Mohon tunggu...
Bertram Budiharto
Bertram Budiharto Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Politik dan Ekonomi

Pelajar kelas 10 SMA. Senang mengikuti berita-berita politik dan gemar menganalisanya terutama yang menyangkut masalah domestik dan internasional. Membaca buku tentang sejarah ekonomi dan politik menjadi hobi utama saya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kemungkinan China Berharap Trump Menang Kedua Kalinya

29 Juni 2020   14:55 Diperbarui: 29 Juni 2020   16:03 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan sikap permusuhan Trump dengan negara-negara anggota NATO, skenario Amerika putus hubungan dengan sekutu dekatnya menjadi sebuah skenario yang sudah diperhitungkan dari pihak China matang-matang. 

Pernyataan dari beberapa pejabat senior China itu tampaknya tidak bisa dipandang sebelah mata, mengingat manuver Tiongkok yang terus lincah dan agresif bermain di daerah Laut Cina Selatan (LCS), yang selama ini sulit direbut langsung oleh pihak China karena masih mendapat pengawasan yang ketat dari geng ‘polisi dunia’: Amerika dan kawan-kawannya. 

Tingkah laku Trump terhadap organisasi militer NATO itu diupayakan dipertahankan oleh pemerintah China sebagai strategi ‘buying time’ yang sewaktu-waktu menjadi bom waktu sekaligus bumerang terhadap pemerintahan Trump sendiri. Dengan kata lain, inilah kesempatan sekali dalam seabad yang ingin diperoleh China agar semakin lancar mengeksekusi rencana-rencana aksinya di area LCS.

Berbeda dengan Trump, Joe Biden, calon presiden potensial penantang Donald Trump di pemilu Amerika Serikat asal Partai Demokrat, dipandang sebagai figur yang relatif cenderung lebih stabil. Skenario nasib aliansi AS yang secara resmi menjadi kalkulasi pihak China di tangan Trump tidak akan berlaku lagi jika Biden berkuasa. 

Justru, hubungan Amerika dengan negara-negara anggota NATO yang sempat memburuk bisa kembali mesra lagi dan diperkirakan akan semakin merapatkan barisan untuk melawan Tiongkok sebagai musuh bersama negara-negara Barat. Peristiwa lain yang akhir-akhir ini menunjukkan argumen Trump bahwa Biden dekat dengan negara Tiongkok karena memiliki konflik kepentingan juga dapat dengan mudah dibantah juga tak luput dari pemikiran liar China. 

Sebut saja, dalam beberapa pidato kampanyenya, Biden secara keras menentang upaya-upaya yang dilancarkan Tiongkok terhadap Hong Kong dan Muslim Uighur di Xinjiang. Bahkan, Biden secara lantang menyebut Presiden Xi Jinping sebagai ‘preman’. 

Akhirnya, muncullah pertanyaan dari pihak China yang sampai saat ini belum mampu dijawab olehnya, “Apakah rencana menggebuk Tiongkok sudah menjadi agenda nasional Amerika?” Pertanyaan itu semakin mendekati arah kebenaran ketika Kongres AS secara bipartisan meloloskan RUU yang menghukum Tiongkok atas perlakuan kejinya pada etnis minoritas Uighur. 

Kalau sampai itu yang terjadi, situasi hari ini dan kedepan akan dipenuhi oleh hari-hari yang mengerikan. China pasti sudah berpikir, “Toh, hubungan Amerika-Tiongkok tidak akan pernah membaik di tangan keduanya nanti, terus buat apa kita mati-matian bersusah payah ingin menjegal Trump supaya tidak menang dalam pemilu keduanya nanti?” Intinya, China tidak mau kecele untuk kedua kalinya karena pada tahun 2016, banyak pihak beranggapan bahwa Tiongkok mendukung Hillary Clinton dan sudah menyiapkan berbagai langkah aksi kedepan hubungan kerjasama antara Tiongkok-Amerika. Nyatanya, Hillary kalah melawan Trump.

Terlepas dari analisa diatas, dunia tentunya berharap hubungan Amerika-Tiongkok pulih kembali dan ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung saat ini berangsur-angsur mereda. Alasan utamanya adalah karena pandemi corona masih terus saja menggeliat dan melanda seluruh permukaan bumi tanpa membedakan etnis, ras, atau golongan tertentu. Keadaan sudah sangat sulit, terlihat dari angka pengangguran yang meningkat drastis yang terjadi dimana-mana selama pandemi ini. 

Ditambah lagi, pertengkaran antar kedua negara adidaya bukannya membantu masalah malah semakin memukul industri manufaktur dunia dimana semua negara dunia sedang berharap agar ekonominya bangkit kembali dengan menggenjot kembali seluruh mesin produksi sehabis pandemi COVID-19 ini mampu diatasi secara bersama-sama. 

Akhir kata, waktu yang akan menjawab apakah Trump atau Biden yang akan memenangkan pemilu pada bulan November tahun ini, lebih lanjut menentukan hubungan antara kedua negara besar itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun