Mengembangkan Sastra Anak
       Membahas tentang sastra, pemikiran sebagian besar masyarakat tertuju pada karya puisi, cerpen, novel, drama, dan karya sastra lain yang ditujukan untuk pembaca dewasa. Bagaimana dengan sastra anak? Sebagaimana umumnya sastra, sastra anak juga merupakan ungkapan perasaan yang dituangkan kedalam bentuk tulisan dan dinikmati oleh anak-anak. Karya sastra ini juga dapat ditulis oleh orang dewasa dan diperuntukkan bagi anak-anak (Munaris, 2020). Dengan demikian, penulis dewasa yang bertujuan mengembangkan sastra anak harus menguasai pola pikir anak-anak yang sederhana. Sebagaimana dinyatakan oleh Lucia Binder dalam ceramahnya di Jakarta (1994) bahwa "sastra anak seyogianya tidak 'memberi instruksi' dan 'semata-mata mengajar moral', tetapi harus pula merangsang fantasi menuju refleksi opini pribadi" (Trimansyah, 2020).
Dengan menikmati karya sastra yang dibaca, anak-anak diharapkan dapat mengembangkan kreativitas verbalnya dengan baik. Malangnya, "sebuah riset yang dilakukan CCSU (Central of Connecticut State University) tahun menempatkan Indonesia sebagai negara paling literat nomor 60 dari 61 negara --- satu tingkat di atas Botswana dan satu tingkat di bawah Thailand"Â (Trimansyah, 2020). Ini merupakan tantangan besar bagi Indonesia dalam meningkatkan minat baca di kalangan masyarakat untuk memacu anak-anak mengikuti pola tersebut.
      Sastra anak yang paling sederhana adalah dongeng. Sebagian anak masih dibacakan dongeng oleh orang tuanya sebagai pengantar tidur. "Cerita itu sangat memengaruhi tumbuh kembang seorang anak, terutama karakternya" (Trimansyah, 2020). Hal ini dapat menjadi penghubung bagi anak untuk memahami sebuah cerita. Pola pemahaman antara mendengarkan dongeng dan membaca cerita sendiri tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya saja yaitu dari menyimak diubah menjadi membaca.
Negara anggota ASEAN memiliki banyak kesamaan latar budaya. Hal ini dapat dilihat dari cerita rakyat yang beredar. Cerita-cerita tersebut mempunyai kesamaan dalam konteks cerita dan pesan-pesan moral yang ingin disampaikan. Sebagai contoh, cerita rakyat Indonesia "Malin Kundang" mempunyai kesamaan motif dengan cerita "Pulau Jelapi" dari Thailand, "Si Tanggang" dari Malaysia, dan "Nakhoda Manis" dari Brunai. (Wahyuni, 2019). Ini menjadi modal awal bagi pengenalan cerita anak di negara anggota ASEAN.
Dari Tanpa Nama Menuju Atas Nama
Cerita-cerita rakyat yang disebutkan terdahulu tidak dikenali penulisnya. Sudah jamaknya pengarang cerita-cerita tersebut anonym karena diturunkan dari generasi ke generasi melalui cerita lisan. Seiring perkembangan zaman maka cerita-cerita tersebut mulai ditulis dalam bentuk buku atau kumpulan cerita. Meskipun demikian, tidak ada yang mengakui cerita tersebut sebagai hasil karyanya. Namun menurut Marahimin (2005), terdapat bias pesan moral yang tertanam dalam cerita lisan tersebut. Sebagai contoh, cerita "Malin Kundang" lebih memprovokasi dorongan untuk merantau kepada orang Minang meskipun secara tersurat pesan yang disampaikan adalah jangan durhaka kepada orang tua. Demikian pula halnya pada cerita "Si Kancil" yang mengandung bias antara kecerdikan dan kelicikan (Trimansyah, 2020) sehingga perlu dikaji lebih jauh agar tidak menjerumuskan anak-anak pada tindakan yang negatif. Hasil penelitian McClelland dan pendapat Marahimin (Trimansyah, 2020) di atas menunjukkan betapa besarnya pengaruh cerita anak pada suatu bangsa.
Ketika sebuah cerita dapat memberikan pengaruh besar pada sebuah bangsa, tentu diperlukan pesan-pesan moral yang positif kepada anak yang diusung oleh para penulis. Pesan moral positif yang disampaikan melalui cerita harus mengarah pada keberanian, kejujuran, tanggung-jawab, kreativitas, dan pesan-pesan lain yang menguatkan semangat pantang menyerah. "Jika hendak ditambahkan lagi, adalah penambahan kecakapan abad ke-21, yaitu berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan bertindak kreatif sebagai kapasitas yang perlu juga ditanamkan pada cerita anak"Â (Trimansyah, 2020). Nilai-nilai kecakapan abad ke-21 menjadi penting untuk mengimbangi perubahan sosial-budaya secara global. Harus diakui bahwa anak-anak generasi Alpha yang sedang dipersiapkan mengelola dunia di masa depan mempunyai pola pikir yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya.
Pasca era cerita rakyat yang tanpa nama pengarang mulai muncul kesadaran bahwa penulis cerita anak merupakan agen perubahan dalam mengusung pesan moral yang lebih baik. Pada tahun 1942, muncullah penulis Inggris Enyd Blyton yang populer dengan novel berserinya "Famous Five". Novel tersebut dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Agus Setiadi dengan judul "Lima Sekawan". Â Pada era 1970-an hingga 1980-an, masih banyak penulis cerita anak yang berkualitas. Sebutlah nama-nama "Soekanto S.A., Toha Mohtar, C.M. Nas, Suyadi (Pak Raden), Arswendo Atmowiloto, Dwianto Setyawan, Djoko Lelono, Korrie Layun Rampan, K. Usman, Radhar Panca Dahana, dan Titie Said" (Trimansyah, 2020) merupakan penulis cerita anak yang berkompeten di bidangnya.
Sayangnya, penulis-penulis cerita anak pada era selanjutnya menunjukkan kualitas yang semakin menurun. Ini dapat dibuktikan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2018) yang mengusung kritik pedas "sayembara Cerita Anak DKJ itu tidak menghasilkan pemenang I hingga III, yang ada adalah pemenang harapan"Â (Trimansyah, 2020). Dunia sastra anak mengalami masa kritis. Padahal peran penulis cerita anak berusia dewasa juga dibutuhkan untuk menumbuhkan keberanian anak-anak menulis karena "hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% siswa SD kelas VI di enam provinsi daerah binaan Primary Education Quality Improvement Project (PEQIP) tidak bisa mengarang"Â (Al Fuad, 2015). Kenyataan membuat upaya menumbuhkan minat anak untuk menulis menghadapi tantangan berat.
Keberanian anak-anak perlu diberi ruang agar dapat berkembang sesuai kodratnya sehingga sastra anak akan lebih tertuju pada karya anak untuk anak. Hal ini telah dilakukan oleh The ASEAN Issue dengan menampilkan cerita hasil karya anak-anak dalam majalah tersebut yang dimuat dalam kolom Children's Literature. Hal yang sama diupayakan di Indonesia dengan diterbitkannya buku "Kecil-Kecil Punya Karya" yang merupakan hasil tulisan anak-anak yang dianggap memenuhi kriteria penerbit. Meskipun belum banyak karya anak-anak yang diterbitkan, tetapi perkembangannya perlahan membaik. Gerakan menulis dari komunitas-komunitas literasi turut memperluas kesempatan anak-anak untuk mengembangkan kreativitasnya.