Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jihad Prof Yasonna Laoly dalam RUU KUHP

27 September 2019   02:47 Diperbarui: 27 September 2019   09:49 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Instagram/Yasonna Laoly

Viralnya perdebatan Menkumham, Prof. Yasonna Laoly dengan utusan para mahasiswa dalam forum ILC di TV One, Selasa 24/9/2019, memberi sebuah catatan yang menarik untuk dicermati.

Gelombang demonstrasi mahasiswa dan "bocah-bocah" SMK yang terjadi di beberapa kota di Indonesia, seolah tak terbendung. Perwakilan mahasiswa dalam debat di ILC mengaku bahwa aksi mereka "ditunggangi" oleh kepentingan rakyat.

Terlepas dari standar etis (kebenaran) dan moral (kebaikan) yang digaungkan oleh demonstran tersebut, ada satu hal yang patut mendapat perhatian, yakni bahwa dalam RUU KUHP pasal 218 ayat 1, termuat satu substansi yang mengacu pada penghormatan simbol negara sebagai bangsa yang beradab dan berdaulat. Muatan operasional secara gamblang disampaikan sebagai berikut;

"Sebagai bangsa yang beradab, saya tidak akan membiarkan Presiden yang akan datang, dihina oleh siapapun. Karena kita berazaskan Pancasila," tegas Yasonna.

Prof. Yasonna sebagai sosok yang ditugaskan oleh Presiden untuk turut terlibat dalam perancangan UU KUHP tersebut, menegaskan sikap dan komitmen kebangsaan yang final.

NKRI, Negara Hukum berasaskan Pancasila
Dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 45, NKRI sebagai negara hukum. Prof. Yasonna menegaskan bahwa UU yang sudah disahkan, telah melalui proses dan mekanisme konstitusional. Maka, bila ada ketidaksinkronan dengan apa yang dikehendaki dalam RUU/UU, gugatlah di Mahkamah Konstitusi dan bukan di mahkamah jalanan. 

Hal tersebut ditegaskan oleh Yasonna, mengingat dinamika penggodokan RUU KUHP warisan Belanda ini sudah berjalan sekitar 76 tahun yang lalu. Indonesia sudah melalui proses yang panjang. Bahkan bergulir dalam rentang waktu masa pemerintahan 7 Presiden.

Namun sampai saat ini originalitas KUHP yang mengakomodir nilai-nilai nusantara, tetap diusahakan. Dan inilah momen yang tepat untuk menegaskan identitas kebangsaan tersebut.

Konsep yang dianut oleh negara kita disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia yaitu Pancasila. NKRI sebagai negara hukum yang berdasarkan pada pancasila, pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu yaitu bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara kita sebuah negara yang aman, tentram, aman sejahtera, dan tertib.

Kedudukan hukum setiap warga negaranya dijamin sehingga bisa tercapainya sebuah keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perorangan maupun kepentingan kelompok (masyarkat).

Konsep negara hukum pancasila artinya suatu sistem hukum yang didirikan berdasarkan asas-asas dan kaidah atau norma-norma yang terkandung/tercermin dari nilai yang ada dalam pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat.

Jihad Yasonna dalam RUU KUHP
Jihad adalah perjuangan yang sungguh-sungguh. Dalam konteks sebagai pribadi yang merepresentasikan pemerintah, jihad Yasonna termuat dalam pembelaan harkat dan martabat diri sebagai person yang berdaulat.

Pasal 218 ayat 1 "Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV".

RUU ini mengalami misinterpretation yang dangkal dan mengakibatkan hilangnya sikap logis sebagian oknum.

Alm. Prof Loebby Loqman, seorang Dosen ahli Hukum Pidana UI yang turut ambil bagian dalam RUU KUHP ini menegaskan bahwa penerapan pasal-pasal penghinaan bukan sebagai cara pemerintah menghadapi, mengendalikan, dan mematikan kritik-kritik terhadap perilaku dan kebijakan Presiden.

"Penerapan delik penghinaan yang berlebih yang berkaitan dengan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat atau kritik terhadap pemerintah atau kebijakan pejabat publik akan mematikan secara perlahan demokrasi.

Sebaliknya penggunaan hak warga negara untuk menyampaikan kritik secara berlebihan terhadap pejabat negara dan pemerintah akan melahirkan sikap anarkis" kata Prof. Loebby (dikutip dari website Kemenkumham).

Namun, penggunaan kata "penghinaan" pada awalnya telah mengalami transformasi menjadi "penyerangan" harkat dan martabat sebagaimana termuat dalam RUU KUHP pasa 218, ayat 1. Artinya, Presiden dan Pemerintah melihat bahwa penghinaan menyejajarkan artikulasinya dalam sinonim "mengkritisi" kebijakan pemerintah.

Prof. Yasonna dalam debat publik di ILC mengatakan bahwa kritik tajam atas kinerjanya sebagai pejabat publik bukanlah sebuah tabu. Yasonna mencontohkannya dengan menjadikan dirinya sebagai objek.

"Bang Karni, kalau Bang karni bilang sama saya, Laoly itu Menteri Hukum dan HAM tidak becus mengurus Lapas, tidak becus mengurus imigrasi, tidak becus kerja, saya tentu tidak keberatan. Tetapi manakala, Bung Karni mengatakan, Laoly itu anak haram jadah, Laoly itu binatang, awas! Sampai liang lahat pun, aku akan mengejarmu Bung Karni."

Sebagai Putera Nias, Yasonna mengutip sebuah nilai jihad dalam kebudayaan Suku Nias untuk mengungkapkan responnya bila hal itu sampai terjadi. "Sokhi mate moroi aila/Lebih baik mati berkalang tanah dari pada harus menanggung malu".

Terkait relevansinya dengan RUU KUHP pasal 218 ayat 1, Yasonna menegaskan bahwa pernyataan "jihad" ini sebagai warning yang mesti disikapi sebagai sebuah bangsa yang beradab dan berdaulat atas dasar Pancasila.

Pengesahan RUU KUHP ditunda
Tuntutan massa atas sekitar 11 delik hukum dalam pasal-pasal RUU KUHP yang baru, sudah diakomodir. Presiden RI, Joko Widodo sudah mengumumkan secara secara resmi bahwa pengesahannya akan ditunda.

Rentang waktu yang diberikan, memberikan peluang untuk kembali mendiskusikannya di ruang publik. Menjadi pertanyaan, apakah kita yang ngotot memperdebatkan 11 delik pasal dari 2300 Din itu, mewakili aspirasi 260-an juta rakyat Indonesia?

Prof. Yasonna dengan lugas mengajak semua, siapapun yang merasa unggul dalam kebenaran dan mampu memberi solusi untuk kemaslahatan rakyat Indonesia untuk berdiskusi. Ada banyak forum, panja di DPR, dan ini terbuka untuk semua.

Namun, bila hal ini juga tidak mampu meredakan gejolak yang terus meletup dalam sikap irasionalitas, maka patut kita bertanya ada apa atau apa ada?

Apakah kita mesti bertanya pada rumput yang bergoyang sebagaimana syair lagu Ebiet yang mendayu memanjakan itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun