Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hermeneutika atas "Penutup Mata" Presiden Jokowi

2 Desember 2014   23:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:12 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_357427" align="alignleft" width="300" caption="sumber: Kompas Cetak"][/caption]

Hermeneutika "penutup mata" Presiden Joko 'Jokowi' Widodo sebenarnya dipahami sebagai tafsir atas "pelbagai tindakan dan keputusan" yang diambil dengan "tidak sepenuhnya (belum tentu) menjadi keputusan nurani" Presiden . Tafsir ringkas ini terinspirasi acara yang disebut Revolusi Mental Mengenang Gus Dur atau KH Abdurahman Wahid yang diselenggarakan Selasa malam lalu, 25 November 2014, di sebuah padepokan Roemah Petroek di Desa Karang Klethak, Sleman, Yogyakarta.

Hermeneutika adalah salah satu aliran filsafat yang mempelajari interpretasi atas makna. Kata "hermeneutika" (dari kata Yunani "hermeneuien") yang berarti menafsirkan, memberi pemaknaan, atau mengartikulasikan sesuatu tindakan atau perkataan yang butuh penjelasan lebih konkrit bagi masyarakat awam atau kebanyakan. Asal mulanya, kata kerja "hermenueien" diambil dari nama "Dewa Pengetahuan" atau Hermes dalam mitologi Yunani, yang bertugas menafsirkan maksud para dewa di Olympus kepada rakyat Romawi.

Bagi sebagian orang (pengamat), lingkaran seputar Presiden Joko "Jokowi" Widodo didiami sejumlah orang yang terang-terangan ataupun terselubung, merasa "dapat mengambil bagian" hingga "merebut bagian hak prerogatif" Presiden Jokowi. Dalam haul presiden Gus Dur pun, nada kritis pun terlontar, bahwa bahkan meskipun Gus Dur matanya "tertutup rapat", Beliau dapat memandang realitas dengan lebih terang. Sementara, sekarang dalam refleksi ini, kain penutup mata Presiden Jokowi sendiri menjadi bagian dari obyek yang perlu diinterpretasi.

Lima Tanda Awal, Presiden Jokowi "Bertoleran"

Pertama, penyusunan kabinet "Kerja" adalah hadirnya "syarat" sebelum ataupun sesudah terbentuknya kabinet, oleh Presiden atau (terutama) orang seputar Presiden yang, suka tidak suka, membebani Presiden dengan syarat-syarat, mengiris sirna bahasa magis Presiden, yakni "syarat tanpa syarat" tergabungnya partai dalam koalisi. Kesan Presiden Jokowi membagi hak prerogatifnya dengan orang seputarnya menjadi tidak bisa disembunyikan. Karena hingga detik terakhir pengumuman Kabinet Kerja, posisi tawar para penyerobot "hak prerogatif" tidak tinggal diam.

Kedua, masuknya sejumlah nama, terutama yang diduga telah diberi warna kuning oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), mestinya tidak dipaksakan masuk. Karena, akhirnya memperkuat kesan Presiden Jokowi memiliki hak prerogatif yang dibiarkan masuk sejumlah oknum lainnya.

Ketiga, perbedaan dalam beberapa nama yang masuk Kabinet, berlanjut dengan perbedaan sikap dalam kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), terutama sejumlah anggota PDIP-P, yakni Rieke 'Oneng' Diah Pitaloka dan Effendi Simbolon, yang terang-terangan bersebrangan dengan  KIH menunjukkan, tidak solidnya PDI-P dan anggota KIH koalisi lainnya. Betapapun diyakini, bahwa pun meskipun Presiden Jokowi memiliki putusan sendiri untuk menaikkan BBM, tetapi pernyataan-pernyataan orang dekat Jokowi sebelum kenaikan BBM, telah memaksakan (fait accompli) kenaikan harga, hal yang melanggar Etika dan hak prerogatif Presiden RI seperti diamanatkan.

Ketiga, tentang pernyataan atas kasus Munir Said bin Thalib, yang tewas diduga di-design pihak tertentu, bahwa "Kasus Munir sudah selesai" - hal ini dinyatakan Wapres (terpilih ketika itu) Jusuf Kalla (JK) adalah kenyataan politik yang mengecewakan para aktivis HAM yang terang-terangan mendukung Presiden Jokowi.

Keempat,  pengangkatan Jaksa Agung HM Prasetyo yang tadinya adalah partai Nasdem yang dipimpin Surya Paloh, memperkuat pelbagai indikator awal relasi transaksional yang pernah dihujamkan ke arah mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Mungkin, masih ada ruang berargumentasi soal Prasetyo, seperti hal bahwa "Prasetyo bukan murni tokoh politik", atau alasan lainnya. Tapi, independensi para penyelenggara negara menjadi tanda tanya, setidaknya aktivis HAM seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) atau Kontras.

Kelima, sekali lagi tentang HAM, terbebasnya Pollycarpus yang ada dalam lingkaran penghilangan nyawa aktivis HAM dan pendiri Kontras Munir Said bin Thalib, memberikan lampu siaga "satu". Sebelumnya, sejumlah nama dalam Kabinet Jokowi dianggap ikut bertanggung-jawab dalam HAM dan akhirnya terakomodir. Maka, tentang arah penegakkan HAM dibawah pemerintahan Presiden Jokowi, di masa awalnya saja pun memberikan tafsir yang paling ekstrim, bahwa "harapan akan penegakkan HAM" itu sedang pupus" meski belum sirna, dalam areal 1oo hari pertama pemerintahan Presiden. Ini sekedar lima hal yang relatif mencolok ke publik.

Penutup

Mereka berharap dengan cemas, bahwa Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI-P), Surya Paloh (Keta Umum Partai Nasdem), hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla mengetahui betapa greget dan cemas akan "penutup mata" Presiden Jokowi. Masyarakat "yang masih berpengharapan" berpendapat, bahwa, pertama, trio Mega, Surya, Kalla (MSK) dapat membuka lebih banyak kesempatan atau ruang bagi Presiden baru Jokowi untuk berekplorasi dengan "hak-hak prerogatifnya". Tanpa kesediaan ini, Jokowi akan makin kuat dipandang sebagai Presiden "Handimade" tanpa kekuasaan bernurani ala Jokowi. Karena kecuali Surya, Megawati dan Kalla adalah mantan Presiden atau Wapres yang "merasa lebih tahu" dari Presiden baru.

Kedua, tanpa kesadaran akan alam sublimasi suara a silent post power syndrome sedemikian, sesuatu yang manusiawi juga sebenarnya, tapi bila berlebihan tanpa kesadaran untuk mengontrolnya, akan menjadi bencana nyata di depan mata kekuasaan Jokowi.

Ketiga, tugas Trio MKS adalah membuka kain tebal dan pekat di mata Presiden, bukan menambahnya hingga menjadi bagian dari penutup mata kekuasaan Presiden. Tidak sedikit orang, untuk tidak mengatakan sebagian besar Relawan Jokowi telah (dan sedang) pergi. Kami, yah saya termasuk, masih berdiri di sini untuk memberi alarm, karena saya telah memilih Presiden. Slogan "In 'Joko' We Trust", dikritisi karena (mungkin sedang) menuju kritis.***

Penulis, Relawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun