[caption id="" align="alignleft" width="450" caption="Kleptokrasi (sumber: Kompasiana & sumber tertera)"][/caption]
Setahun tragedi penyerangan oleh aparat polisi dan TNI-AD terhadap warga desa Duroa atau Dullah Laut, Tual, Maluku, tepat pada tanggal 10 November 2013, masyarakat desa Duroa tegar melakukan rekonsiliasi di dalam desa. Perkara yang telah dilaporkan dan ditangani Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) hingga Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) di Jakarta itu, tidak menghentikan kegiatan PT. Dafin Mutiara yang menjadi sumber konflik aparat dan warga desa Duroa.
Sebagaimana diberitakan Kompasiana (11/11/2013), Hari Pahlawan Ternoda Polisi Aniaya Warga desa Duroa, warga desa Duroa yang membela hak petuanannya terhadap penguasaan pulau Bair-Ohoimas oleh PT. Dafin Mutiara, tiba-tiba diserang oleh aparat Polisi dan TNI-AD setempat. Pada pagi hari tanggal 10 November 2013, warga Duroa mengetahui bahwa "sasi" (larangan) adat terhadap PT. DM telah dirusak, menyerang rumah saudara Munadi, yang kebetulan kepala Desa, dan ikut menyetujui penguasaan pulau tersebut. Padahal, pulau Bair-Ohoimas masuk dalam hak ulayat yang dimiliki secara kolektif oleh Ohoiroa-Fauur yang terdiri dari tujuh marga, yakni Henan, Yamko, Rahaded, Nuhuyanan, Raharusun, Rahawarin, Songyanan. Pelbagai tulisan, termasuk peneliti Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) Dedi S Adhuri telah ikut melakukan riset dan pembenaran historis atas kewenangan adat di desa Duroa tersebut dalam tulisannya "Dullah Laut in Selling the Sea, Fishing for Power" dalam jurnal Australian National University.
Kades Munadi Rahaded dipandang telah 'dipaksa' melakukan kontrak terhadap pulau Bair-Ohoimaspihak-pihak tertentu. Namun, kasus Kades Munadi dianggap telah menjadi "pintu masuk penguasaan" Hak Ulayat masyarakat desa Duroa, oleh para pihak terutama PT. DM.
Bantuan Kontras, Komnas HAM dan Mabes Polri
Kontras telah menyurati Kapolda Maluku Brigjen Murad Ismail (no.14/SK-KontraS/I/2014) meminta Klarifikasi dan Mendesak pengusutan atas kasus kekerasan yang terjadi, dan dibalas surat Polda Maluku (7 Maret 2014) kepada Kadiv Advokasi Ekosob Kontras Syamsul Munir.
Surat Polda tersebut dipandang tidak sesuai kenyataan yang terjadi di lapangan, sehingga bertepatan kehadiran Imam Masjid besar desa Duroa Abdulazis Nuhuyanan di Jakarta, memberikan pernyataan yang isinya, antara lain menolak penjelasan Polda Maluku yang menyatakan konflik di desa Duroa terjadi karena pemilihan Kepala Desa. Sementara itu, sesungguhnya yang terjadi adalah Kades Munadi telah menandatangani kontrak dengan PT DM tanpa sepengetahuan warga Ohoiroa Fauur atau tujuh kepala marga pemilik ulayat.
Sementara itu, surat Komnas HAM kepada Kapolri (no. 1.135/K/PMT/V/2014) pada tanggal 30 Mei 2014, belum ada tanggapan dari pihak Mabes Polri.
Di lain pihak, korban insiden tersebut yakni Ridwan Nuhuyanan dan Zainal Rahawarin yang sempat ditahan selama 3 bulan di Polres Tual, dengan susah payah akhirnya atas bantuan Kontras melapor ke Propam Mabes Polri di Jakarta (8 Mei 2014), dan menunggu, bahwa Mabes Polri sungguh akan memperhatikan tindakan indisipliner anggotanya.
Sementara itu, penasihat hukum warga Desa Duroa berpandangan, bahwa Polda Maluku juga telah menjadi bagian langsung dan tak langsung dari kejadian tersebut, sehingga konflik kepentingan institusional kepolisian terjadi di tingkat Polres Tual dan Polda Maluku. Itu berarti petinggi Mabes Polri di Jakarta diharapkan komitmennya untuk menjawab dan menyelesaikan tragedi 10 November 2013 tersebut, agar masyarakat tidak bertanya-tanya tentang kepastian hukum dan keadilannya.
“Kami akan ke Komnas HAM untuk mempertanyakan sikap Kapolri atas surat Komnas HAM. Karena, kami berkeyakinan bahwa upaya penguasaan hak ulayat desa Duroa telah melibatkan oknum-oknum pejabat hingga di Jakarta”, tutur warga desa Duroa yang tidak hendak menyebutkan namanya.