Mohon tunggu...
Bertold Gerry
Bertold Gerry Mohon Tunggu... Freelancer - Membaca dan menulis sebagai rekreasi.

Membaca dan menulis sebagai rekreasi.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Suzuki RC100 dan Perjalanan Pendewasaan Diri

26 Januari 2024   18:09 Diperbarui: 26 Januari 2024   18:19 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Motor Suzuki RC100, sumber gambar https://informasi-hargamotor.blogspot.com

Saya adalah pengendara motor Suzuki RC100 keluaran tahun 1995. Selayaknya manusia, kendaraan kita pun usianya terus bertambah. Motor dan pengendaranya menua bersama. Semakin dewasa, kehidupan semakin kompleks dan tantangannya semakin bertambah, ya soal kesehatan, mungkin muncul anggapan diri yang sedang atau sudah melewati masa muda, stamina sudah berubah, dan lainnya. Hal serupa dialami oleh kendaraan kesayangan kita yang ikut bertambah "dewasa" dan "tua".

Kendaraan yang kita kendarai adalah ekstensi dari diri kita. Orang lain mungkin menilai kendaraan kita: merek kendaraan kita, apakah kendaraan kita baru atau lama, dan bagus tidaknya model/tampilan kendaraan kita. Pemilihan kendaraan kerap diasosiasikan dengan cerminan selera, karakter, gaya, kelompok sosial tertentu, dan kekuatan ekonomi. Melalui beberapa sudut pandang tersebut saya akan membahas proses pendewasaan saya bersama motor Suzuki RC100 Bravo tahun 1995 saya.

1. Impresi Mengendarai Motor Tua

Yang jelas tampilan motor jadul bikin pengendaranya ikut dilirik. Jika pengendaranya sudah tua, mungkin orang menilai si pengendaranya setia bersama motornya sejak muda. Jika pengendaranya masih relatif muda, maka dapat saja si pengendara dinilai sebagai pehobi motor, ya sejelek-jeleknya dikira itu motor punya bapaknya. Saya pernah ditanyai seorang driver ojol "itu motor siapa mas?" saya jawab "yaaa, ini motor saya" dia balas "bukan motor bapaknya mas?" saya tertawa tipis "bukan."

Di lain waktu, saya pulang dari parkiran sebuah minimarket. Lewat kaca spion saya melihat dua orang anak muda - mungkin baru kuliah semester awal atau masih SMA - menertawai motor saya. Mereka terlihat duduk sambil menunjuk-nunjuk motor saya sambil terkekeh berdua. Pengalaman tersebut mengajarkan saya untuk memaklumi bahwa tidak semua orang dapat menjadi asertif dalam melihat hal yang tidak sefrekuensi dengan mereka. Menyikapi penolakan secara asertif adalah satu bagian proses pendewasaan saya. Mungkin tidak sedikit orang yang bakal malu naik motor bebek tua karena takut diejek motornya mirip motor pak lurah zaman orba.

Di lain kesempatan saya berkunjung ke kantor pak lurah (bukan zaman orba). Saat memarkir motor, saya disapa seorang bapak-bapak "ini Suzuki tahun berapa?" saya jawab "tahun 1995 pak" dia menunjuk-nunjuk motor saya dengan antusias "saya dulu jaman SMA naik motor ini mas" obrolan singkat nan menyenangkan itu berlanjut dan ditutup dengan beliau yang bilang supaya motor tua ini dirawat. Pengalaman menyenangkan itu terjadi di tempat-tempat lain juga, entah sekadar mendapat jempol, motor saya dilirik orang di lampu merah, mendapat komentar singkat "motornya bagus mas!" sampai ada yang mengajak berbincang soal motor itu. Inilah salah satu kebanggaan naik motor tua.

Di satu tempat kita bisa saja ditertawakan, namun di tempat lain kita akan dihargai.

2. Fungsionalitas Motor Tua

Kalau kita masih membandingkan fungsionalitas motor baru (yang usianya belum sampai 5 tahun) dengan motor tua, jelas tidak apple to apple. Motor tua pasti bakal mogok, onderdil rusak, onderdil langka, kejadian dorong-dorong motor. Motor tua memang selayaknya dapat perawatan ekstra karena kondisinya dan performa mesinnya sudah tidak se-prima dahulu. Tidak heran jika kendaraan tua menuntut kesabaran ekstra. Namun jika dirawat dengan benar, bukan berarti kendaraan tua sudah tidak sanggup melayani majikannya.

