[caption id="attachment_372707" align="aligncenter" width="418" caption="Sumber gambar: http://lh5.ggpht.com"][/caption]
Saya, seperti banyak pendukung dan relawan Presiden Jokowi lainnya, masih dalam keadaan trust tertinggi, nyaris tanpa syarat. Sehingga, dengung kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nyaris lewat tanpa sikap kritis. Untunglah, atau malangnya, bahwa mbak Rieke (Rieke Diah Pitaloka) mendadak mengingatkan kembali catatan saya pada hal fundamental tentang kenaikan harga BBM, misalnya dalam tulisan Tolak Harga BBM Atas Dasar Konstitusi.
Sebagai kader PDI-Perjuangan, Mbak Rieke tampak konsisten dengan penjelasan fundamental dan rasional seputar problem BBM kita. Inilah beberapa catatan mendasar yang saya ulangi, bilamana Bapak Presiden Jokowi sedang dalam keadaan bimbang, entah menaikkan BBM, atau menganggap penolakan kenaikan harga BBM sebagai sebuah kebijakan "Asal Rakyat Senang" atau kebijakan populis.
Dua alasan sederhananya, pertama, adalah konstitusi mengamanatkan, dan kedua, adalah tidak ada dasar rasional menaikkan harga BBM tanpa perbaikan pelbagai sektor seputar ESDM. Apalagi, harga minyak dunia pada hari-hari ini, justeru menunjukkan trend turun harga (U$ 80-an/barel), sementara kita sebaliknya mau menaikkan harga.
Konstitusi dan BBM
UUD 1945 menyatakan, "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan" (Pasal 33 Ayat 1); "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" (Pasal 33 Ayat 2); "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" (Pasal 33 Ayat 3); dan "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional" (Pasal 33 Ayat 4).
Mengapa kenaikan harga BBM mutlak ditolak? Menjelaskan secara lebih populis tentang ditolaknya argumen Pemerintah terhadap kenaikan BBM di satu pihak, sementara pengalaman masyarakat yang didukung penjelasan mendasar di pihak lain, disederhanakan sebagai berikut.
Pemerintah dan mereka yang menolak kenaikan harga BBM, diwakili antara lain oleh ekonom senior Kwik Kian Gie sepakat, bahwa naik seberapapun harga minyak dunia, Indonesia tetap mendapat sisa "surplus" keuntungan pendapatan dari cadangan BBM-nya.
Mengapa kemudian Pemerintah ngotot menaikkan harga BBM? Pemerintah berargumen, bahwa belanja negara akan "jebol" sebagai akibat ‘berkurangnya' surplus itu. Itu bahasa yang bukan baru muncul tahun 2014, tapi hampir setiap tahun. Dengan mengurangi subsidi terhadap BBM, maka surplus BBM relatif akan tetap terjaga. Alasan Pemerintah, subsidi atas BBM itu kebanyakannya dinikmati ‘kelas menengah'.Â
Diterimakah penjelasan demikian? Penjelasan itu sulit diterima. Bahkan meskipun sekarang Indonesia yang pernah menjadi pengekspor BBM dan sekarang menjadi murni importir, tetap saja 50% kebutuhan BBM dalam negeri adalah milik Indonesia. Untuk sisa kebutuhan itu, Indonesia mengimport.
Mari ikuti penjelasan Kwik Kian Gie, kader PDI-Perjuangan. Tahun 2012, Kwik berargumentasi, hitung-hitungan Pemerintah dengan hitungan Kwik cs sama, karena dari sumber-sumber yang sama dengan Pemerintah. Tetapi, mengapa jadi berbeda soal BBM boleh dan tidak mutlak dinaikkan?
1. Tidak pernah ada subsidi BBM itu. Pemerintah dan Pertamina hanya melakukan transaksi yang juga jelas dapat diaudit. Tetapi, keuntungan Pemerintah dan Pertamina tidak pernah teraudit secara transparan dan akuntabel.
2. Tidak ada cukup alasan bagi Pemerintah RI untuk terus mempertahankan harga minyak dunia berdasarkan standar NYMEX. Sejak tahun 1960-an hingga 2007, standarisasi dan landasan hukum transaksi atas hitungan NYMEX telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, jadi tidak lagi ada dasar hukum menghitung BBM tanah air berdasarkan fluktuasi harga pasar global.Â
3. Â Produksi BBM Indonesia yang pernah mencapai 1,6 juta barrel/hari di jaman Soeharto, di masa Indonesia modern dan kecanggihan teknologi, Indonesia hanya mampu memproduksi 800 ribu barrel/hari. Ketidakmampuan tata kelola atau perjanjian kerja sama dengan perusahaan asing yang merugikan, mestinya segera ditinjau kembali.Â
4. Tidak becusnya Pemerintah Indonesia mengelola enerji alternatif di satu sisi, sementara ketergantungan pada BBM di sisi lain, hingga hari ini tetap berulang. Renegosiasi salah jual gas dengan China, masih belum disentuh. China bersedia bicara, apabila mereka sadar kalau mengambil gas dengan keuntungan besar, sementara mitranya Pemerintah Indonesia hanya jadi penonton.Â
5. Perjanjian kerja-sama dengan perusahaan besar yang telah berlangsung sejak 1960-an, dilanjutkan Orde Baru, hingga masa Presiden Megawati, Kwik Kian Gie telah mengemukakan alasan mengapa dasar menghitung harga BBM dengan pasar New York adalah bertentangan dengan Konstitusi, terus dipompakan kepada pemerhati pengelolaan sumber-sumber alam yang membiayai hidup hajat orang banyak. Mahkamah Konstitusi di masa Jimmly Assidiqie telah meninjau kembali semangat konstitusi itu, tetapi herannya hingga kini, Pemerintah tetap bertolak dari semangat pasar bebas.
6. Kenaikan harga BBM tidak pernah boleh melanggar tiga hal ini: a). Kepatutan; b). Daya beli masyarakat; c). Dampaknya pada harga barang dan jasa lainnya. Pada kenyataannya, kenaikan BBM yang diumumkan pemerintah, bahkan belum diumumkan pun, telah memicu melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok. Jadi, dari semua masukkan yang diterima masyarakat dan pengamat, semuanya sepakat, bahwa pun kalau harga minyak dunia mencapai U$150/barrel, Indonesia dapat tetap mengatur belanja negara sendiri.
Untuk pemerintahan Presiden Jokowi yang usia "balibul" (bawah lima bulan) ini, kami mengingatkan lagi, bahwa pertama, menaikkan harga BBM tidak hanya bertentangan dengan semangat Konstitusi kita, sehingga di awal pemerintahan, pemetaan masalah ESDM haruslah menyeluruh, sebelum sebuah keputusan serius menyangkut hayat hidup orang banyak, akan diambil. Kedua, jagalah kepercayaan masyarakat yang telah memilih Bapak Presiden dengan menghindari kenaikkan harga BBM. Kalau masyarakat menengah ikut menimati subsidi BBM, setidaknya, mereka akan "membayarnya" dengan tetap mengerjakan pekerja di sektor "non-formal" (PRT, sopir, dll); tidak ada PHK oleh pengusaha menengah; dan bahwa spekulasi kita tentang hitung-hitungan masalah hulu dan hilir Gas dan Minyak kita benar-benar telah tuntas.
Akhirnya, data menunjukkan (menurut data mbak Rieke), angka keluarga miskin bertambah justeru pada saat kenaikan harga BBM, bukan setelah pembagian BLT. Pemiskinan sebagian besar kelompok masyarakat, dan terbukanya pengangguran yang meluas, justeru dengan kenaikan harga BBM. Menaikkan harga BBM dalam mekanisme pasar bebas dengan standar NYMEX, menurut Kwik telah diperingatkan lama oleh pengamat Amerika sendiri.
Dalam bahasa etis, menurut hemat saya, "menaikkan harga BBM sebagai pilihan terakhir", itu nyaris sama artinya dengan "jangan menaikkan". Hal yang melanggar konstitusi, Bapak Presiden.
*) Penulis, relawan, pengajar dan praktisi Pasar Modal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H