begitu, pasti Tiongkok juga menyelipkan permintaan khususnya dibalik semua cerita ini, tetapi belum terungkap saja. 

Anggap saja kisah yang ditulis oleh Bolton itu benar adanya, ada beberapa kemungkinan yang mungkin mampu mendasari alasan mengapa China berharap Trump menang untuk kedua kalinya pada pemilu presiden Amerika yang akan datang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa walaupun banyak sekali kebijakan ekonomi Trump yang merugikan China, namun Trump adalah figur yang dianggap oleh banyak orang tidak stabil secara mental. 

Sehingga, kebijakannya pun masih sangat fleksibel dan mudah berubah-ubah. Apalagi, baru-baru ini, Trump kembali memberikan sinyal permusuhan terhadap Jerman dengan menarik ribuan pasukan NATO dari wilayah bekas penguasa Nazi itu ke Polandia. 

Trump beranggapan bahwa Jerman sebetulnya sudah menjadi negara maju dan karena itu meminta Jerman untuk membiayai sendiri pasukannya dari anggaran pertahanan negara. Hal itu pulalah yang menjadi topik pembicaraan utama antara pertemuan Trump dengan Presiden Polandia ke Gedung Putih kemarin. Diketahui, hubungan Amerika dengan negara-negara anggota NATO memburuk sejak Trump berkuasa di Amerika Serikat.

Rupanya peluang inilah yang secara cerdik ditangkap oleh Tiongkok. Menurut beberapa pejabat senior China -- beberapa sudah pensiun dan beberapa masih aktif bekerja -- aliansi Amerika dengan sekutunya adalah hal yang jauh lebih penting dari kebijakan ekonomi dan perdagangan Trump yang merugikan negaranya. 

Dengan sikap permusuhan Trump dengan negara-negara anggota NATO, skenario Amerika putus hubungan dengan sekutu dekatnya menjadi sebuah skenario yang sudah diperhitungkan dari pihak China matang-matang. 

Pernyataan dari beberapa pejabat senior China itu tampaknya tidak bisa dipandang sebelah mata, mengingat manuver Tiongkok yang terus lincah dan agresif bermain di daerah Laut Cina Selatan (LCS), yang selama ini sulit direbut langsung oleh pihak China karena masih mendapat pengawasan yang ketat dari geng ‘polisi dunia’: Amerika dan kawan-kawannya. 

Tingkah laku Trump terhadap organisasi militer NATO itu diupayakan dipertahankan oleh pemerintah China sebagai strategi ‘buying time’ yang sewaktu-waktu menjadi bom waktu sekaligus bumerang terhadap pemerintahan Trump sendiri. Dengan kata lain, inilah kesempatan sekali dalam seabad yang ingin diperoleh China agar semakin lancar mengeksekusi rencana-rencana aksinya di area LCS.

Berbeda dengan Trump, Joe Biden, calon presiden potensial penantang Donald Trump di pemilu Amerika Serikat asal Partai Demokrat, dipandang sebagai figur yang relatif cenderung lebih stabil. Skenario nasib aliansi AS yang secara resmi menjadi kalkulasi pihak China di tangan Trump tidak akan berlaku lagi jika Biden berkuasa. 

Justru, hubungan Amerika dengan negara-negara anggota NATO yang sempat memburuk bisa kembali mesra lagi dan diperkirakan akan semakin merapatkan barisan untuk melawan Tiongkok sebagai musuh bersama negara-negara Barat. Peristiwa lain yang akhir-akhir ini menunjukkan argumen Trump bahwa Biden dekat dengan negara Tiongkok karena memiliki konflik kepentingan juga dapat dengan mudah dibantah juga tak luput dari pemikiran liar China. 

Sebut saja, dalam beberapa pidato kampanyenya, Biden secara keras menentang upaya-upaya yang dilancarkan Tiongkok terhadap Hong Kong dan Muslim Uighur di Xinjiang. Bahkan, Biden secara lantang menyebut Presiden Xi Jinping sebagai ‘preman’. 

Akhirnya, muncullah pertanyaan dari pihak China yang sampai saat ini belum mampu dijawab olehnya, “Apakah rencana menggebuk Tiongkok sudah menjadi agenda nasional Amerika?” Pertanyaan itu semakin mendekati arah kebenaran ketika Kongres AS secara bipartisan meloloskan RUU yang menghukum Tiongkok atas perlakuan kejinya pada etnis minoritas Uighur. 

Kalau sampai itu yang terjadi, situasi hari ini dan kedepan akan dipenuhi oleh hari-hari yang mengerikan. China pasti sudah berpikir, “Toh, hubungan Amerika-Tiongkok tidak akan pernah membaik di tangan keduanya nanti, terus buat apa kita mati-matian bersusah payah ingin menjegal Trump supaya tidak menang dalam pemilu keduanya nanti?” Intinya, China tidak mau kecele untuk kedua kalinya karena pada tahun 2016, banyak pihak beranggapan bahwa Tiongkok mendukung Hillary Clinton dan sudah menyiapkan berbagai langkah aksi kedepan hubungan kerjasama antara Tiongkok-Amerika. Nyatanya, Hillary kalah melawan Trump.

Terlepas dari analisa diatas, dunia tentunya berharap hubungan Amerika-Tiongkok pulih kembali dan ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung saat ini berangsur-angsur mereda. Alasan utamanya adalah karena pandemi corona masih terus saja menggeliat dan melanda seluruh permukaan bumi tanpa membedakan etnis, ras, atau golongan tertentu. Keadaan sudah sangat sulit, terlihat dari angka pengangguran yang meningkat drastis yang terjadi dimana-mana selama pandemi ini. 

Ditambah lagi, pertengkaran antar kedua negara adidaya bukannya membantu masalah malah semakin memukul industri manufaktur dunia dimana semua negara dunia sedang berharap agar ekonominya bangkit kembali dengan menggenjot kembali seluruh mesin produksi sehabis pandemi COVID-19 ini mampu diatasi secara bersama-sama. 

Akhir kata, waktu yang akan menjawab apakah Trump atau Biden yang akan memenangkan pemilu pada bulan November tahun ini, lebih lanjut menentukan hubungan antara kedua negara besar itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun