Malang nian nasib Samirin. Di usianya yang menyentuh 69 tahun ia harus berurusan dengan hukum. Untuk berjalan saja mungkin dengkulnya sudah goyah. Bayangkan, bagaimana Samirin menghadapi polisi-polisi yang gagah dan meja pengadilan yang asing bagi orang sepertinya. Tidak hanya goyah, barangkali tulang di badannya serasa rontok.
Samirin adalah seorang penjaga kerbau di Nagari Dolok Ulu Kecamatan Tapian Dolok, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Dari usahanya itu, ia memperoleh penghasilan Rp 20 ribu rupiah per hari untuk bertahan hidup. Petaka datang menghampiri Samirin pada 17 Juli 2019 petang. Memang waktu petang kata orang waktu jin dan setan bekerja.
Samirin tergoda bujuk rayu setan. Ia kedapatan memunguti sisa getah karet dari perkebunan milik Bridgestone. Yang diambilnya pun tak membuatnya jadi kaya. Jika dirupiahkan, sisa getah tersebut hanya bernilai Rp 17.480.Â
Tapi bagi polisi, yang namanya maling tetap maling. Mau besar, mau kecil, tetap harus di proses hukum. Begitulah kegagahan pihak kepolisian dalam menjalankan undang-undang.
Samirin tak bisa berbuat banyak selain menyesali apa yang dilakukannya. Nasi sudah jadi bubur. Jaksa meminta hakim menjatuhkan hukuman sepuluh bulan penjara kepada lansia tersebut.Â
Entah bagaimana nasib Samirin setelah nantinya keluar penjara. Bisa jadi dia kehilangan pekerjaannya karena si pemilik kerbau curiga Samirin punya cikal bakal pencuri dalam dirinya.
Jika seandainya kerbau-kerbau yang digembalakan dan dirawat Samirin dengan baik itu bisa bicara, tentu kerbau-kerbau tersebut akan memihak kepada Samirin.Â
Namun apalah daya, kerbau Samirin tak lebih hebat dari banteng bermata merahnya PDIP yang bisa menyelamatkan para kadernya yang diduga terlilit kasus yang tengah ditangani KPK.
Coba saja kita bandingkan kasus si miskin Samirin dengan elite PDIP yang tersangkut kasus suap Komisioner KPU. Berbagai drama dimainkan. Penyelidik KPK tak dibiarkan memasang KPK line di DPP PDIP, petugas KPK yang mencoba mengejar dugaan tersangka di PTIK 'disandera' hingga pagi. Kurang hebat apalagi partai banteng ini melindungi orang-orang yang menjadi tulang punggung (kader) dan memberikan subsidi untuk organisasi terus berjalan.
Bahkan tak hanya melindungi, partai banteng diduga banyak pihak sedang berupaya melemahkan lembaga anti rasuah. Dalam kasus suap Komisioner KPU ini, PDIP berencana melaporkan penyidik KPK kepada Dewan Pengawas (Dewas) yang notabene ditunjuk presiden dan pernah ditolak saat RUU KPK dilempar ke publik. Publik ketika itu menilai, keberadaan Dewas yang ditunjuk oleh Presiden berpeluang menimbulkan kongkalingkong antara penguasa dan KPK.
Perlahan namun pasti, dugaan publik tersebut mulai tercium. Langkah PDIP melaporkan penyidik KPK ke Dewas tak lebih dari sekedar menanamkan keraguan dibenak publik terhadap penyidik dan integritas KPK secara umum.Â
Tujuan jangka pendek dari skenario ini bisa jadi untuk mengalihkan kesalahan dari DPP PDIP ke penyidik KPK. Sementara itu, tujuan jangka panjangnya bisa jadi untuk memuluskan langkah PDIP untuk membubarkan KPK. Seperti pernyataan Megawati pada 2015 yang mengatakan KPK adalah lembaga Ad Hoc (sementara) yang bisa dibubarkan.
Hukum dibuat tidak semata untuk menertibkan, melainkan juga untuk memanusiakan manusia. Tapi hari ini makna hukum tersebut dipenggal. Hukum untuk menertibkan dijalankan kepada mereka kaum lemah, sementara itu hukum untuk penguasa dipilih-pilih siapa manusia yang hendak dihukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H