Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Setahun Tragedi Hak Ulayat Desa Duroa, Relawan Pertimbangkan Lapor Presiden

11 November 2014   03:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:07 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kleptokrasi (sumber: Kompasiana & sumber tertera)

[caption id="" align="alignleft" width="450" caption="Kleptokrasi (sumber: Kompasiana & sumber tertera)"][/caption]

Setahun tragedi penyerangan oleh aparat polisi dan TNI-AD terhadap warga desa Duroa atau Dullah Laut, Tual, Maluku, tepat pada tanggal 10 November 2013, masyarakat desa Duroa tegar melakukan rekonsiliasi di dalam desa. Perkara yang telah dilaporkan dan ditangani Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) hingga Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) di Jakarta itu, tidak menghentikan kegiatan PT. Dafin Mutiara yang menjadi sumber konflik aparat dan warga desa Duroa.

Sebagaimana diberitakan Kompasiana (11/11/2013), Hari Pahlawan Ternoda Polisi Aniaya Warga desa Duroa, warga desa Duroa yang membela hak petuanannya terhadap penguasaan pulau Bair-Ohoimas oleh PT. Dafin Mutiara, tiba-tiba diserang oleh aparat Polisi dan TNI-AD setempat. Pada pagi hari tanggal 10 November 2013, warga Duroa mengetahui bahwa "sasi" (larangan) adat terhadap PT. DM telah dirusak, menyerang rumah saudara Munadi, yang kebetulan kepala Desa, dan ikut menyetujui penguasaan pulau tersebut. Padahal, pulau Bair-Ohoimas masuk dalam hak ulayat yang dimiliki secara kolektif oleh Ohoiroa-Fauur yang terdiri dari tujuh marga, yakni Henan, Yamko, Rahaded, Nuhuyanan, Raharusun, Rahawarin, Songyanan. Pelbagai tulisan, termasuk peneliti Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) Dedi S Adhuri telah ikut melakukan riset dan pembenaran historis atas kewenangan adat di desa Duroa tersebut dalam tulisannya "Dullah Laut in Selling the Sea, Fishing for Power" dalam jurnal Australian National University.

Kades Munadi Rahaded dipandang telah 'dipaksa' melakukan kontrak terhadap pulau Bair-Ohoimaspihak-pihak tertentu. Namun, kasus Kades Munadi dianggap telah menjadi "pintu masuk penguasaan" Hak Ulayat masyarakat desa Duroa, oleh para pihak terutama PT. DM.

Bantuan Kontras, Komnas HAM dan Mabes Polri

Kontras telah menyurati Kapolda Maluku Brigjen Murad Ismail (no.14/SK-KontraS/I/2014) meminta Klarifikasi dan Mendesak pengusutan atas kasus kekerasan yang terjadi, dan dibalas surat Polda Maluku (7 Maret 2014) kepada Kadiv Advokasi Ekosob Kontras Syamsul Munir.

Surat Polda tersebut dipandang tidak sesuai kenyataan yang terjadi di lapangan, sehingga bertepatan kehadiran Imam Masjid besar desa Duroa Abdulazis Nuhuyanan di Jakarta, memberikan pernyataan yang isinya, antara lain menolak penjelasan Polda Maluku yang menyatakan konflik di desa Duroa terjadi karena pemilihan Kepala Desa. Sementara itu, sesungguhnya yang terjadi adalah Kades Munadi telah menandatangani kontrak dengan PT DM tanpa sepengetahuan warga Ohoiroa Fauur atau tujuh kepala marga pemilik ulayat.

Sementara itu, surat Komnas HAM kepada Kapolri (no. 1.135/K/PMT/V/2014) pada tanggal 30 Mei 2014, belum ada tanggapan dari pihak Mabes Polri.

Di lain pihak, korban insiden tersebut yakni Ridwan Nuhuyanan dan Zainal Rahawarin yang sempat ditahan selama 3 bulan di Polres Tual, dengan susah payah akhirnya atas bantuan Kontras melapor ke Propam Mabes Polri di Jakarta (8 Mei 2014), dan menunggu, bahwa  Mabes Polri sungguh akan memperhatikan tindakan indisipliner anggotanya.

Sementara itu, penasihat hukum warga Desa Duroa berpandangan, bahwa Polda Maluku juga telah menjadi bagian langsung dan tak langsung dari kejadian tersebut, sehingga konflik kepentingan institusional kepolisian terjadi di tingkat Polres Tual dan Polda Maluku. Itu berarti petinggi Mabes Polri di Jakarta diharapkan komitmennya untuk menjawab dan menyelesaikan tragedi 10 November 2013 tersebut, agar masyarakat tidak bertanya-tanya tentang kepastian hukum dan keadilannya.

“Kami akan ke Komnas HAM untuk mempertanyakan sikap Kapolri atas surat Komnas HAM. Karena, kami berkeyakinan bahwa upaya penguasaan hak ulayat desa Duroa telah melibatkan oknum-oknum pejabat hingga di Jakarta”, tutur warga desa Duroa yang tidak hendak menyebutkan namanya.

Rekonsiliasi dan Kepastian Hukum: Relawan Jokowi akan Melapor

Tragedi di desa Duroa, bermula dari sebuah kontrak tertanggal 24 April 2012, atas dua pulau, yaitu Bair dan Ohoimas, yang dilakukan PT. DM dan beberapa oknum yang mengklaim diri pemilik dua pulau dimaksud. Sebagian masyarakat tidak mengaku tidak mengetahui, bahwa dalam perjanjian itu tercantum pernyataan, bahwa “pulau Bair dan Ohoimas adalah milik (oknum) Rahaded”.

“Jika ada pernyataan tersebut (maksudnya, Bair-Ohoimas adalah milik Rahaded) kami tidak akan terima dan dukung pernjanjian tersebut”, ujar Emilianus Henan (55), akhir Agustus 2014 ketika diberitahu isi perjanjian tersebut. "Sayang, banyak warga masyarakat tidak tahu adanya kalimat tersebut dalam kontrak", lanjutnya.

Bila aparat Penegak hukum dan Komnas HAM tidak menyelesaikan kasus hukum PT. DM, maka Kerukunan Duroa Perantauan mengagendakan melaporkan tindakan illegal dan arogansi PT. DM kepada Presiden Jokowi.

Masa rekonsiliasi berlaku hingga Desember 2014, dan Kades Munadi Rahaded dan Kadus Herman Yamko diharapkan warga Duroa Perantuan agar aktif melakukan rekonsiliasi warga desa Duroa, serta mengakhiri pendudukan PT DM di petuanan.

"Kalau tidak ada lembaga lain lagi yang kita percaya menyelesaikannya, kita laporkan langsung ke Presiden Jokowi", pungkas Ketua Duroa Perantauan Ustad Adnan Nuhuyanan, S.Sos (10/11/2014).

Relawan untuk Presiden Jokowi mempertimbangkan tugas pengawasan yang diamanatkan Presiden Jokowi, dengan antara lain melaporkan kasus-kasus hukum yang tampak tidak diselesaikan aparat di bawahnya.

"Malu sebenarnya, masalah sepeleh harus dilaporkan ke Presiden. Tapi, ini menyangkut pelbagai aspeknya, bukan sekedar penyerobotan hak ulayat, tapi adanya pelanggaran HAM, dependensi dan keberpihakkan penegak hukum, dan arogansi para kapitalis", demikian tutur Ustad Adnan. *)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun