Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Open Governance Anies, Mengapa Ahok Bingung?

27 Maret 2017   08:22 Diperbarui: 28 Maret 2017   04:00 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

               Pilkada DKI 2017 putaran kedua menambah satu catatan lain, ketika Anies Baswedan meluncurkan istilah baru dalam kosa-kata politik DKI setidaknya, yaitu “Open Governance”. Istilah (ya konsep) open governance Anies tampaknya sudah beberapa kali dikemukakan dalam kesempatan berbeda.

Dalam Tribun News.com28/1/2017, Anies menyatakan bahwa “Good governance itu (isu?) tahun 1990-an. Ini era-open governance. Calon Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan bakal menerapkan open government pada pemerintahannya mendatang. Pasalnya, sistem good governance yang diadopsi Pemprov DKI, sudah usang.” Kesempatan lain Anies nyatakan, “Tak cukup Good governance, lebih penting open governance”, detik.com, 27/1-2017.

Selanjutnya, juru bicara Anies Sandi mengelaborasi sendiri istilah, atau tepatnya ‘interpretasi Anies Basewedan atas, open-governance yang dikumandangkannya.

Tentulah dipahami publik, bahwa untuk menantang petahana, paslon no.3 harus mengkampanyekan hal-hal baru, gagasan baru yang akan mereka jalankan dalam roda pemerintahannya demi meraih s,impati publik pemilih secara signifikan agar dapat merebut kekuasaan dari pasangan petahana. Maka, dalam konteks sedemikian ingin kita pahami upaya-upaya ‘kreatif’ yang muncul dari paslon no.3. Retorika “asal-baru” bahkan terkadang konyol sekalipun, dalam konteks kampanye dianggap, yah “wajar-wajar sebagai ide

Namun, menurut hemat saya, menjadi tidak wajar bila ide itu dipertentangkan justeru dengan realitas politik dan konsep-konsep yang sedang baru dinikmati publik, perihal good and clean governance, yang lama dianggap lalai diimplementasikan, dan dalam hal ini good aand clean governance direduksikan (di-remeh-temekan) justeru dengan sebuah gagasan “sempalan” atau bagian-kecil dari gerakan besar dan fundamental good and clean governance.

Namun, tentang “open governance” yang dikampanyekan Anies Baswedan, bukan hanya membingungkan paslon petahana Ahok-Djarot yang juga merasa kebingunan “dengan istilah baru ini, tapi mungkin juga (terutama) interpretasi atasnya dan menjadi seolah sebuah “kriteria baru” yang diabaikan pemerinahan pasangan petahana.

Dalam tulisan singkat padatnya, David Saad Pemerintahan yang  Terbuka Tata Kelola,

Right to Know Law, New Hampshire,. Center for Public Integrity, menerangkan hubungan open Government dan Good Governance. Saad mengatakan, “Untuk membuat pemerintah kita lebih terbuka, lebih mudah diakses, dan lebih bertanggung jawab. Saya menawarkan tiga ide berikut untuk perubahan legislatif yang akan membuat lebih mudah bagi kita untuk menggunakan hak kami untuk pemerintahan yang lebih terbuka dan transparan.

Pertama, tidak ada biaya untuk memeriksa catatan pemerintah. Catatan pemerintah kita milik rakyat dan warga negara seharusnya tidak dikenakan biaya untuk mendapatkan akses untuk catatan apa pun. Banyak warga akan kehabisan uang jauh sebelum mereka mencapai tujuan mereka. Bandingkan birokrasi kelurahan hingga provinsi era sebelum dan selama Ahok-Djarot.

Kedua, harus ada catatan (pemberitahuan2) setiap berpapasan semua papan publik, yang menyajikan pemberitahuan publik, sebaliknya tidak ada hal yang disimpan (ditutup-tutupi). Publik tetap punya pembanding.

Ketiga, meningkatkan penegakan hukum. Hukum hanya menjadi bermanfaat  sejauh mekanisme penegakan hukum di lapangan untuk memastikan kepatuhan publik.

Saya memanggil semua warga negara, pejabat publik, dan anggota legislatif untuk bekerja dengan LSM kami Right to Know Law di New Hampshire untuk meningkatkan partisipasi publik atas Undang2 publik.

David Saad adalah Presiden NGO Right to Know Law New Hampshire, sebuah organisasi non-partisan yang didedikasikan untuk meningkatkan kepatuhan dan memperkuat Hak untuk Tahu Hukum-Perundangan (RSA 91-A).

Tentang Open Government (government partnership) ataupun istilah yang terkait partisipasi politik publik, David Saad menegaskan, bahwa “Open Government is Good Governance “(31 Maret 2016). Mungkin Saad juga“ ketinggalan kereta? Bukan hanya Ahok yang bingung, saya ikut bingung koq. 

Referensi “Good and Clean Governance” ini bahkan lebih detail bicara elemen-elemen ‘open governance’ seperti dilansir Anies, meliputi : Prinsip-Prinsip Pokok Good and Clean Governance, seperti dirumuskan Lembaga administrasi Negara (LAN) dalam sembilan aspek fundamental, yang harus diperhatikan yaitu: terutama poin satu dan dua pertama.         Partisipasi (participation), Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasrkan prinsip demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif; kedua; Penegakan Hukum (rule of law) Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan public memerlukan system dan aturan-aturan hokum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hokum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi public dapat berubah menjadi tindakan public yang anarkis.

Santosa menegaskan, bahwa proses mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain: Supremasi Hukum (The supremacy of law), kepastian Hukum, Hukum yang responsive, penegakkan hokum yang konsisten dan non-diskriminatif, Independensi Peradilan). Unsur-unsur lainnya (ke-3 hingga ke-9),  Transparansi (Transparancy); 4. Responsif (Responsive); 5. konsensus (consensus);6.  Efektivitas (effectivenss) dan; 7 Efisiensi (efficiency)8. Akuntabilitas (accountability);9 Visi Strategis (strategic vision).

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai apabila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.

Partisipasi publik dalam Pilkada yang mencapai lebih dari 80% dalam Pilkada DKI 2017 adalah salah satu indikator “public trust”, ya good and clean Governance atau open management” itu,  pada penyelenggaraan Pilkada yang “fair, transparan, terbuka untuk publik”. Hal itu tidak mungkin terlaksana bila Pemerintahan incumbent (petahana) alah sebuah sistem yang berseberangan dengan “open governance”.

Menurut hemat saya tidak perlu, karena isu “open Governance masih sebatas wacana sempalan dari pemikiran utama “Good and Clean Governance” dan sebagai wacana yang telah maju praktik Good and Clean Governance-nya pun belum “jelas konsepnya” apalagi praktiknya. Menjelaskan apalagi mempertentangkkan “Open Governance” dengan “Good Governance” dapat mendatangkan bukan hanya kerancuan paham, tetapi dapat dianggap “asal-beda” dengan Ahok-Djarot, terutama Pemerintahan Presiden Jokowi, yang kalau kita sepakat, untuk pertama kali dalam lebih dari 60 Tahun merdeka, Rakyat Indonesia mearasakan Partisipasi publik yang lebih baik dari semua rejim Pemerintahan yang pernah ada.

Pakar sosiologi politik Yudhi Latief pun berpikir pragmatis, ketika sampai pada akhirnya menyebut “Ya Ahok itu Robin Hood”. Mungkin Yudhi benar adanya. 

Penulis: pengajar filsafat negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun