Kisruh yang diakibatkan oleh ucapan rasis Ust. Somad, membuat geger penganut agama di Indonesia, khususnya umat Kristiani. Somad yang dikenal sebagai penceramah populer itu, sering menyerempet konsep keimanan orang lain di luar yang ia yakini sendiri. Dan bukan hanya kali ini saja.
Terlepas bahwa sampai saat ini dia tidak merasa bersalah adalah tanggungjawab moralnya kepada Tuhannya dan umat yang diindoktrinasi oleh ucapannya. Dalam video pembelaannya, Somad memberi alasan mengapa dia melakukan itu, bahkan sampai organisasi representatif umat Muslim sebesar MUI (Tengku Zulkarnaen) juga turut memberi dukungan. Somad mengatakan bahwa penjelasannya pertama-tama harus dilihat sebagai ceramah eksklusif hanya di kalangan muslim dan ruangan tertutup, sudah berlalu, 3 tahun yang lalu di acara subuh di Pekanbaru.
Nah, tentu bila Gereja Katolik melihat dari sisi rasionalitasnya mungkin gak sepenuhnya juga benar apa yang diucapkan oleh Somad. Bayangkan saja, pemimpin agama Katolik melakukan hal yang sama dengan jemaatnya, misalnya dengan berceramah di hadapan umat yang isinya menyinggung ajaran iman Islam dan melecehkannya dengan alasan tidak ada orang lain yang mendengar dan dilakukan di ruang tertutup. Apakah itu bisa dibenarkan juga? Barangkali dentuman senjata dan take bir sudah menggema di seluruh pelosok.
Berdasarkan hukum Indonesia, kasus yang sifatnya merugikan pihak lain masih bisa dituntut (berlaku surut), bila bukti yang dimaksud sangat meyakinkan, setidaknya 12 tahun sebelum kadaluarsa. Ini kan masih balita, baru tiga tahun. Untuk itu, sebenarnya tidak ada alasan Somad mengatakan bahwa ucapannya sudah berlalu dan tak perlu diungkit lagi.
Ok, terlepas dari semua fakta yang sudah terjadi. Muncul satu pertanyaan, khususnya Umat Katolik. Mengapa pemimpinnya tidak gregetan dan merasa adem saja melihat perlakuaan Somad yang masih tetap merasa benar itu. Bukankah, Gereja Katolik sebenarnya bisa saja membuat efek jera untuk Somad yang seupil itu.
Tapi, Gereja Katolik tidak melakukan itu. Gereja Katolik tidak harus menguras energi hanya untuk merespon Somad yang masih pelajar dan berniat belajar lagi (dengar-dengarnya di Sudan).
Gereja Katolik
Di seluruh dunia, hanya Gereja Katolik yang satu-satunya memiliki status sebagai sebuah Agama dan sebuah Institusi sejajar Negara dengan Ibu Kota Vatikan. Maka tidak heran, kalau Gereja Katolik mewakili Diplomat dan Duta Besar di hampir seluruh Negara-negara di di dunia yang memiliki umat Katolik.
Gereja Katolik di bawah Kepemimpinan yang mulia Bapa Paus Suci Fransiskus memimpin hampir 3 Milyar jumlah Umat Katolik yang tersebar di seluruh dunia. Sebagai organisasi besar, Gereja Katolik memiliki bargaining yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk melakukan dan mempengaruhi lobi politik di suatu negara.Â
Tapi Gereja tidak melakukan itu. Gereja Katolik dengan Slogan Pro Patria et Ecclesia tidak mau mencampur adukkan perannya dalam memimpin umat. Umat Katolik selalu dihimbau untuk selalu menjadi warga Katolik 100% dan warga Negara 100%.
Di sinilah letak kedewasaan Gereja Katolik dalam menyikapi setiap persoalan besar di dunia. Gereja Katolik sudah kenyang dengan polemik dan persoalan yang jauh lebih besar dari hanya mengurusi Somad yang seupil itu. Perpecahan internal (munculnya protestanisme) di masa renaisans sekitar abad ke 17 sudah memberi banyak pengalaman berharga bagi Gereja Katolik selama berabad-abad.
Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik di dunia, selalu memiliki peran dalam menciptakan perdamaian dunia. Hikmat dan keagungannya selalu didengar oleh para pemimpin negara di seluruh dunia, terutama saat negara-negara menghadapi pelbagai persoalan hidup terutama terkait dengan kemanusiaan dan perdamaian dunia.
Golden Rule
Gereja Katolik mengimani Yesus Kristus sebagai Putra Allah yang menjelma dalam diri manusia melalui perawan suci Maria. Iman Gereja Katolik yang termuat dalam Kitab Suci memiliki ajaran iman yang menjadi perintah dan kewajiban yang dilakukan oleh umat Katolik di seluruh dunia.
Yesus Kristus mengajarkan golden rule, sebagaimana termuat dalam Injil Matius 7:12 "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan Kita para Nabi".
Golden rule di atas merupakan landasan tertinggi dan terluhur yang menjadi ajaran moral umat Katolik. Golden rule ini mengaliri nadi dan jiwa serta perilaku umat Katolik.
Gereja Katolik sebagai Agama dan Organisasi mampu menyeimbangkan dua tanggungjawab dan peran yang melekat didalamnya. Ibarat mata uang koin dengan dua sisi yang tak terpisahkan.Â
Dalam identitasnya sebagai Agama, Gereja Katolik mempunyai peran penting untuk mewartakan kabar gembira Tuhan Yesus untuk keselamatan semua bangsa di dunia dalam landasan golden rule, dan disisi lain memerankan tugas sebagai katalisator dan agent of change yang menggarami birokrasi di negara-negara di seluruh dunia.
Gereja Katolik adalah Gereja yang besar dan sudah teruji oleh zaman. Eksistensinya telah mengakar dan tak mungkin tergoyahkan. Sebagai organisasi yang memiliki pusat kendali di Vatikan, Gereja Katolik layaknya ibarat "Negara Khilafah" sesungguhnya yang masih menjadi mimpi bagi saudara sebelah untuk mewujudkannya.
Gereja Katolik adalah Agama Kasih
Terkait polemik yang sudah disinggung di awal tulisan ini, pemimpin Gereja Katolik di Indonesia, menghimbau umatnya untuk tidak perlu merespon terlalu keras terhadap kelakuan 'pelajar' Â baru belajar tentang keyakinan orang lain. Wajar saja hal itu terjadi, mengingat sikap fanatisme sempit hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki hati dan pikiran sempit pula.
Mgr. Ignatius Suharyo, Ketua KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), sekaligus sebagai Uskup Agung Keuskupan Jakarta mengatakan "Sudah banyak yang memberi catatan, termasuk dari sahabat-sahabat muslim sendiri. Saya sendiri mengajak umat Katolik untuk tidak usah menanggapi, tidak usah terganggu apalagi terpancing oleh hal-hal seperti itu. Kami ingin negeri ini damai, tidak direpotkan dengan hal-hal seperti itu yang hanya akan merugikan persatuan bangsa."
Demikian juga halnya dengan Romo Benny, Pr seorang Imam dan anggota BPIP RI (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) mengatakan Umat Katolik tidak perlu risau dan reaktif terhadap viralnya video tersebut. Ini saatnya kita menerapkan ajaran Kristus, yakni belas kasih, mengampuni sesama, Corpus Kristus itu diimani sebagai pengorbanan dalam pewartaan, wafat, dan kebangkitan Yesus. Pasalnya, tidak mungkin ada kebangkitan Kristus tanpa sengsara dan wafat-Nya di salib.
"Sakit yang engkau beri, tak sanggup mengusik kekuatan cinta salibku untuk ikut menyakitimu. Tidak. Salib tidak mengajarkan kami untuk menyakiti apalagi membalas dendam.
Salib mengajarkan untuk masuk dalam rasa sakit, mencecapnya dan dikuatkan olehNya..."
Demikian sebuah penggalan puisi Pater Tuan Kopong, MSF di laman akun faacebooknya.
Indahnya negaraku, damainya bangsaku.
Gereja Katolik, Agama Damai berlandaskan KASIH.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H