Mohon tunggu...
bertha galuhandini
bertha galuhandini Mohon Tunggu... Guru - SMK N 6 Surakarta

guru film yang hobi traveling dan foto kanan kiri ;-)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekuatan Tokoh Anwar Congo dalam Film The Act of Killing

7 Desember 2022   10:57 Diperbarui: 7 Desember 2022   11:13 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: capture film The Act of Killing

A. Latar Belakang Masalah

Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S/PKI merupakan sebuah penamaan oleh Orde Baru mengenai peristiwa yang terjadi pada malam tanggal 30 September 1965. Peristiwa ini dianggap sebagai lanjutan dari berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan diinterpretasi oleh Angkatan Darat sebagai usaha kudeta terhadap pemerintah karena memiliki perbedaan ideologi (Herlambang, 2013:2). Konstruksi mengenai peristiwa G30S/PKI ini kemudian menjadi kontestasi sejumlah pihak, bahkan dinilai sebagai episode gelap yang masih menjadi perdebatan hingga hari ini.

Rezim Orde Baru berkuasa pada 1967 hingga berakhir pada tahun 1998, negara mengontrol semua tindakan masyarakat, salah satunya adalah media film, khususnya film dokumenter. Film dokumenter menjadi sorotan khusus, karena merepresentasikan kenyataan (peristiwa nyata). Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa, namun merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi berdasarkan pembingkaian sutradara. 

Ketika Orde Baru berakhir, peristiwa ini cukup menggelitik sutradara dokumenter. Beberapa sutradara kemudian menelusuri fakta mengenai peristiwa G30S/PKI dari narasumber di lapangan yang kemudian membingkai sudut pandang mengenai peristiwa tersebut lewat beberapa film. Mereka berusaha mengungkap misteri kebenaran atas kejadian G 30 S dan G 30 S/PKI tersebut. 

Beberapa film tersebut diantaranya, film Mass Grave (2001) karya Lexy Rambadeta dan film Rante Mas (2006) karya BW Purbanegara yang menelusuri tempat penguburan massal para korban pembunuhan 1965. Film 40 Years of Silence (2009) karya Robert Lamelson, mengisahkan satu keluarga yang dikucilkan oleh masyarakat karena dituduh sebagai simpatisan PKI. 

Film Jembatan Bacem (2013) karya Wiludiharto, yang menampilkan orang-orang yang  dipaksa untuk membantu pembunuhan masal tahun 1965 di kota Solo. Film-film tersebut menyampaikan sudut pandang yang berbeda dari konstruksi pemerintah, namun narasi yang diusung hanya terbatas menyoroti bagaimana kehidupan para eks-tapol yang tetap menjadi kaum termarjinal[1] meski Orde Baru telah berakhir cukup lama. Hal tersebut terjadi karena pembuat film masih dihantui oleh kekuasaan rezim Orde Baru. 

Pada tahun 2012, seorang sutradara film asal Kanada, yaitu Joshua Oppenheimer, memproduksi sebuah film dokumenter berjudul The Act of Killing. Tampaknya peristiwa G 30 S/PKI ini juga menarik perhatian sutradara dari negara Barat tersebut. Melalui riset selama dua belas tahun di kota Medan, Joshua dapat menemukan cerita yang menarik berkaitan dengan peristiwa G 30 S/PKI untuk disampaikan pada penonton. Film ini cukup menyita perhatian beberapa orang karena memiliki konstruksi cerita yang berbeda dengan film bertema sama lainnya. Konstruksi realitas yang dipilih oleh Joshua Openheimer dinilai dapat menimbulkan sudut pandang baru atas peristiwa G30S/PKI.

 Tampaknya sang sutradara memahami bahwasanya tulang punggung sebuah film dokumenter berada pada narasinya. Keunikan narasi yang di usung dapat memperlihatkan karakter sutradara dan film yang dibuatnya. Sudut pandang narasi yang diusung oleh Joshua tersebut menarik untuk dikaji lebih dalam, karena kekuatannya di bangun oleh kehadiran seorang tokoh utama bernama Anwar Congo. Anwar Congo adalah seorang eksekutor ‘peristiwa 1965’ yang saat ini masih hidup. Keseluruhan narasi dalam film ini dibentuk dari susunan wawancara antar tokoh yang dihadirkan oleh Anwar Congo, visualisasi tokoh Anwar Congo sebagai pria tua yang memiliki power diantara tokoh-tokoh lain yang dihadirkan dalam film, dan pembahasan mengenai penelusuran ingatan peristiwa 1965 yang telah dilalui oleh Anwar Congo dan kawan-kawannya. Penelusuran ingatan ini dilakukan dengan cara yang tidak biasa, yaitu para pelaku diajak untuk membuat sebuah film yang menceritakan pengalaman mereka. Dalam film ini, dapat disaksikan proses produksi sebuah film yang akan membawa penonton untuk melihat kembali kepingan-kepingan ingatan mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 1965. Keistimewaan film The Act of Killing ini terletak pada pemilihan tokoh kunci. Tokoh-tokoh yang dihadirkan Joshua Oppenheimer dalam film tersebut tidak pernah hadir dalam film dokumenter bertema sejenis. Film ini menjadi kunci titik balik peristiwa G 30 S/PKI yang belum pernah diungkap sebelumnya.

 

B. Pembahasan

Tokoh berperan penting dalam sebuah film baik film cerita maupun film dokumenter. Dalam sebuah film, tokoh berperan sebagai pemegang alur cerita  yang dapat menghidupkan peristiwa dan sebagai pembawa cerita. Pada film dokumenter, tokoh yang dimaksud adalah narasumber utama. Narasumber dalam dokumenter adalah hal yang sangat penting, karena selain sebagai sumber informasi, seperti dalam cerita fiksi, narasumber juga berperan menjadi tokoh utama. 

Narasumber sebagai tokoh  utama didalam film dokumenter memiliki peranan fungsional untuk mengetengahkan realita suatu peristiwa, dengan tujuan mengembangkan unsur dramatik didalam konflik (Gerzon, 2008:53). Berangkat dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa sang sutradara memilih Anwar Congo sebagai narasumber dan tokoh utama dalam film ini karena Anwar merupakan eksekutor senior yang masih hidup dan memiliki banyak kekuasaan, seperti yang dikutip dari hasil wawancara antara Joshua Oppenheimer dengan media BBC Indonesia online.

“Saya hanya datang untuk membantu buruh perkebunan membuat film dokumenter mereka. Mereka yang menyutradarainya dan saya hanya sebagai fasilitator. Disitulah saya ketemu pembantai tahun 1965, saya ketemu kenyataan para pelaku masih membual, dan korban tetap diam dan takut. Itu satu kenyataan yang sangat tidak adil dan menjadi cerminan kasus impunitas di seluruh dunia dan saya tidak bisa mengabaikannya.” (Ging Ginanjar. 10 November 2014. Oppenheimer: Kita Tidak Bisa Lari Dari Sejarah. diakses pada 15 November 2018).

1. Bografi Tokoh

Nama                                         : Anwar

Asal                                             : Medan, Sumatra utara

Tempat, tanggal lahir         : Pangkalan Brandan, 1940

Usia                                             : 81 tahun

Pendidikan                              : Kelas IV SD Taman Siswa

Organisasi                                : Pendiri organisasi Pemuda Pancasila

Alamat                                       : Kecamatan Medan Area

Nama asli narasumber Anwar, namun kemudian lebih dikenal dengan sebutan Anwar Congo. Tambahan Congo diberikan karena Anwar pernah akan mengikuti misi perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke Kongo. Tambahan nama Kongo (Congo) sudah terlanjur diberikan walaupun misi tersebut batal dilaksanakan. Panggilan sehari-harinya adalah Abah. Anwar Congo dikenal ramah, gemar membaca buku, sehingga ia dikenal sebagai sosok yang cerdas meskipun tidak menempuh bangku pendidikan formal.

Nama Anwar Congo hampir tidak pernah terekspos media. Literatur mengenai dirinya sangat sedikit, sehingga membatasi pengetahuan khalayak terhadap sosok tersebut. Data-data Anwar Congo begitu dilindungi karena sebenarnya dirinya merupakan sosok penting sebagai salah satu pemegang kunci atas peristiwa represi[1] terhadap orang-orang yang dianggap simpatisan PKI yang terjadi pada tahun 1965-1966. Disinilah letak kejelian seorang sutradara sehingga dapat menemukan narasumber baru yang tidak pernah muncul pada film-film lain bertema sama.

 

2.  Pendekatan dan Struktur Bertutur

Estetika adalah elemen yang tidak dapat diabaikan dalam pembuatan sebuah film. Meski dokumenter merupakan bentuk film yang merepresentasikan realita dengan melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya, tetapi sentuhan estetik tetap diperlukan. Hal ini dilakukan agar penonton dapat memahami isi dari cerita dan tidak mengalami kebosanan selama menonton. Film dokumenter dalam pengemasannya bertumpu pada pendekatan dan struktur bertutur dimana bentuk penuturan cerita yang dimiliki setiap sutradara memiliki kekhasan sendiri-sendiri.

Pendekatan dalam film dokumenter ialah bagaimana cara sutradara menyampaikan pesan, atau dapat dikatakan sebagai bentuk penuturan cerita dalam film. Pendekatan dalam pembuatan dokumenter secara garis besar ada dua macam, yaitu pendekatan secara essai dan naratif. Sutradara film The Act of Killing menggunakan pendekatan naratif dalam menuturkan alur ceritanya. Karena film The Act of Killing dalam menuturkan ceritanya tidak menggunakan narator serta presentator. Umumnya setiap isi penuturan dalam film memerlukan sudut pandang  (point of view). Oleh karena itu diperlukan karakter atau tokoh yang akan menuturkan isi dan pesan dari film. Anwar Congo merupakan karakter utama yang menuturkan isi dalam film The Act of Killing dan menjadi benang merah cerita (karakter yang mengikat keseluruhan cerita). Sosok Anwar Congo dihadirkan untuk membangun rangsangan emosi film dan memberikan sebuah observasi terhadap pola berpikir maupun tindakan aksi subjek sebagai reaksi terhadap sesuatu. Sehingga Anwar Congo menjadi subjek kunci dalam film The Act of Killing ini.

Pendekatan naratif dalam film dokumenter tidak dapat berdiri sendiri, tetapi juga terkait dengan struktur bertuturnya. Salah satu unsur mutlak dokumenter ialah harus ada perkembangan dan perubahan fakta-fakta yang disampaikan, tidak diperkenankan berdiam pada sebuah situasi statis (PERANSI, 2005:19). Dengan demikian dituntut kreativitas untuk menciptakan perkembangan dari susunan adegan sesuai tuntutan. Dalam penulisan harus ada gambaran jelas, mengenai struktur penuturan, hubungan antara satu aksi dengan aksi lainnya dalam sebuah peristiwa. Setiap pergantian aksi harus diperhatikan ritme penuturannya, serta aspek dramatik sebagai pembangkit emosi dalam lingkup pemaparan fakta tidaklah monoton.

Konflik dalam film dokumenter tidak harus dipahami sebagaimana konflik ciptaan pada film fiksi. Konflik dalam film fiksi disusun dalam teknik penulisan skenario, sedangkan pada dokumenter konflik sudah tersedia, tinggal bagaimana mengarahkan konflik tersebut menjadi menarik dengan melihat aspek dramatiknya. Konflik yang dibangun tidak selalu berupa konflik emosional, namun konflik intelektual juga dapat menarik bagi dokumenter. Secara umum, ada tiga bentuk penuturan dalam dokumenter yaitu, secara kronologis, tematis, dan dialektis. Susunan penuturan narasi dalam film The Act of Killing berupa penuturan secara kronologis. Pada penuturan jenis ini, peristiwa dituturkan secara berurutan dari awal hingga akhir. Pada struktur ini, konstruksi alur kisah bergantung pada waktu. Meski ada adegan dalam film yang terputus tetapi susunanya akan  terjaga oleh urutan waktu. Struktur ini biasa dipakai dalam film dokumenter sejarah. Meski pada visualisasinya terlihat melompat-lompat, namun sebenarnya penuturan narasinya disampaikan secara beruntun (kronologis). Lompatan-lompatan dalam visualisasinya terjadi karena film ini merupakan rangkaian dari behind the scene pembuatan film Arsan&Aminah, yang digunakan sebagai stimuli bagi para narasumber untuk dapat menuturkan sekaligus mempraktikkan kejadian masa lalu mereka. Dalam penuturannya, Joshua Openheimmer ingin menunjukkan dua bentuk karakter yang dimiliki oleh Anwar Congo sebagai pelaku utama dalam film. Karakter Anwar Congo ketika di depan kamera memperlihatkan superioritas, yaitu memiliki kuasa atau kekuasaan lebih dari pihak yang lain.

C. Kesimpulan

Film The Act of Killing merupakan salah satu jenis film dokumenter yang menampilkan sisi kehidupan nyata seseorang. Melalui sebuah film, Joshua Oppenhaimer dapat menyuarakan suatu sisi lain sebuah fakta yang sulit dilakukan secara langsung maupun melalui media yang lain. Semakin besar kekuatan sebuah film semakin besar pula dampak yang diberikan. Salah satu kekuatan film The Act of Killing dibangun dengan kekuatan tokoh utama yang menjadi central film ini.

Tokoh Anwar Congo memiliki pembawaan karakter yang sangat kuat sehingga film ini terasa begitu kental menceritakan kehidupannya. Setiap penonton yang melihat film The Act of Killing akan merasakan masuk dalam kehidupan Anwar congo sehingga dapat merasakan alam pikiran dan perasaan yang menghampiri sang tokoh utama. Penonton digiring untuk memahami setiap alasan dan motivasi tokoh utama dari sisi dirinya sendiri. Penonton diajak memahami sisi lain tokoh yang sering dijadikan tersangka atas banyak kasus pembunuhan. Adegan demi adegan membangun sebuah scene dalam film yang mengagumkan hingga dapat membawa penonton masuk ke dalam dunia nyata dalam film diluar kenyataannya. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Karakter Anwar Congo adalah gambaran atas The Act of Killing (Jagal) itu sendiri. Penonton diberikan suguhan rangkaian adegan sosok yang harusnya dilihat sebagai seorang penjahat namun sutradara Joshua mengajak untuk melihat tokoh Anwar Congo sebagai manusia biasa yang bisa melakukan sebuah kesalahan kecil maupun besar dalam hidupnya dalam sebagai bingkai film The Act of Killing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun