Mohon tunggu...
Bertold Gerry
Bertold Gerry Mohon Tunggu... Freelancer - Membaca dan menulis sebagai rekreasi.

Membaca dan menulis sebagai rekreasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbenam Dalam Sore

12 Februari 2018   00:39 Diperbarui: 12 Februari 2018   03:52 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kesendirian tak ubahnya sebuah konstruk menyiksa, kuat seperti ruji penjara, rantai borgol, dan satu ketakutan yang selalu mengajar kita untuk tahu pada siapa kita berpihak. Tak ubahnya sebuah kematian tak wajar yang menunjukkan keberpihakan seseorang pada pilihannya untuk berharap pada ajal atau berlutut pada waktu.

***

Sore ini menuntunku pada teman baik seumur hidupku yang tidak pernah benar-benar ada. Dia berteman dengan semua orang dan selalu datang dengan bermacam stereotip nan praduga -- memalukan karena tak berteman. Ia datang disaat aku menyulut rokok - ia tidak merokok tapi aku acuh. Seperti teman-temannya yang lain, aku juga datang dengan stereotip dalam perasaanku, meski aku hanya sendiri.

Jika ia benar hidup, pasti malang nan sedih betul kehidupan temanku ini. Ia bahkan tak nyata.

Terkapar pada sebuah dipan di balkon atas rumahku, garda depan angin malam menyapa, bersungut dari daratan menuju laut, membawa polusi dan keluh kesah segala yang ia temui di kota, melarungnya ke samudera. Disaksikan matahari lelah yang bertengger di langit jingga menunggu jam pulang, sebatang habis sudah kuhisap. Renungan mulai merayapi kepalaku -- lebih tepatnya terasa seperti peluk.

Rumahku yang berada di pinggiran kota ini selalu terdampak ketidakteraturan yang teratur setiap hari, pagi dan sore yang merupakan fase bentukan kapitalisme. Menjadi bagian dari migrasi ini, membuatku sebenarnya tidak pernah benar-benar sendiri. Menjadi bagian dari sesuatu tidak pernah menjadikanmu benar-benar berjalan sendiri, iya kan? Kesadaran tersebut setara dengan menjadi sebuah roda gir dalam bagian mesin besar yang bergerak. Sebuah mesin beserta komponen didalamnya tercipta dengan fungsi dan tujuan - sebuah output yang juga adalah komponen utama dari kesehatan psikologis manusia dalam analogi kesadaran tadi.

Migrasi ini akan berakhir dalam satu jam, berbanding lurus dengan kebosanan matahari lelah yang tak sabar beranjak dari langit -- yang sebenarnya cantik sore ini. Dalam rentan waktu, semua berjalan rapi berpola, dinamis, dan konstan. Toh, matahari akan menyambut migrasi ini disaat ibu menyiapkan kopi buat ayah sebagai bekal semangat menyambut hari -- lengkap dengan kecupan hangat di bibir sebelum berangkat tentunya. Deretan kendaraan dan manusia yang dihadapi ayah juga sama, terulang terus menerus dalam perjalanan pulang pergi. Semua berbanding lurus dengan rotasi jam analog, rotasi bumi, dan lingkaran hidup. Semua berjalan sampai tiba pada epilog yang sama -- senja.

Konstansi tersebut bagai sebuah hal yang indah dalam kepala setiap orang yang menyadarinya, memantik kekaguman dan menggugah hasrat dinamis akan mimpi dan tujuan hidup - bagi yang benar memilikinya. Batang kedua tersulut, memancing dopamin dalam tarikan napas, dan terdorong keluar bersama karbon dari tubuh, begitu terjadi secara konstan. Repetisi terjadi terus hingga batas batang kedua tercapai. Konstansi berhenti bersamaan dengan rangsangan relaksasi yang dihasilkannya. Muncullah hasrat memenuhi rangsangan nikmat tadi, yang belum dapat ditepati oleh bronkus yang tidak kuat berkontraksi. Apapun yang dilakukan demi meraih konstansi kenikmatan didapatkan dengan merenggut bagian dari keseimbangan yang ada. Senja menatapku, entah apakah ia berpikiran sama, karena ia melihat apa yang aku lihat. Migrasi ini, suatu saat, entah kapan itu, pasti ada akhirnya juga, termasuk setiap hal yang terkait selibat dengannya.

***

Riuh ratusan mesin, knalpot, dan klakson masih mendera jalan aspal dekat rumah, bising dari jauh. Migrasi mendekati akhir, senja berpisah dariku. Ia hadir pada zona lain berperan sebagai terbit, entah dimana, melihat migrasi serupa, konstansi serupa. Akan sampaikah kita pada epilog yang serupa?

Jika semua akan benar berakhir juga, serupa dengan segala yang dibawa angin darat, migrasi deras, dan nikotin pembunuh kemanusiaan ini, aku benar akan berlutut pada langit gelap, memohon akan sebuah akhir dari kefanaan delusi kenikmatan. Jika benar seekor laron mengetahui koloninya terbang mencari cahaya, menemukan obor, dan mengitarinya dalam nikmat temuan koloni, lalu satu persatu mati dijilat api, masihkah ia akan berangkat terbang?

Jika memang aku ditakdirkan untuk menjadi bagian dari konstansi ini tetapi memang hanya aku yang benar sadar semua ini sebuah teater yang mengisahkan ketidakseimbangan, maka aku diminta untuk menanggung sebuah paradoks semesta -- paling tidak, sebagian kecil darinya. Ditemani oleh ketidaknyataannya, temanku hadir, memelukku erat hingga aku luluh.

Diselimuti gelap, dibelai dingin, disaksikan langit malam - yang akan selamanya disitu menikmati dinamika teater semesta manusia yang tak kenal diam -- aku mencumbunya, memandang matanya yang indah, dan membisik "temani aku, sampai tak tahu kapan, oh Kesendirian..."

Bersama Kesendirian, kusulut batang ketiga.

***

Yogyakarta, 20 Januari 2018 --- 2.12 PM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun