Pertama, JPU tidak menguraikan fakta dengan runtut, termasuk mengabaikan latar belakang dari adanya peristiwa penembakan tersebut. Padahal, pangkal mula kemarahan FS justru terkait latar belakang tersebut, hingga mau melakukan penembakan.
Disebutkan kuasa hukum FS, hal itu bermula dari pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir J kepada PC di Magelang. Bahkan, dalam kejadian tersebut, Brigadir J disebut melucuti pakaian PC secara paksa dan mengancam akan menembak keluarganya jika melapor ke FS. Hal ini yang dianggap luput dalam dakwaan, bahkan kejadian pelecehan seksual itu dianggap tidak ada.
Dengan demikian, penuntut Umum dianggap mengabaikan atau menghilangkan fakta pada tanggal 4 Juli 2022 dan pada tanggal 7 Juli 2022.
Kedua, JPU dianggap memutarbalikkan fakta karena menuliskan rencana matang pembunuhan sebelum kejadian. Hal itu terutama pada bagian Sambo disebut merencanakan dan "mempertimbangkan dengan tenang dan matang" pembunuhan Brigadir J oleh Bharada E di lantai 3 rumahnya.
Padahal, sesuai BAP Saksi Ricky Rizal Wibowo dan Saksi Kuat Ma'ruf, "skenario" tersebut disampaikan Ferdy Sambo kepada mereka dan Bharada E ketika bertemu di bilik ruang pemeriksaan Provost "setelah" kejadian penembakan terjadi, bukan pada saat di lantai 3 Rumah Jalan Saguling.
Dimensi waktu tentang penyusunan skenario yang mana itu "sesudah" kejadian pembunuhan menjadi catatan penting dari kuasa hukum FS.
Ketiga, surat dakwaan JPU hanya didasarkan pada satu keterangan saksi saja, yaitu Bharada Richard Eliezer atau Bharada E. Misalnya, terkait perintah FS yang berteriak dengan suara keras kepada saksi Bharada E dengan mengatakan, "Woy kau tembak! Kau tembak cepat! Cepat woy kau tembak!"
Apabila surat dakwaan hanya didasarkan pada keterangan Bharada E saja, maka persidangan akan menjadi bias dan tendensius, serta merugikan kebenaran umum. Apalagi, keterangan Bharada E telah empat kali berubah dan banyak bertentangan dengan keterangan saksi lainnya.
Atas beberapa poin di atas, maka kuasa hukum FS dan PC menilai dakwaan tersebut disusun secara kabur (obscuur libel). Hal ini bisa menyebabkan bias dalam persidangan yang justru menjauhkan dari esensi keadilan itu sendiri. Untuk itulah, mereka mengajukan nota keberatan.
Refleksi bagi Kita
Meski beberapa poin dari nota keberatan di atas bertolak belakang dengan keyakinan umum, namun hal itu harus dihormati. Sebab, eksepsi merupakan hak dari terdakwa. Hal itu juga dilindungi UU, dan harus dipertimbangkan hakim dalam persidangan.