Sebagai contoh, pemotor asal Inggris, Ed March menjelajahi lebih dari 30 negara dengan motor bebek klasik Honda C90. Perjalanannya dapat kita saksikan di kanal YouTube Ed March. Cerita menarik lain, dua orang pemotor asal Norwegia, Tormod Amlien dan Klaus Ulvestad berpetualang menjelajahi 5 benua, menempuh perjalanan 75.000 kilometer dari tahun 2009 sampai 2011 dengan dua motor klasik pabrikan Denmark yaitu Nimbus keluaran tahun 1937 dan 1938 (cerita lebih lengkap perjalanan mereka dapat dibaca di sini). Dua cerita itu membuktikan bahwa meskipun bakal ada kerusakan dan membutuhkan banyak perbaikan, motor tua masih dapat berfungsi melayani majikannya. Pada akhirnya, perjalanan fungsionalitas motor tua tidak selamanya soal kondisi kendaraan, namun secara dinamis juga tergantung kemampuan dan orientasi pengendaranya.

3. Orang-orang yang Biasanya Mengendarai Suzuki RC100 

Saya mengkategorikan pengguna RC100 dalam dua kelompok: pehobi motor dan pengendara yang beli motor ini karena ekonominya kepepet.

Untuk kelompok pehobi motor, saya hanya bisa beropini bahwa orang-orang ini memelihara motor RC100 untuk kepuasan hati. Mereka punya sumber daya lebih dan kesabaran yang cukup untuk hobi ini asalkan hati terpuaskan.

Nah, saya sendiri masuk dalam kelompok kedua. Orang-orang dalam kelompok ini beli motor karena harganya murah. Saya saja beli motor ini seharga 1,6 juta. Tidak heran jika motor bermesin 2 tak ini banyak dibuat jadi becak motor, motor delivery galon dan gas elpiji, juga motor tukang bakso. Motor ini jadi terkesan motor yang harganya merakyat, motor murah, motor kalangan proletar. Filosofi pengendara di kelompok ini kurang lebih yang penting motor jalan, bisa kerja, kalau belum mogok ya belum diservis.

4. Tantangan Merawat Suzuki RC100

Saya rasa ada tiga tantangan utama dalam merawat Suzuki RC100. Pertama, siap-siap repot mogok di jalan. Kedua, tidak semua bengkel bersedia menangani motor ini dengan alasan onderdilnya langka. Ketiga, khusus bagi yang tidak punya kendaraan cadangan, siap-siap cari alternatif transportasi selama si RC100 menginap di bengkel.

Kalau takut mogok di jalan, jangan pelihara motor tua. Saya cukup siap mental jika motor saya mogok di tengah perempatan besar, mogok pas hujan, mogok malam hari, intinya mogok di waktu dan tempat yang tak terduga. Apalagi kalau motor itu dipakai daily buat kerja. Mental saya sebaiknya siap kapanpun dimanapun. Kalaupun bisa memperbaiki motor sendiri, saya juga menyarankan untuk siap sedia tool kit.

Ditambah lagi tidak semua bengkel bersedia menangani motor ini, bahkan bengkel resmi Suzuki sekalipun, dengan alasan spare part sudah discontinue, langka, dan sulit dicari. Intinya, saya harus cari bengkel pehobi spesialis Suzuki RC100 yang bisa dipercaya. Saya cukup tahu rasanya mendorong motor ini pas mogok sejauh beberapa kilometer di tengah terik, berujung ditolak beberapa bengkel sekaligus.

Kalaupun sudah mendapat bengkel yang cocok, saya harus cari alternatif transportasi lain jika motor menginap di bengkel selama beberapa hari. Entah ojek online, sewa motor, atau naik bis, ya pokoknya ini jadi pengorbanan tambahan untuk merawat si motor tua.

5. Perjalanan Pendewasaan

Seringkali keterbatasan pilihan dalam hidup membuat kita jadi lebih banyak belajar. Dengan memelihara motor ini, saya belajar untuk lebih bersabar mengatasi berbagai masalah, belajar legowo. Saya belajar jika motor rusak, harusnya diperbaiki bukan dibuang. Bukannya mengeluh karena motor sering mogok, saya malah harus berusaha belajar menghargai nilai-nilai yang dihasilkan dalam proses merawat motor ini. Dengan adanya motor tua ini saya jadi punya sarana untuk belajar menjadi lebih dewasa dan menghargai kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun