Di Kalideres Jakarta Barat Anies Baswedan diberitakan mengatakan "Rakyat (juga) bosan dengan fitnah-fitnah, apalagi fitnah yang pakai isu SARA. Berhentilah memfitnah pakai isu SARA," usai kampanye, Rabu (5/4/2017).
Kalau kita boleh berandai, Jika Anies mengucapkan pernyataan simpatik ini, yaitu pilkada (DKI) tanpa isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) sejak awal, bukan tidak mungkin simpati publik kepada Anies akan luar biasa, termasuk dari saya pribadi. Tidak dapat disangkal, bahwa isu SARA pilkada DKI membuat pengap bukan hanya warga DKI, tapi warga negara dari Sabang hingga Merauke yang ikut ‘nimbrung’ di pelbagai media-sosial.
***
Meskipun bukan satu-satunya, tapi pemantik isu SARA pilkada rasa pilpres, dimulai sejak skandal video unggahan Si Buni Yani (SBY) menyebar (baca:disebarkan).
Bersamaan dengan beredarnya video “kreasi” SBY itu, ‘berbalas-pantunlah’ presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang merasa harus melakukan konferensi pers ataupun pidato terkait video unggahan itu, di mana presiden ke-6 itu menandaskan betapa ‘pentingnya’ penegakkan hukum, equality before the law, yang semuanya diarahkan kepada Basuki Tjahaya Purnama, Ahok. Pidato mantan presiden Susilo dianggap sementara pihak sebagai “pengantar aksi-aksi demo yang tuntutannya jelas: Ahok, penista agama harus dihukum dan di-wo-kan atau diberhentikan”, meski Ahok belum ditetapkan tersangka. ”
“Pertentangan-pertentangan pernyataan mantan presiden Susilo kemudian (dianggap berkontribusi) menjadi ‘bumerang’ di media sosial dan melorotnya elektabilitas pasangan Agus-Silvy yang sempat unggul pada permulaan pemunculannya’.
Video kreasi Si Buni Yani itu masih terasa hingga gerakan 313, yang tuntutannya, minta presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo memberhentikan Ahok sebagai gubernur DKI. Penangkapan Sekjen FUI M Al Kathathath oleh kepolisian dengan pasal “makar”, menjadikan tawar gerakan 313 dan ditetapkan tersangka.
Sebelum pilkada DKI putaran pertama, survei elektabilitas Ahok-Djarot sempat menyentuh titik terrendah dibanding Agus-Silvy maupun Anies-Sandi. Status “tersangka’ hingga ‘terdakwa’ seorang Ahok dianggap faktor utama jebloknya elektabilitas itu. Artinya, paslon Ahok-Djarot didera isu SARA hingga didera hukum karena pilkada puritan bermuatan SARA, hingga jelang putaran kedua, antara paslon 2 dan paslon 3, Ahok tetap berstatus-hukum terdakwa ‘pasal penistaan keyakinan’.
Kita tidak mendapat pernyataan lengkap Anies, tetapi setidaknya pernyataan Anies itu adalah sebuah titik-balik (point of return) dari kecenderungan atau anggapan publik, bahwa, selama Ahok tetap terdakwa, semua isu SARA akan ‘terus-menerus dihembuskan’. Tapi, pernyataan Anies sedikit/banyak berdampak ‘perubahan hawa panas SARA’ pilkada DKI.
***
Pernyataan simpatik Anies ini muncul setelah “pilkada rasa pilpres bumbu SARA” sedang dalam anti-klimaks, spining off.
Isu primordialisme yang efektif mengubah prediksi pilkada DKI makin tumpul, karena rasionalitas pemilih DKI sedang makin dominan.
Meskipun mungkin sementara orang dapat beranggapan pernyataan Anies terlambat, hemat kita: better later than never. Sekecil apa pun manfaat pernyataan Anies itu, perlu diappresiasi demi pesta demokrasi yang makin dewasa. Bhineka tunggal Ika bagi publik DKI, ya Nusantara, tidak lagi sekedar slogan, sebaliknya publik makin mensyukuri perbedaan adalah spirit yang tiada henti kita jadikan jiwa dan jati diri bangsa. Meski di bagian jelang akhir pilkada DKI, Anies telah memulainya.
Akhirnya, kalau saja mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang bahkan mengaku bosan karena sudah sangat sering difitnah, dapat memberi pernyataan to the point terhadap ‘kawan tanding’ (sparing partner) paslon pilkada, ya Ahok-Djarot, yang bukan hanya bosan difitnah karena isu SARA, tetapi mengalami kejamnya fitnah (SARA) dan menghantarnya hingga ‘bosan’ jadi tersangka hingga terdakwa, seruan Anies jadi bermakna lebih dari sekedar ‘kesalehan sosial-politik’ seorang Anies.
Penulis, pengajar Multiculticulturalism-Cultural Diversity & State Philosophy pada President University, Jababeka, Cikarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H