Maka jika ada orang yang secara genetika berasal dari luar Indonesia, tetapi memiliki konsep nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, membangun dan membesarkan bangsa Indonesia, mencurahkan kemampuannya untuk membangun bangsa Indonesia sesuai dengan Pancasila, maka ia adalah orang Indonesia Asli.
Namun tatkala ada orang yang genetika nya berasal dari Nusantara asli, nenek moyangnya dari Indonesia pedalaman, tetapi ia menjual kekayaan dan potensi SDM-SDA kepada bangsa asing, membuat sistem hidup yang memposisikan rakyat sebagai budak, maka orang seperti itu nilainya bukan orang Indonesia Asli. Fisiknya mungkin terlihat seperti keturunan Homo Soloensis, tetapi jiwanya adalah jiwa yang bekerja atas nama bangsa asing, termasuk atas nama kepentingan pribadinya. Rambutnya mungkin keriting kecil-kecil dengan kulit sawo matang, tetapi kiprahnya menguntungkan para penjajah asing.
Pada ayat ke 2, tertulis "Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak".
Ayat 2 dari pasal 6 UUD 1945 ini merupakan penjabaran dari sila yang ke 4 dari Pancasila: "Kerakyatan yang DIPIMPIN oleh hikmat kebijaksanaan dalam PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN. Bukan Kerakyatan yang MEMIMPIN.
Ayat ini bisa berfungsi layaknya pisau bermata dua. Jika diterapkan dengan jiwa sila ke 4 Pancasila akan menjadi aturan baku ideal bagi bangsa Indonesia. Namun jika disalah gunakan akan mendatangkan malapetaka semesta bagi bangsa pelakunya.
Para pendiri bangsa yang berpeluh mencetuskan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia, telah melihat bahwa kebutuhan bangsa yang beraneka ragam sukunya ini harus dipimpin oleh sebuah mekanisme pemilihan pemimpin negara yang mengedepankan musyawarah dan mufakat. Sebab beragamnya suku dan adat istiadat akan cenderung mengedepankan apa yang terkandung dari masing-masing suku dan budaya. Jalan satu-satunya untuk meredam dan mengakomodir banyak suku itu adalah dengan musyawarah dan mufakat, termasuk untuk memilih kepala negara yang akan memimpin mereka.
Dengan musyawarah dan mufakat, maka orang-orang yang melakukannya telah dibekali oleh semangat untuk membangun bangsa. Jika tidak, maka musyawarah yang berujung mufakat itu tidak akan terjadi . Apapun keputusan yang dicapainya, akan didukung oleh seluruh peserta musyawarah yang bermufakat.
Kemudian bangsa Indonesia yang memasuki era reformasi, meng-amandemen pasal 6 ayat 2 dengan pasal 6A ayat 1 yang berbunyi:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Jika dianalisa, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung adalah cara pemilihan yang dilaksanakan oleh negara yang berlandaskan "Konstitusi Tertinggi" dengan demokrasi yang sering disebut demokrasi ala barat sebagai mekanisme untuk pencapaian tujuannya.
Di dalam demokrasi ala barat, berpedoman kepada istilah "Vox Populi Vox Dei", Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Artinya apa yang diputuskan oleh rakyat adalah suara kebenaran. Sedangkan didalam mekanisme pencapaian keputusan yang diklaim sebagai kebenaran itu, menggunakan metode Voting. Padahal kebenaran tidak bisa di voting, karena kebenaran tidak mungkin mendua, tidak mungkin ada dua pilihan.