Mohon tunggu...
Berry Budiman
Berry Budiman Mohon Tunggu... lainnya -

Editor sastra, penulis, pengajar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Ngalahin Jokowi

3 Juni 2018   14:35 Diperbarui: 3 Juni 2018   14:43 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Final Pilpres 2014 antara Jokowi dan Prabowo sangat mungkin terulang kembali, mengingat kedua tokoh ini masih jawara dalam kategori jumlah dukungan masyarakat---dilihat dari elektabilitas dan popularitasnya. Walaupun peluang poros ketiga masih ada, rasanya terlalu naif untuk memaksakan diri di antara kedua kekuatan yang sudah kadung matang ini.

Pada 2014, Jokowi bersama koalisinya sukses mengalahkan Prabowo. Ketika itu Jokowi merupakan wajah baru di perpolitikan Indonesia. Berbeda dengan Prabowo yang sudah pernah ikut pilpres dan sudah lama punya ambisi menjadi pemimpin negara, Jokowi malah dipilih oleh Megawati menjelang penutupan paslon. Setelah itu, komentar-komentar yang menyepelekan Jokowi pun bermunculan mengingat status "anak bawang"-nya. Ia dianggap tidak akan mampu mengalahkan tokoh yang sudah besar seperti Prabowo. Namun, pihak Prabowo mulai ketar-ketir juga ketika melihat survei pilpres saat itu yang menunjukkan posisi Jokowi yang cukup mengancam.

Strategi politik dengan kampanye hitam pun tak urung bergerilya pada masa kampanye dengan Jokowi sebagai korban. Media pun terbelah menjadi "pendukung" calon pasangan, hingga masyarakat kehilangan pedoman berita yang objektif. Harus diakui, pilpres 2014 adalah pesta demokrasi barbarian yang dilakonkan oleh elite politik, media, dan masyarakat pendukungnya. 

Pendukung fanatik Prabowo dan pendukung yang emosional---yang mengatasnamakan kesukuan dan agama---lantang bersuara, termasuk pemilih yang selama ini "tidak tertarik pada politik". Hal itu ditunjukkan dengan partisipasi pemilih yang meningkat jauh dibanding sebelumnya. Artinya, sedikit saja jumlah pemilih yang netral dalam kontestasi tersebut. Mayoritas punya pilihan dan berani "bicara" untuk mendukung calon yang disukai.

Kalau dibandingkan Pilpres 2014, posisi Jokowi saat ini sesungguhnya jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Dukungan partai yang terlihat solid dan posisinya sebagai incumbent membuatnya lebih mantap ketimbang Prabowo yang sempat "ragu-ragu" mencalonkan diri, ditambah interaksi antarparpol pendukungnya tidak tulus. PAN, yang kini condong ke Prabowo, sebelumnya adalah bagian dari pemerintah, sementara PKS sudah memberi ultimatum "Sembilan Calon Wapres dari PKS" untuk Prabowo---yang kabarnya menjadi syarat dukungan untuk Prabowo. 

Secara kasat mata, posisi Prabowo tidak senyaman dan seyakin Jokowi. Selain hal teknis tersebut, Jokowi punya keuntungan lain sebagai petahana yang benar-benar "bekerja". Tentu posisi ini bisa pula menjadi lahan kritik, tetapi jika pemerintahannya baik, maka tak ada yang perlu dicemaskan. Dan pemerintahan Jokowi dianggap jauh lebih baik daripada pemerintahan sebelum-sebelumnya, karena itu, justru hal ini akan menguntungkan beliau.

Malangnya, bagusnya kinerja pemimpin tidak otomatis berbanding lurus dengan kemenangannya di pilkada. Hal ini sudah kejadian kepada Ahok yang hancur lebur karena serangan yang berbau SARA. Realitasnya, pemilihan pemimpin tidak semata-mata tentang kualitas kerja, tetapi juga tentang "kenyamanan" yang dirasakan pemilih terhadap si calon. Rasa nyaman ini lebih berkaitan dengan emosi ketimbang logika, karena itu latar belakang pemimpin pun menjadi penting. Ia haruslah "mewakili" status pemilih mayoritas, dan Ahok gagal di situ. 

Seruan-seruan seperti "haram memilih pemimpin kafir" dan tuduhan "menista agama Islam" sukses menenggelamkan semua kualitas Ahok---hasil kerjanya di Jakarta. Fakta itu menjadi tidak penting dibandingkan jati dirinya yang tidak membuat "nyaman" pemilih awam-emosional. Bukan hanya dirugikan karena perbedaan agama, Ahok juga dilemahkan karena sukunya---yang kemudian dengan mudahnya difitnah sebagai PKI, antek asing, dan ujaran-ujaran sensitif seperti nonpribumi.

Apakah strategi SARA ini akan digerilyakan lagi pada Pilpres 2019? Tentu saja. Itu strategi yang sudah terbaca. Sejak awal kemenangan Jokowi, isue-isue sensitif---termasuk SARA---tersebut terus dibangun oleh para politikus dan elite partai oposisi. Amien Rais bahkan dengan lantang menyebut partai pemerintah sebagai partai setan sementara yang nonpemerintah adalah partai Allah. Setan, dalam ajaran agama mana pun, mencerminkan musuh manusia. Jika Ahok mudah diserang sebagai kafir, maka Jokowi tidak bisa diserang dengan cara yang sama. Penyebutan partai setan sesungguhnya berakhir sama, imbauan pengharaman dukungan terhadap lawan. 

Seolah ia ingin berseru, "Jika kamu muslim, maka wajib pilih partai Allah." Atau bisa juga ditambah, "Wajib menyerang partai setan". Sebelumnya, Zulkifli Hasan sudah mengangkat isue LGBT dan menyarangkannya ke partai pemerintah. Tentu tujuannya adalah menumbuhkan rasa tidak percaya dari pemilih muslim. LGBT diharamkan dalam agama, jika partai pemerintah mendukung LGBT, artinya bisa diharamkan juga untuk dipilih. Jadi strateginya ya sama saja dengan Amien Rais di atas, bagaimana mereka membentuk opini bahwa pemerintah sekarang bertentangan dengan Islam, karena itu ya jangan dipilih. Yang memalukan, pernyataan-pernyataan ini muncul dengan tanpa dasar yang kuat. Ia sebatas tuduhan dan asumsi belaka, yang tentu saja sebelas-dua belas dengan fitnah.

Bukan hanya oposisi, Gatot sudah mencuri start lebih dulu ketika masih menjadi Panglima TNI. Ia mengangkat isue PKI, seolah ancaman PKI betulan membahayakan bangsa. Ia tahu bahwa isue PKI sudah lama disarangkan kepada pemerintah dan Jokowi, dan posisinya sebagai orang militer tentu dianggap lebih mengerti soal ketahanan negara. Seperti ulama yang bicara agama dan dipercaya orang, Paglima TNI yang bicara serangan PKI pun pasti lebih meyakinkan. Isue PKI berkaitan erat dengan isue agama, karena PKI dianggap antiagama, ditambah "cerita-cerita" masa lalu yang menumbuhkan kebencian umat Islam terhadap PKI. 

Dengan obsesi menjadi presiden yang tiba-tiba muncul setelah dipuja-puja alumni 212,  Gatot mulai beraksi. Ia perlu menunjukkan posisinya di mata masyarakat, khususnya kepada yang mendukungnya. Untuk menjadi presiden, ia harus melawan Jokowi. Untuk melawan Jokowi, ia harus sepaham dengan pihak yang tidak suka dengan Jokowi, dan ikut "menuduhkan" PKI kepada pemerintah. Tidak mengherankan jika strategi beginian dilakukan oleh seorang Panglima TNI bukan? Ceketer pun paham, kalau kamu mau menantang seseorang dalam politik, kamu mesti meraih dukungan dari orang-orang yang tidak suka dengannya. Politik itu tentang suara dan dukungan, dan cara termudah mendapatkan dukungan adalah dengan "mewakili" suara pendukung.

Ada yang ironik dari proses berpolitik seperti ini, bahwa masyarakat muslim menjadi alat politik yang paling disukai, mudah, dan efektif oleh para pengejar kekuasaan. Dengan mengaku diri sebagai "Islam" atau lebih Islam daripada lawannya, ia pun dengan percaya diri menganggap dirinya lebih pantas dipilih, dan "memaksa" pemilih muslim untuk menolak lawannya yang ia citrakan "tidak atau kurang Islam". Akhirnya, pemilih seperti lupa bahwa pilkada adalah tentang mencari pemimpin pemerintahan---mereka yang bekerja untuk rakyat---bukan mencari tokoh yang paling Islam di antara yang ada.

Melihat cikal bakal yang terang benderang begitu, maka tidaklah salah kalau kita menyebutkan bahwa strategi SARA masih menjadi primadona untuk dimainkan lagi oleh pihak yang akan melawan pemerintah---entah itu oposisi yang ada maupun yang baru ikut-ikutan. Apalagi baru-baru ini, Prabowo dan Amien Rais sudah menemui Rizieq Shihab, tokoh agama yang sangat berperan dalam menjatuhkan Ahok. Rizieq tidak dikenal sebagai tokoh agama yang santun, ia menggerakkan massa dengan menyiarkan kebencian dengan dasar agama. Memangnya ada berapa banyak kasus ujaran kebencian yang melibatkan Rizieg? Jadi, ini bukan asumsi, fakta yang bicara.

Tentang Wapres Prabowo

Saat menonton CNN subuh ini (via youtube), dibicarakan tentang peluang wapres bagi Prabowo yang sudah pasti maju menjadi presiden. Pertemuan di Mekah antara Prabowo, Amien Rais, dan Rizieq dianggap juga membicarakan tentang pemilihan wapres untuk Prabowo. Ya, apa pun bisa dibicarakan pada pertemuan tersebut.

Seperti yang disinggung di atas, saya lebih yakin bahwa fokus pertemuan itu adalah tentang strategi mengalahkan Jokowi. Kalau mau ketemu kan bisa saja di Indonesia, kenapa harus di Mekah? Karena ada Rizieq, dan ngapain repot-repot nemuin Rizieq kalau bukan membahas strategi politik yang akan melibatkan tokoh satu itu? Wacana Rizieq jadi capres memang sempat muncul dari alumni 212, tetapi Prabowo tidak mungkin menyerahkan posisinya untuk Rizieq. Posisi yang bisa diperebutkan Rizieq, PAN, dan PKS adalah wapres, dan Prabowo pasti tidak buru-buru memutuskan hal sensitif semacam itu. Ia perlu membaca situasi dan kekuatan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan, apalagi jika dihadapkan pada posisi demikian.

Prabowo punya pilihan yang sulit antara orang PAN atau PKS. Sahabat-sahabatnya di PKS tentu akan sakit hati kalau Prabowo lagi-lagi memilih orang PAN sebagai wapres, padahal selama ini PKS lebih setia kepada Gerindra. Sementara itu dengan memilih PKS, tidak bisa menjamin meningkatnya elektabilitas Prabowo. Jika tidak antara kedua partai itu, maka Prabowo mesti mengambil orang baru yang punya peluang meningkatkan elektabilitas Prabowo dan orang itu sudah pasti bukan Rizieq. 

Wacana Rizieq capres/wapres hanyalah imajinasi yang menyenangkan untuk pendukungnya, tetapi tidak realistiis untuk dilakukan. Rizieq sudah pasti akan menghancurkan elektabilitas Prabowo kalau mereka dibikin berpasangan. Seperti pilkada Jakarta, Rizieq dan FPI kembali akan "digunakan" sebagai peraup suara dari umat muslim yang simpatik kepada mereka, penggiring opini, dan senjata penggerak massa.

Kalau mereka memang mau mengulang kemenangan Jakarta, Prabowo wajib mencari cawapres baru. Ia punya banyak pilihan jika mau mendengarkan usulan-usulan para pendukungnya di media sosial, seseorang itu mestilah bukan kader partai, berprestasi (lebih bagus jika pernah memimpin daerah), dan muda---paling tidak bukan angkatan orba. Kampanye hitam semata tidak akan bisa memenangkan Gerindra-PKS di Jakarta jika calon yang dimajukan bukan wajah baru, karena pemilih fanatik saja tidak cukup untuk memenangkan paslon. Tanpa calon alternatif yang memberikan "harapan baru" bagi pemilih, mudah saja bagi mereka untuk golput. Karena itu meski sudah susah payah pakai baju Mikie Mouse dan dolan ke pasar, wajah lama seperti Yusril tetap nggak laku.

Strategi politik yang diupayakan pihak oposisi sejatinya itu-itu saja sejak kalah Pilpres 2014, gimana ngalahin Jokowi? Semua cara mesti dicoba seperti halnya Prabowo yang menyerukan di pilgub Jakarta: kalau memilih Anies-Sandi, sama dengan Prabowo Presiden. Jadi tidak perlu heran kalau #2019gantipresiden tiba-tiba nyelip pula di pilgub Jabar. Kemenangan-kemenangan di daerah sudah direncanakan untuk membantu Prabowo dalam mengalahkan Jokowi.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun