Mohon tunggu...
Bernorth M
Bernorth M Mohon Tunggu... Administrasi - Volunter, Penulis, Pengembang Aplikasi

WWW.BONUSDEMOGRAFI-INSTITUTE.ORG Kopiholic # Untuk Kolaborasi, ide & saran email : bonusdemografi2020@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Gigantik Ekonomi Berbasis Inovasi Teknologi di Era Bonus Demografi

21 September 2017   00:54 Diperbarui: 5 Oktober 2017   00:53 1540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibarat sebuah jembatan yang menghubungkan jurang terjal, setiap negara selalu memiliki momentum besar--- jika di mamfaatkan, akan mewujudkan sebuah bangsa yang mampu menyeberangkan generasinya lebih cepat dengan kekuatan ekonomi yang lebih kuat, sehingga kesejahteraan rakyat dapat terlaksana dan tercapai dengan lebih efektif.

Data yang di rilis oleh Badan Pusat Statistik ( BPS ) menunjukkan , bonus demografi ( 10 penduduk angkatan kerja produktif hanya menanggung 3-4 usia tidak produktif ) akan dialami Indonesia dan mencapai titik puncak pada tahun 2028 hingga 2030. Limpahan sekitar 160 sampai 180 juta angkatan kerja yang berusia 15-64 tahun. Sekitar 70-80 jutanya adalah angkatan kerja muda yang berusia 15-34 tahun.  Angkatan kerja muda inilah yang akan berdampak langsung bagi kemajuan sebuah bangsa. Generasi ini sangat melek akan Teknologi Informasi dan Komunikasi ( TIK ).

Angkatan kerja negara Indonesia pada bulan Februari 2017 sebesar 131, 55 juta yang di keluarkan oleh BPS  masih di dominasi pendidikan Sekolah Dasar ( SD ) dan Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP) 59,1 %,  Sekolah Menengah Tingkat Atas/Sekolah Menengah Kejuruan (SMTA/SMK) 28,13 %, serta 12,26%  ( D1, DII, DIII dan Universitas ). Paparan data ini tentu perlu di waspadai.

Dengan mengambil analogi jembatan yang akan menyeberangkan jutaan orang sekaligus, tentu pondasi lapangan kerja yang kuat di butuhkan agar generasi yang produktif layak kerja ini,  tidak berdesakan dan tertahan tidak jadi melintas. Dan akibatnya akan timbul gejolak sosial yang besar. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 39, 6juta ( 31,8 % ) angkatan kerja di sektor pertanian, 29,1 juta ( 23,3%), Jasa kemasyarakatan 20,9 juta ( 16,8 % ). Dari data yang di rilis oleh BPS bulan februari 2017,  dapat kita simpulkan, Indonesia masih memiliki kesempatan besar dalam membangun lapangan kerja yang berbasis teknologi, salah satunya manufaktur yang menyerap tenaga kerja 15,5 juta pada tahun 2016 dan di ramalkan Kementerian Perindustrian akan naik menjadi sekitar 16, 3 juta pada tahun 2017.

Negara yang maju dengan perekonomiannya sangat identik dengan pendidikan yang lebih tinggi dan Riset Teknologi ( Ristek ) yang mumpuni. Alhasil, hal inilah yang menciptakan masyarakat lebih memiliki pendapatan perkapita lebih besar. Salah satu indikator sejahteranya suatu bangsa.

Cermin Dari Korea Selatan

Eropa dan Amerika agaknya memang sulit di jadikan pemacu semangat bangsa kita dalam mewujudkan kemajuan bangsa. Selain  karena perbedaan budaya, juga rentang jarak kemerdekaan yang cukup lama. Korea Selatan bisa di jadikan role model dalam membentuk dan membangun sebuah negara maju. Apalagi kita tahu, Korea Selatan merdeka pada tanggal 15 agustus yang hanya berbeda 2 hari dengan bangsa kita.

Korea Selatan memiliki kemiripan ketika baru saja merdeka di tahun 1945. Ekonomi yang buruk, trauma peperangan, fasilitas umum yang rusak, dan tingkat pendidikan yang rendah. Tapi, hanya dalam rentang 20 tahun sejak pemerintahan Park Chung-Hee ( 1962-1979 ) memfokuskan pada teknologi yang terintegrasi dengan Industri manufaktur yang dikerjakan oleh swasta ( Elektronik, Semi konduktor, dan Otomotif ).

Pendidikan dan Ristek sangat elementer dalam kemajuan sebuah bangsa

Apa yang menjadi landasan utama negeri Ginseng ini, tentu saja juga tidak lepas dari anggaran pendidikan yang besar. Karena penggunaan teknologi membutuhkan sumberdaya manusia yang berkompetensi. Tahun 2014 saja, berdasarkan penelitian The Social Progress Imperative, anggaran pendidikan Korea Selatan sebesar sekitar 150 Trilyun Rupiah. Dan, negara kita masih jauh tertinggal. Berdasarkan anggaran tahun 2017, Kementerian Pendidikan dan Kementrian Riset Teknologi & Pendidikan Tinggi  ( Kemenristekdikti ) yang jika di gabungkan sekalipun, hanya sekitar 84 Trilyun. Padahal, kedua hal ini tersebut sangat elementer dalam perekonomian yang berbasis industri. Memang, jika di total dari keseluruhan dana pendidikan ada sekitar 419,2 triliun. Permasalahannya ada 20 Kementerian yang di sertakan dalam anggaran pendidikan tersebut. Sekitar 126, 6 triliun saja hanya untuk menggaji Pegawai negeri sipil ( PNS).  Fokus pada kementerian Ristek dan pendidikan merupakan strategi yang lebih tepat.

Kita bisa menyaksikan dominasi Korea Selatan  di dunia dengan ekspornya seperti otomotif, semi konduktor, komputer,eletronik sehingga menjadi salah satu negara maju. Data resmi pendapatan perkapita tahunan penduduk Korea Selatan yang di keluarkan oleh Organisation for Economic, Co-operation ( OECD : Korea Selatan 2015 ) sekitar US$34.356.

Bercermin pada fokus Korea Selatan dalam menggerakan ekonominya, kemajuan TIK digunakan dalam pengembangan industri manufaktur. Teknologi jelas lebih cepat, presisi, dan efisien. Kita ambil contoh, siapa sekarang yang tidak memakai smartphone merek Samsung dan produk lainnya seperti pendingin udara, laptop, dan televisi ? Laporan keuangan  yang di rilis perusahaan Samsung pada tahun 2016 pada kuartal pertama saja sekitar 49,78 Trilyun Won ( sekitar  578,8 Trilyun ). Ini hampir sama dengan 25 % APBN Indonesia tahun 2017 !

Solusi Lapangan Kerja

Pada kuartal pertama 2017, BPS memaparkan, peningkatan tertinggi ada pada sektor  Infokom tumbuh sekitar 9,10 % yang di sebabkan transaksi  dalam jaringan ( daring ) penggunaan data, dan media sosial. Transaksi daring sekarang menjadi sebuah solusi efektif pengembangan ekonomi Indonesia, karena banyak terjadi perpindahan transaksi pembelian dari sebuah toko, swalayan, atau Mall menjadi Online karena lebih murah dan cepat. Siapa saja bisa berjualan sekalipun jauh dari pusat kota. Ini juga akan membentuk industri kreatif, misal ; kerajinan, barang seni, desain dan lainnya. Yang sekali lagi, tentu saja akan lebih besar nilai ekonominya jika memamfaatkan TIK sebagai pemasaran  yaitu aplikasi di gawai ataupun sebuah laman. Bahkan, pada tahun 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika ( Kemenkominfo ) memprediksi, transaksi penjualan  daring  sekitar US$130 Miliar. Potensi itu di dukung dengan tingkat penetrasi internet sekitar 132,7 juta pengguna berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia ( APJII ) tahun 2016.

Inilah jurus pamungkas yang bisa menampung banyak tenaga kerja yang kurang produktif di Indonesia.  Daya ungkit TIK dari paparan di atas tentu saja merupakan solusi yang harus segera di laksanakan lintas sektoral dalam pemerintahan. Pemerintah harus memberikan insentif pajak bagi yang ingin membangun industri manufaktur dan TIK agar partipasi lebih banyak dan produktif. Kepada kampus-kampus dan inventor juga di berikan dana hibah agar lebih memacu lagi Ristek yang berdaya guna untuk di mamfaatkan oleh perusahaan tersebut.

Perbesar Anggaran

Celakanya, pemerintah belum terlihat serius untuk memamfaatkan memajukan perekonomian masyarakat dengan berbasis  TIK. Kemajuan inovasi teknologi tidak bisa hanya dengan tutur kata, tapi juga di sertai dengan anggaran yang layak. Bercermin dari anggaran Ristek negara yang maju, anggaran tersebut minimal berkisaran sekitar 2,5% - 3% dari Produk Domestik Bruto ( PDB). . Mirisnya, negara kita hanya mengeluarkan sekitar 0,08 % tahun 2015 dan bertambah 0,2% tahun 2016 !

Pada tahun 2016, Indonesia meraih PDB sekitar 12.406,8 Trilyun. Kemenristekdikti mendapatkan anggaran 39,66 Trilyun dan menjadi 40,76 trilyun pada Anggaran Pendapatan & Belanja Negara Perubahan ( APBNP ) tahun 2017. Merujuk pada data anggaran Kementrian Keuangan, tentu ini masih sangat kecil.

Berdasarkan data yang di tampilkan Bank Dunia pada tahun 2015, Amerika yang tentu saja di jadikan kiblat dunia dalam inovasi teknologi, mengucurkan 2,81 % ( PDB USD 17,9 Trilyun ) , Jerman 2,85 % ( PDB USD 3,3 Trilyun ), dan tertinggi negara Korea Selatan dengan 4,15 %. ( PDB USD 1,3 Trilyun ). Kita bisa bayangkan berapa ratus triliun yang di kucurkan oleh negara tersebut dalam anggaran riset.

Kesimpulannya tentu saja, pemerintah harus mengintervensi kebijakan anggaran yang lebih berfokus pada pendidikan dan TIK. Keberpihakan pemerintah tentu harus di ejawantahkan dalam bentuk perubahan anggaran  pendidikan & Ristek  yang setiap tahun harus menjadi prioritas utama, paling tidak mengacu pada anggaran negara-negara maju diatas, kalau memang  pemerintah serius menjadikan Indonesia raksasa baru ekonomi  baru di dunia industri, yang tentu saja inovasi teknologi sebagai daya ungkitnya.

Sekali lagi, momentum bonus demografi yang akan segera di hadapi bangsa kita harus lebih cepat beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Inilah jembatan solusi terbaik bagi kemajuan bangsa. Apalagi, lompatan daya ungkit TIK sekarang sudah terbukti menjadikan sebuah penduduk di sebuah negara lebih sejahtera. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun