Mohon tunggu...
CakFrank
CakFrank Mohon Tunggu... -

Beropini adalah cara beradab dalam mengekpresikan perbedaan pandangan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Passport Indonesia yang (Belum) Terhormat

12 Juni 2016   21:12 Diperbarui: 13 Juni 2016   16:13 1677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: antarajateng.com

Resiprosity antar negara dalam masalah visa bukanlah sebuah keharusan

Banyak penggemar travelling yang bersemangat ketika pemerintah memberlakukan kebijakan mempermudah kunjungan ke Indonesia dengan fasilitas visa on arrival atau bahkan banyak yang diberi status bebas visa. Semangat tersebut muncul dari harapan bahwa kali ini para traveler dari Indonesia juga akan mendapatkan fasilitas kemudahan kunjungan ke negara-negara yang sudah mendapatkan fasilitas yang sama dari Indonesia. Semua tahu bahwa resiprosity adalah azas universal yang umum dalam hubungan bilateral. Jadi kalo orang Eropa bebas masuk Indonesia tanpa visa atau dengan visa on arrival, maka orang Indonesia juga harusnya diperlakukan sama.

Tapi benarkah demikian? Kenyataannya jauh panggang dari api.

Visa diadakan dengan segudang alasan untuk melakukan seleksi awal terhadap siapa yang hendak masuk ke suatu negara. Resiprosity menjadi sulit diterapkan bila dua negara yang berhubungan tidak memiliki kesepadanan status.

Resiprosity tidak bakal terjadi hanya karena satu pihak memberikan kemudahan kepada pihak lain. Tentu sulit bagi Indonesia memberikan bebas visa bagi Nigeria misalnya, karena banyaknya warga Nigeria di Indonesia yang terlibat kriminalitas. Sekali pun seandainya Nigeria memberlakukan pembebasan visa bagi warga Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa luasnya penerimaan passport sebuah negara dalam pergaulan internasional, dalam hal ini kemudahan kunjungan adalah bukti konkrit bagaimana kedudukan negara tersebut dalam pergaulan internasional. Yang bagi Kemenlu Indonesia seharusnya menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar mengingat sangat terbatasnya penerimaan passport hijau berlambang Garuda dalam pergaulan internasional, khususnya di kelompok negara-negara maju.

Pemerintah boleh berdalih macam-macam atau memberikan testimoni argumentative yang membentuk opini seolah sepak terjang diplomasi Indonesia di kancah internasional sangat dihormati dan diperhitungkan. Kenyataan pahit yang ditunjukkan dari keterbatasan penerimaan passport Indonesia jelas menunjukkan kedudukan Indonesia di kancah politik internasional masih lemah.

Dari sekian banyak negara yang memberikan kemudahan akses masuk bagi passport Indonesia, bisa dilihat bahwa semua rata-rata jauh lebih terbelakang baik secara ekonomi maupun pembangunan, dibandingkan Indonesia. Belum ada satu pun negara yang lebih maju dari Indonesia yang memberikan kemudahan bagi pemegang passport Indonesia untuk berkunjung ke negara tersebut atas dasar pertimbangan hubungan bilateral. Ini berarti Indonesia masih dipandang memiliki risiko tinggi yang memerlukan kehati-hatian extra atau yang dalam bahasa sederhananya: masih harus dicurigai.

Tentu alasan perlunya verifikasi passport bisa macam-macam, mulai dari keamanan sampai ekonomi. Sayangnya Indonesia masih dikategorikan memiliki potensi ancaman baik dari faktor keamanan maupun ekonomi.

Dibandingkan dengan Singapore dan Malaysia, kedudukan Indonesia jauh tertinggal.

Sudah seyogyanya pemerintah Indonesia bekerja keras untuk membuat passport Indonesia lebih dihargai di pergaulan Internasional dan berhenti beretorika yang justru lebih terlihat seperti propaganda untuk mengelabuhi masyarakat supaya percaya bahwa bangsa ini dihargai dan dihormati dalam pergaulan internasional, yang sama sekali tidaklah demikian. Karena jelas-jelas secara nyata untuk sekedar bertamu ke negara-negara maju pemegang passport Indonesia masih dipandang penuh selidik dan kecurigaan.

Pemerintah tidak boleh cuma berharap dari resiprosity untuk mendapatkan akseptabilitas tersebut dari negara-negara maju karena hal tersebut sulit untuk terjadi mengingat timpangnya kondisi ekonomi (khususnya) Indonesia dibandingkan negara-negara tersebut. Pemerintah harus mampu menggunakan kekuatan diplomasi bilateral yang mendudukkan bangsa ini sebagai bangsa terhormat dan berwibawa, dan bukan bangsa jongos yang mesti dikhawatirkan akan menjadi sumber imigran gelap berdalih ekonomi yang menjadi masalah sosial di negara tujuan atau bangsa penghasil teroris. Pemerintah harus mampu membangun diplomasi yang menghasilkan respek secara nyata sehingga tidak dipandang dengan penuh selidik dan kecurigaan. Hal ini sebenarnya tidak sulit mengingat haluan kebijakan luar negeri negara Indonesia adalah bebas aktif, yang dalam artian tidak dibatasi oleh pergaulan kelompok negara tertentu dan kedudukan strategis Indonesia sebagai salah satu partner penting di Asia Tenggara khususnya, dan Asia secara umum.

Bagaimana pun passport adalah dokumen negara yang merepresentasikan kehadiran negara dalam konteks hubungan luar negeri. Bagaimana passport sebuah negara diperlakukan oleh negara lain itu adalah bentuk penghargaan dan penghormatan sejujur-jujurnya dalam hubungan bilateral. Sudah saatnya Indonesia memperoleh penghargaan dan penghormatan dari dunia Internasional secara nyata sebagai negara yang diperhitungkan dan bukan sekadar retorika belaka.

Bagaimana timnya Ibu Retno Lestari Priansari Marsudi? Setuju?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun