Melintasi banyak pedesaan dengan sepeda motor bebek bekas merk Honda Astrea Prima, bisa jadi bukanlah hal yang luar biasa. Namun, bagaimana jika itu di gunakan oleh seorang wanita muda, berusia 20 tahunan, dengan jalan berlubang dan tentu saja belum beraspal dan selalu becek berlumpur ketika musim hujan tiba ? Jangan harap kendaraan bisa melaju tanpa guncangan dan terpeleset apalagi sekelas motor bebek. Masalah itupun masih belum cukup. Jarak antar rumah wargapun saling berjauhan dan sepi, karena itu juga rentan terjadi tindak kejahatan. Parahnya lagi, penerangan jalan juga masih minim. Jadi, bukan suatu keheranan, pekatnya malam seperti sebuah jelaga yang sulit di tembus cahaya meninggalkan rasa awas mencekam. Tidak bisa terbayangkan, jika terjadi kerusakan sepeda motor ataupun hal sepele seperti ban bocor atau kehabisan bensin dalam perjalanan.
Tapi, dengan situasi dan keadaan infrastruktur yang tidak mendukung seperti itu, bahkan harus melaluinya hampir satu jam berkendara, tidak meluluhkan tekad Rusmawati muda untuk berjuang mewujudkan kepedulian dan mimpinya. Peristiwa pengalaman hidup dari seorang wanita muda itu terjadi sekitar tahun 1998-1999 di desa Sialang Buah, Deli Serdang , Propinsi Sumatera Utara, ketika untuk pertama kalinya mengawali berdirinya Sanggar Belajar Anak ( SBA) yang kini lebih familiar di sebut dengan Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD ).
“Dengan hasil zakat fitrah selama dua tahun, sekitar Rp 2,5 juta, saya kumpulkan untuk turut membangun SBA”, ujar ibu Rusmawati dengan nada suara datar. Tanpa ada kesan berbangga dalam nada suaranya. Padahal, belum tentu banyak orang lazim melaksanakannya. Apalagi jika di kaitkan dengan gender, yang telah terstreotip publik, dan bahkan mungkin bisa jadi dari kaumnya sendiri, bahwa wanita cukup mengurus anak dengan baik dan menjadi pendamping yang “gak neko-neko” bagi suaminya atau lelucon klasik bahwa tugas istri hanya sekedar di dapur, sumur dan kasur.
Lahirnya penggagas Sanggar Belajar Anak.
Lelucon klasik dan cukup hanya menjadi pendamping bagi suami, tidak terjadi kepada srikandi ini. Lahir dari keluarga sederhana sebagai anak sulung dari 7 bersaudara, pada 28 Juli tahun 1976, Karang Anyar, Deli Serdang, Sumatera Utara dan menutup harapannya untuk kuliah sesuai dengan impiannya karena ketiadaan biaya. Namun, kejadian tersebut ternyata tidak membiarkan dirinya bersedih dan mimpinya tertidur terlelap terlalu lama. Pertemuannya dengan ( Alm ) bapak Sudarno sejak tahun 1994, yang masih bertalian darah dari keluarganya, membuka kesempatan untuk kembali melangkah,berlari dan melompat penuh percaya diri dan optimistis meraih impiannya. Sekalipun, terpaksa harus mengalami guncangan kembali, ketika kehilangan sosok ibu di penghujung tahun 1996.
“Saya di beri kesempatan untuk mengajar di sekolah”, tutur Rusmawati dengan lugas. Sambil menjadi pembantu Tata Usaha di Madrasah Tsanawiyah (MTs) SKB 3 Menteri Bingkat, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Bakat mengajar dari ibu Rusmawati sepertinya di tangkap oleh bapak Sudarno, yang memang sedari kecil terlihat berbeda dari anak lainnya ketika bermain sering mengambil peran menjadi pengasuh.
“Sekolah ini termasuk unik, karena di huni kebanyakan anak-anak dari keturunan “PKI” yang saat itu sangat sulit mendapatkan akses pendidikan”, tutur ibu Rusmawati.
Dari situ ia, belajar banyak tentang pendidikan dan kehidupan sesungguhnya. Melihat secara nyata ketidakadilan dan tidak meratanya pendidikan. Beranjak dari sebuah pesan yang pernah di bacanya pada salah satu sejarah pendidikan, dari bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan “ Semua orang adalah guru, dan semua tempat adalah sekolah”, Rusmawati muda mulai menata kembali tangga impiannya, dirinya harus bisa bermamfaat bagi lingkungan sekalipun tidak masuk perguruan tinggi, menjadi prinsip hidupnya.
Rusmawati muda mulai aktif di organisasi dan aktif menjadi kader muda dari Muhamadiyah karena pernah sekolah MTs Muhammadiyah Darul Arqom kabupaten Simalungun dan MAS Muhammadiyah Darul Arqom kabupaten Simalungun. Pelan-pelan tapi pasti, impian menjadi bermamfaat bagi orang lain mulai di wujudkan. Dengan masuk dalam sebuah organisasi akhirnya terbuka kesempatan mengggali , mengembangkan talenta terpendam. Sekalipun, pada awalnya hanya keinginan belajar dan menimba ilmu dari semua orang, karena merasa semua orang adalah guru.
Hingga pada suatu hari, saat melaksanakan kegiatan organisasi, sekitar tahun 1999, Rusmawati muda merasa terenyuh dan terhenyak melihat sebuah situasi dan keadaan anak-anak di daerah pesisir seperti Kecamatan ( Kec.) Teluk mengkudu, Kec. Pantai Cermin, Kec. Tanjung Beringin, Kecamatan Perbaungan begitu tidak layak bahkan jauh dari didikan kedua orang tua, dimana kebanyakan anak-anak di pesisir, menghadapi sebuah realitas menyedihkan, bahwa banyak keluarga pesisir belum melek akan pendidikan dasar terhadap anak apalagi pendidikan usia dini. Parahnya lagi, ada semacam garis tegas, bahwa orang tua di daerah pesisir, pendidik anak cukuplah seorang istri dan bukan menjadi bagian tugas seorang ayah, yang hanya bertugas memenuhi kebutuhan pokok dengan melaut.
Bahkan sering terjadi pula, ibu juga terlibat juga dalam menambah penghasilan sambil membawa serta anaknya dengan mencari kerang di tepi laut sehingga anak tersebut kehilangan masa kanak-kanaknya tanpa bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya.
Menyaksikan secara langsung dengan mata kepala sendiri keadaan yang memprihatinkan tersebut, akhirnya tergeraklah hati Rusmawati muda untuk membantu mendidik anak-anak pesisir agar memiliki suatu wadah bermain sekaligus tentu saja mendidik karakter anak-anak khususnya di bawah lima tahun yaitu Sanggar Belajar Anak, yang saat ini di kenal dengan pendidikan anak usia dini ( PAUD ).
Di mana ada kemauan, di situ ada jalan
Sekitar tahun 1998, ketika kekuasaan ORBA mulai berakhir, Rusmawati muda sudah mulai melakukan kegiatan organisasi di daerah pesisir menjalankan beberapa program. Kita tahu, memang sangat sulit berserikat, berkumpul dalam organisasi, karena akan di curigai dan sangat “pantang” pada masa itu. Bahkan, “pernah seorang rekan di intograsi oleh polisi menanyakan kegiatan karena dianggap penyusup “, tutur Rusmawati.
Sekalipun akhirnya di lepaskan, tapi tentu saja peristiwa tersebut sangat sulit di lupakan dan membekas dalam ingatan, apalagi bagi wanita seperti Rusmawati yang masih tergolong remaja ketika itu. Namun, itu tidak menyurutkan tekad Rusmawati muda untuk berjuang dalam bidang pendidikan sehingga berguna dan bermamfaat bagi lingkungan. Berguna dan bermamfaat bagi lingkungan, itulah yang selalu di ingat dalam semesta pikiran Rusmawati muda.
Akhirnya, Rusmawati muda dan beberapa rekan LSM lainnya, menemukan solusi agar tidak dianggap penyusup, Rusmawati muda menginap di rumah salah satu warga dan sekaligus berbaur agar sosialisasi program dapat berjalan lancar di tengah masyarakat.