Mohon tunggu...
Bernorth M
Bernorth M Mohon Tunggu... Administrasi - Volunter, Penulis, Pengembang Aplikasi

WWW.BONUSDEMOGRAFI-INSTITUTE.ORG Kopiholic # Untuk Kolaborasi, ide & saran email : bonusdemografi2020@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Modal Rp 2,5 juta Mendirikan 11 Sanggar Belajar Anak di Negeri "Sisingamangaraja"

30 Desember 2019   23:57 Diperbarui: 4 Januari 2020   19:11 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi: Rusmawati

Melintasi banyak pedesaan dengan sepeda motor bebek bekas merk Honda Astrea Prima, bisa jadi bukanlah hal yang luar biasa. Namun, bagaimana jika itu di gunakan oleh seorang wanita muda, berusia 20 tahunan, dengan jalan berlubang dan tentu saja belum beraspal dan selalu becek berlumpur ketika musim hujan tiba ? Jangan harap kendaraan bisa melaju tanpa guncangan dan terpeleset apalagi sekelas motor bebek. Masalah itupun masih belum cukup. Jarak antar rumah wargapun saling berjauhan dan sepi, karena itu juga rentan terjadi tindak kejahatan. Parahnya lagi, penerangan jalan juga masih minim. Jadi, bukan suatu keheranan, pekatnya malam seperti sebuah jelaga yang sulit di tembus cahaya meninggalkan rasa awas mencekam. Tidak bisa terbayangkan, jika terjadi kerusakan sepeda motor ataupun hal sepele seperti ban bocor atau kehabisan bensin dalam perjalanan.
Tapi, dengan situasi dan keadaan infrastruktur yang tidak mendukung seperti itu, bahkan harus melaluinya hampir satu jam berkendara, tidak meluluhkan tekad Rusmawati muda untuk berjuang mewujudkan kepedulian dan mimpinya. Peristiwa pengalaman hidup dari seorang wanita muda itu terjadi sekitar tahun 1998-1999 di desa Sialang Buah, Deli Serdang , Propinsi Sumatera Utara, ketika untuk pertama kalinya mengawali berdirinya Sanggar Belajar Anak ( SBA) yang kini lebih familiar di sebut dengan Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD ).


“Dengan hasil zakat fitrah selama dua tahun, sekitar Rp 2,5 juta, saya kumpulkan untuk turut membangun SBA”, ujar ibu Rusmawati dengan nada suara datar. Tanpa ada kesan berbangga dalam nada suaranya. Padahal, belum tentu banyak orang lazim melaksanakannya. Apalagi jika di kaitkan dengan gender, yang telah terstreotip publik, dan bahkan mungkin bisa jadi dari kaumnya sendiri, bahwa wanita cukup mengurus anak dengan baik dan menjadi pendamping yang “gak neko-neko”  bagi suaminya atau lelucon klasik bahwa tugas istri hanya sekedar di dapur, sumur dan kasur.


Lahirnya  penggagas Sanggar Belajar Anak.


Lelucon klasik dan cukup hanya menjadi pendamping bagi suami, tidak terjadi kepada srikandi ini. Lahir dari keluarga sederhana sebagai anak sulung dari 7 bersaudara, pada 28 Juli tahun 1976, Karang Anyar, Deli Serdang, Sumatera Utara dan menutup harapannya untuk kuliah sesuai dengan impiannya karena ketiadaan biaya. Namun, kejadian tersebut ternyata tidak membiarkan dirinya bersedih dan mimpinya tertidur terlelap terlalu lama. Pertemuannya dengan ( Alm ) bapak Sudarno sejak tahun 1994, yang masih bertalian darah dari keluarganya, membuka kesempatan untuk kembali melangkah,berlari dan melompat  penuh percaya diri dan optimistis meraih impiannya. Sekalipun, terpaksa harus mengalami guncangan kembali, ketika kehilangan sosok ibu di penghujung tahun 1996.


“Saya di beri kesempatan untuk mengajar di sekolah”, tutur Rusmawati dengan lugas. Sambil  menjadi pembantu Tata Usaha di Madrasah Tsanawiyah (MTs) SKB 3 Menteri Bingkat, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Bakat mengajar dari ibu Rusmawati sepertinya di tangkap oleh bapak Sudarno, yang memang sedari kecil terlihat berbeda dari anak lainnya ketika bermain sering mengambil peran menjadi pengasuh.


“Sekolah ini termasuk unik, karena di huni kebanyakan anak-anak dari keturunan “PKI” yang saat itu sangat sulit mendapatkan akses pendidikan”, tutur ibu Rusmawati.


Dari situ ia, belajar banyak tentang pendidikan dan kehidupan sesungguhnya. Melihat secara nyata ketidakadilan dan tidak meratanya pendidikan. Beranjak dari sebuah pesan yang pernah di bacanya pada salah satu sejarah pendidikan, dari bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara yang  menyatakan “ Semua orang adalah guru, dan semua tempat adalah sekolah”, Rusmawati muda  mulai menata kembali tangga impiannya, dirinya harus bisa bermamfaat bagi lingkungan sekalipun tidak masuk perguruan tinggi, menjadi prinsip hidupnya.

Dokumentasi Pribadi: Rusmawati
Dokumentasi Pribadi: Rusmawati

Rusmawati muda mulai aktif di organisasi  dan aktif menjadi kader muda dari Muhamadiyah  karena pernah sekolah MTs Muhammadiyah Darul Arqom kabupaten Simalungun dan MAS Muhammadiyah Darul Arqom kabupaten Simalungun. Pelan-pelan tapi pasti, impian menjadi bermamfaat bagi orang lain mulai di wujudkan. Dengan masuk dalam sebuah organisasi akhirnya terbuka kesempatan mengggali , mengembangkan talenta terpendam. Sekalipun, pada awalnya hanya keinginan belajar dan menimba ilmu dari semua orang, karena merasa semua orang adalah guru.
Hingga pada suatu hari, saat melaksanakan kegiatan organisasi, sekitar tahun 1999, Rusmawati muda merasa terenyuh dan terhenyak melihat sebuah situasi dan keadaan anak-anak di daerah pesisir seperti Kecamatan ( Kec.) Teluk mengkudu, Kec. Pantai Cermin, Kec. Tanjung Beringin, Kecamatan Perbaungan begitu tidak layak bahkan jauh dari didikan kedua orang tua, dimana kebanyakan anak-anak di pesisir, menghadapi sebuah realitas menyedihkan, bahwa banyak keluarga pesisir belum melek akan pendidikan dasar terhadap anak apalagi pendidikan usia dini. Parahnya lagi, ada semacam garis tegas, bahwa  orang tua di  daerah pesisir, pendidik anak cukuplah seorang istri dan bukan menjadi bagian tugas seorang ayah,  yang hanya bertugas memenuhi kebutuhan pokok dengan melaut.


Bahkan sering terjadi pula, ibu juga terlibat juga dalam menambah penghasilan sambil membawa serta anaknya dengan mencari kerang di tepi laut sehingga anak tersebut kehilangan masa kanak-kanaknya tanpa bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya.
Menyaksikan secara langsung dengan mata kepala sendiri keadaan yang memprihatinkan tersebut, akhirnya tergeraklah hati Rusmawati muda untuk membantu mendidik anak-anak pesisir agar memiliki suatu wadah bermain sekaligus tentu saja mendidik karakter anak-anak khususnya di bawah lima tahun yaitu Sanggar Belajar Anak, yang saat ini di kenal dengan pendidikan anak usia dini ( PAUD ).


Di mana ada kemauan, di situ ada jalan


Sekitar tahun 1998, ketika kekuasaan ORBA mulai berakhir, Rusmawati muda sudah mulai melakukan kegiatan organisasi di daerah pesisir menjalankan beberapa program. Kita tahu, memang sangat sulit berserikat, berkumpul dalam organisasi, karena akan di curigai dan sangat “pantang” pada masa itu. Bahkan, “pernah seorang rekan di intograsi oleh polisi menanyakan kegiatan karena dianggap penyusup “, tutur Rusmawati.
Sekalipun akhirnya di lepaskan, tapi tentu saja peristiwa tersebut sangat sulit di lupakan dan membekas dalam ingatan, apalagi bagi wanita seperti Rusmawati yang masih tergolong remaja ketika itu. Namun, itu tidak menyurutkan tekad Rusmawati muda untuk berjuang dalam bidang pendidikan sehingga berguna dan bermamfaat bagi lingkungan. Berguna dan bermamfaat bagi lingkungan, itulah yang selalu di ingat  dalam semesta pikiran Rusmawati muda.
Akhirnya, Rusmawati muda dan beberapa rekan LSM lainnya, menemukan solusi  agar tidak dianggap penyusup, Rusmawati muda menginap di rumah salah satu warga dan sekaligus berbaur agar sosialisasi program dapat berjalan lancar di tengah masyarakat.


Habis gelap, terbitlah terang


Mulai tahun 2003, karena Rusmawati muda juga aktif di organisasi Himpunan Serikat Perempuan Indonesia( Hapsari) sejak tahun 1995, mulailah inisiatif SBA di kembangkan melalui organisasi. Apalagi, serikat melihat banyak mamfaat yang berguna bagi masyarakat dalam program inisiatif ibu Rusmawati jika program tersebut di realisasikan.
Sejak itu, mulailah Sanggar Belajar Anak lebih terorganisir dan dirancang kurikulum pengajarannya agar ada standar pengajaran sehingga mudah di lakukan evaluasi. Pelatihan-pelatihanpun di gencarkan. Apalagi, kebanyakan guru pengajar SBA adalah warga setempat yang kebanyakan hanya tamatan sekolah dasar atau sekolah menengah menengah tanpa ada standar kemampuan mengajar yang baik. Gagasan inipun banyak di dukung oleh rekan-rekan organisasi dan teman-teman lainnya.

Dokumentasi : Rusmawati
Dokumentasi : Rusmawati

Di awal-awal terbentuknya SBA, beberapa rekan pendukung dari organisasi dan teman dari Rusmawati muda juga ikut berkontribusi seperti ibu Murni, ibu Ema Salmah, ibu Mardiana, ibu Lely, ibu Yanti, Pak Agus, serta beberapa  kepala dusun dan warga setempat. Bahkan, ada banyak dukungan mengesankan dan tak terlupakan dari warga ketika mendirikan SBA. “ Banyak warga yang terlibat turut menyumbang dengan pohon kelapa sebagai dinding dan tiang , atap, paku dan bukan dalam bentuk uang”, tutur ibu Rusmawati dengan tertawa kecil mengingat peristiwa itu.
Awalnya memang SBA hanya tempat bermain dan bernyanyi dan hanya di laksanakan di teras mesjid, sebagai bentuk kepedulian kepada anak-anak agar terhindar dari kenakalan anak-anak yang jauh dari orang tua sekaligus menjadikan sanggar anak sebagai wadah bermain sehat bagi anak-anak, terhindar dari jajan sembarangan karena acap kali di tinggalkan orang tua mencari nafkah.


Seiring semakin banyaknya anak-anak yang terlibat dalam SBA, akhirnya dari beberapa rekan-rekan dalam organisasi mengusulkan agar juga di ajarkan berhitung, membaca dan belajar mengaji. “ masak anak-anak hanya bernyanyi dan bermain saja ?” , begitu tutur beberapa rekan organisasi.
Sejak dari sinilah, tepatnya  , ibu Rusmawati mulai berpikir untuk mengembangkannya menjadi lebih relevan dengan standar PAUD dan mulai berniat mengembangkannya ke beberapa desa daerah pesisir lainnya , karena melihat masih banyak lagi anak-anak pesisir yang membutuhkan kehadiran SBA sampai akhirnya berdirilah 11 sanggar dan terus bertahan hingga saat ini telah berusia 16 tahun sejak di rintis. Beberapa SBA atau kini juga di sebut dengan kelompok bermain ( KB) seperti yang berada pada Kecamatan Pantai Cermin ada  1 KB. Mekar Hidayah. Selanjutnya pada Kec. Teluk Mengkudu ada 6 KB yaitu Melati, Pasir Putih, Assyiddiq, Arrahim, Assyakirin dan KB. Arrahman. Sedangkan pada Kec. Perbaungan  ada 3 KB yaitu  Asyiddiq, Aisyiyah, Melati dan terakhir pada Kec. Tanjung Beringin  ada 1 yaitu KB Arrahman.


Selain itu program sanggar belajar anak juga terus berkembang dan di tingkatkan kualitasnya dengan mengedukasi para orang tua tentang kesehatan reproduksi, pentingnya pendidikan untuk anak, kewirausahaan, pola asuh anak, edukasi advokasi kekerasan terhadap perempuan, dan informasi pendukung lainnya dan tentu saja mengajak para ibu untuk aktif pertemuan organisasi.


Kini sepertinya, impian ibu Rusmawati menjadi bermamfaat bagi lingkungan telah terwujud, selain akhirnya menyelesaikan kuliah pada tahun 2013 pada Perguruan Tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam yang tamat tahun 2013, juga bangga melihat beberapa guru SBA yang pernah di sepelekan oleh sekelompok warga dan oknum pemerintah daerah, kini justru banyak juga di rekrut menjadi organisasi perangkat daerah (OPD) setempat karena banyak guru SBA yang berasal dari warga setempat melanjutkan jenjang pendidikannya menjadi lebih baik.


Kini, Rusmawati telah menjadi ibu bahkan menjadi orang tua asuh bagi beberapa anak, juga terpilih masuk dalam daftar penerima Satu Indonesia Awards dari perusahaan raksasa Astra.  Ad astra per aspera. Menuju bintang harus dengan kerja keras.

#KitaSATUIndonesia #IndonesiaBicaraBaik

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun