FS) dan Putri Chandrawathi (PC) akhirnya digelar oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin, 17 Oktober 2022. Sebuah penantian panjang bagi masyarakat Indonesia yang telah mengikuti kasus ini sejak beberapa bulan lalu.
Sidang perdana kasus Ferdy Sambo (Sidang ini, tentu saja, menarik perhatian masyarakat Indonesia. Sebab, kasus ini sempat menjadi trending topic pada perbincangan publik. Di sisi lain juga agak unik, karena seorang jenderal polisi diduga membunuh ajudannya sendiri di rumah dinasnya.
Salah satu yang mengundang pertanyaan besar adalah apa latar belakang yang membuat seorang petinggi polisi tega melakukan itu. Motif di balik pembunuhan tersebut selalu menjadi topik hangat untuk dibicarakan.
Ok, kita kembali pada sidangnya. Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan sejumlah dakwaan. Beberapa poin utamanya seperti, perintah tembak FS ke Bharada E, FS yang menembak sendiri kepala belakang Brigadir J, hingga janji hadiah kepada Bharada E, Bripka RR dan Kuat Maruf setelah peristiwa di Duren Tiga.
Namun tak lama setelah dakwaan JPU tersebut dibacakan, pengacara FS dan PC langsung mengajukan nota keberatan. Eksepsi ini diajukan pembela hukum terdakwa karena adanya sejumlah dakwaan yang dianggap tidak cermat dan cenderung mengaburkan fakta.
Lantas, mengapa dakwaan JPU itu bisa dianggap tidak cermat?
"Obscuur Libel" dalam Dakwaan JPU
Kuasa hukum FS dan PC menerangkan bahwa surat dakwaan dari JPU tidak cermat dan terkesan mengaburkan fakta karena alpa menguraikan peristiwa secara utuh. Misalnya, surat dakwaan tidak menguraikan rangkaian peristiwa yang terjadi di rumah Magelang.
Bahkan, terdapat uraian dakwaan yang hanya bersandar pada satu keterangan saksi tanpa mempertimbangkan keterangan saksi lainnya. Sehingga itu lebih mendekati asumsi daripada penyajian fakta yang sebenarnya.
"Surat dakwaan disusun oleh Jaksa Penuntut Umum dengan tidak hati-hati dan menyimpang dari hasil penyidikan, serta tidak memenuhi syarat materiil, sehingga Surat Dakwaan berdasarkan Pasal 143 KUHAP harus dinyatakan batal demi hukum," kata tim kuasa hukum Ferdy Sambo, Sarmauli Simangunsong, sebagaimana dikutip dari Kompas, Senin (17/10).
Setidaknya, ada tiga poin utama dari surat dakwaan JPU yang dianggap oleh kuasa hukum FS dan PC memutarbalikkan fakta, diantaranya,
Pertama, JPU tidak menguraikan fakta dengan runtut, termasuk mengabaikan latar belakang dari adanya peristiwa penembakan tersebut. Padahal, pangkal mula kemarahan FS justru terkait latar belakang tersebut, hingga mau melakukan penembakan.
Disebutkan kuasa hukum FS, hal itu bermula dari pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir J kepada PC di Magelang. Bahkan, dalam kejadian tersebut, Brigadir J disebut melucuti pakaian PC secara paksa dan mengancam akan menembak keluarganya jika melapor ke FS. Hal ini yang dianggap luput dalam dakwaan, bahkan kejadian pelecehan seksual itu dianggap tidak ada.
Dengan demikian, penuntut Umum dianggap mengabaikan atau menghilangkan fakta pada tanggal 4 Juli 2022 dan pada tanggal 7 Juli 2022.
Kedua, JPU dianggap memutarbalikkan fakta karena menuliskan rencana matang pembunuhan sebelum kejadian. Hal itu terutama pada bagian Sambo disebut merencanakan dan "mempertimbangkan dengan tenang dan matang" pembunuhan Brigadir J oleh Bharada E di lantai 3 rumahnya.
Padahal, sesuai BAP Saksi Ricky Rizal Wibowo dan Saksi Kuat Ma'ruf, "skenario" tersebut disampaikan Ferdy Sambo kepada mereka dan Bharada E ketika bertemu di bilik ruang pemeriksaan Provost "setelah" kejadian penembakan terjadi, bukan pada saat di lantai 3 Rumah Jalan Saguling.
Dimensi waktu tentang penyusunan skenario yang mana itu "sesudah" kejadian pembunuhan menjadi catatan penting dari kuasa hukum FS.
Ketiga, surat dakwaan JPU hanya didasarkan pada satu keterangan saksi saja, yaitu Bharada Richard Eliezer atau Bharada E. Misalnya, terkait perintah FS yang berteriak dengan suara keras kepada saksi Bharada E dengan mengatakan, "Woy kau tembak! Kau tembak cepat! Cepat woy kau tembak!"
Apabila surat dakwaan hanya didasarkan pada keterangan Bharada E saja, maka persidangan akan menjadi bias dan tendensius, serta merugikan kebenaran umum. Apalagi, keterangan Bharada E telah empat kali berubah dan banyak bertentangan dengan keterangan saksi lainnya.
Atas beberapa poin di atas, maka kuasa hukum FS dan PC menilai dakwaan tersebut disusun secara kabur (obscuur libel). Hal ini bisa menyebabkan bias dalam persidangan yang justru menjauhkan dari esensi keadilan itu sendiri. Untuk itulah, mereka mengajukan nota keberatan.
Refleksi bagi Kita
Meski beberapa poin dari nota keberatan di atas bertolak belakang dengan keyakinan umum, namun hal itu harus dihormati. Sebab, eksepsi merupakan hak dari terdakwa. Hal itu juga dilindungi UU, dan harus dipertimbangkan hakim dalam persidangan.
Di samping itu, mengajukan pembelaan hukum kepada terdakwa, juga tidak berarti kongruen dengan membenarkan kesalahan para terdakwa. Kuasa hukum di sini diperlukan untuk memastikan agar hak-hak terdakwa bisa terpenuhi. Sekaligus, menuntun agar para terdakwa mengutarakan fakta yang sebenarnya.
Inilah momen bagi kita untuk menyaksikan persidangan yang akan mengungkap fakta sebenarnya. Kita yakin peradilan ini akan secara berjalan obyektif dan fair. Betapa tidak, saat ini begitu banyak mata yang menyaksikan dan berbagai pihak turut menyoroti.
Semoga para hakim bisa bekerja dengan sebaik-baiknya, dan memutuskan perkara ini sesuai akal dan hati nuraninya, bukan tekanan riuh penonton di luar pengadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H