Mohon tunggu...
Bernard Kaligis and Associates
Bernard Kaligis and Associates Mohon Tunggu... Pengacara - Bernard Kaligis and Associates

It's started with a service

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Membela Diri, Malah Masuk Penjara?

6 Februari 2023   15:07 Diperbarui: 6 Februari 2023   15:17 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelaku pembunuhan dalam kasus yang saat ini jadi highlight di Indonesia berdalil bahwa pembunuhan yang dilakukannya adalah sebuah pembelaan diri karena si korban telah terlebih dahulu melecehkan istrinya. Ia berulang kali menegaskan kepada orang lain, bahkan kepada anak buah yang disuruhnya untuk melakukan eksekusi, bahwa pembunuhan yang telah terjadi tersebut adalah sebuah upaya bela diri atas kehormatan yang telah diserang.

Sebelum kasus tersebut, tersebar banyak kasus pembelaan diri lainnya. Di tahun 2022, beberapa kasus terkenal di antaranya adalah kasus di Lombok Tengah, dan Medan di mana dua pemuda ditersangkakan karena membunuh terduga pelaku yang hendak membegalnya. Di tahun 2021, di Demak, seorang kakek terpaksa membunuh seseorang yang menurutnya berupaya mencuri ikan di kolam yang dijaganya. Jauh sebelumnya lagi, di tahun 2018, Istana bahkan sampai harus "turun tangan" membantu pelepasan tersangka pembunuhan di Bekasi yang juga mengaku membela diri dari serangan begal. Kesemua korban dari kasus-kasus di atas tewas.

Terhadap kesemua kasus tersebut, masyarakat terbelah dalam kubu yang mengamini tindakan pembunuhan/penganiayaan sebagai mekanisme perlindungan/pembelaan diri, dan kubu yang merasa bahwa banyak tindakan pembelaan diri tersebut terlampau berlebihan dan diinsafi sehingga dikhawatirkan melanggengkan budaya kekerasan yang mengkerdilkan wibawa peradilan yang seharusnya mengadili kasus-kasus tersebut. Perlu dipahami terlebih dahulu apa itu pembelaan diri, supaya bila memang harus dihadapkan pada situasi yang mengancam, seseorang dapat bersikap secara bijaksana.

Maksud Pembelaan Diri

Dari konstruksi kata-nya saja, diketahui bahwa pembelaan diri (atau lazim disebut sebagai pembelaan terpaksa) adalah upaya atau tindakan yang dilakukan untuk melindungi dan membela diri dari suatu serangan/ancaman yang dipercaya merugikan orang tersebut. Itulah sebabnya, tidak semua orang yang menyaksikan atau mengalami suatu peristiwa tindak pidana akan bereaksi sama. Mereka yang merasa dirugikan akan membela diri dan yang lain tidak. Hal ini membuktikan bahwa pembelaan diri adalah tindakan yang subyektif. Oleh sebab itu, demi keadilan, hukum harus menilai dan menyikapi tindakan pembelaan diri ini se-obyektif mungkin.

Untuk menjadikannya sebagai tindakan yang obyektif, menurut Atang Ranoemihardja, setidaknya pembelaan diri harus memiliki unsur-unsur:[1]

  • Adanya serangan/ancaman yang diterima harus melawan hak, bersifat mendadak dan seketika (sedang dan masih berlangsung). Maka, pembelaan diri harus dilakukan secara seketika, tidak menyisakan waktu untuk berpikir dan dilakukan saat serangan/ancaman terjadi.
  • Serangan tersebut harus berisfat melawan hukum dan diniatkan untuk menciderai tubuh, martabat/kehormatan, dan harta benda.
  • Pembelaan diri harus darurat, dan dilakukan dengan tujuan menghentikan serangan/ancaman. Pembelaan harus seimbang dengan ancaman, berdasar asas proposionalitas dan subsidaritas, dan memang merupakan upaya terakhir (tidak ada cara lain) untuk menghentikan serangan/ancaman.

Unsur-unsur ini membantu kita untuk membedakan mana pembelaan diri (noodweer), dan mana balas dendam (wraak). Tentu, keduanya memiliki konsekuensi berbeda di mata hukum. Pembelaan diri diatur dalam Pasal 49 KUHP yang berbunyi:[2]

"(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum. 

(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana."

Pasal 49 KUHP sendiri membedakan 2 jenis pembelaan diri. Pembelaan diri biasa dan pembelaan diri yang melampaui batas (noodweer exces). Dalam pembelaan diri yang melampaui batas tersebut, seseorang masih tetap melakukan tindakan bela diri sekalipun ancaman yang nyata adanya telah berhasil dihentikan atau setidaknya tidak berpotensi lagi berlanjut. Untuk dapat dibenarkan secara obyektif, pembelaan diri melampaui batas mensyaratkan adanya kondisi jiwa yang terguncang hebat. Jiwa yang terguncang hebat disebabkan dengan adanya rasa takut, kekalutan dan kebuntuan berpikir, kemarahan, atau belas kasihan.[3]

Namun, lepas dari itu, apabila unsurnya dipenuhi, baik biasa maupun yang melampuai batas, pembelaan diri yang memenuhi unsur tidak dipidana. Pembelaan diri dianggap sebagai alasan yang memaafkan terjadinya tindak pidana.

Siapa yang boleh melakukan pembelaan diri?

 Berdasarkan Pasal 49 KUHP, diri sendiri sebagai pihak yang diserang/diancam, maupun orang lain di luar dari pihak yang ancaman/serangan tersebut ditujukan, dapat melakukan pembelaan diri. Namun, perlu diperhatikan sungguh unsur-unsur pembelaan diri yang dilakukan. Idealnya, siapapun yang melihat/menyaksikan terjadinya suatu tindak pidana tergerak untuk "menghentikan" terjadinya tindak pidana sesederhana dengan cara melaporkan peristiwa tersebut, atau membantu korban. Hukum justru memiliki jerat bagi mereka yang lalai dalam "tugas kemanusiaan" mereka ini, yaitu untuk melaporkan peristiwa tindak pidana yang mereka ketahui dengan dalil obstruction of justice (Pasal 221) dan/atau permufakatan jahat (Pasal 55 ayat 1). Mereka yang tidak menyaksikan tindak pidana namun melihat korban dalam keadaan sengsara akibat tindak pidana tersebut pun dapat dipidana dengan Pasal 304 KUHP.

Melawan sama dengan membela diri?

 Berkaca dari uraian singkat di atas, tidak semua kasus di mana tindakan melawan balik orang yang berpotensi merugikan/menyerang adalah perbuatan membela diri. Telah disebutkan dengan jelas bahwa, untuk dapat disebut membela diri, tindakan yang dilakukan harus bersifat spontan dan saat itu juga (saat terjadinya serangan). Ketika serangan sudah terjadi (telah selesai), maka pelawanan setelahnya dinilai sebagai sebuah perbuatan balas dendam (wraak). Perbuatan balas dendam (wraak) tidak dapat dibenarkan dalam hukum, karena merupakan bentuk main hakim sendiri (eigenrichting).

 Pembelaan diri pun harus proporsional dan seimbang. Kepentingan yang dibela pun harus sepadan dengan risiko yang diterima si penyerang ketika dilawan. Contoh, apabila terdapat penyerangan terhadap warung pinggir jalan yang nilainya tidak lebih dari Rp.5.000.000, maka pembelaan diri dengan membunuh orang tersebut tidaklah dapat dibenarkan. Maka, dapat disimpulkan bahwa dalam menilai sesuatu itu pembelaan diri atau bukan, hal-hal yang harus dipertimbangkan adalah waktu serangan dan perlawanan balik (time stamps), alat/cara yang digunakan dalam serangan dan perlawanan balik, kepentingan yang dilindungi, dan akibat dalam serangan dan perlawanan balik yang terjadi.

 Dalam banyak kasus yang terjadi, sebagaimana kasus yang disebut di bagian awal tulisan ini (meskipun tidak semua), yang terjadi adalah perlawanan balik dilakukan setelah selesainya peristiwa penyerangan/ancaman. Ambillah contoh kasus pertama yang jadi highlight di Indonesia tadi. Dengan asumsi bahwa pelecehan benar terjadi pada istrinya, dalil pembelaan diri itu tetap tidak dapat diterima. Tindakan pembunuhan tersebut, dari segi waktu, dinilai terlampau jauh jaraknya dari peristiwa pelecehan sehingga menyiratkan adanya cukup waktu bagi korban dan relasinya untuk berpikir dan menimbang tindakan terbaik apa yang dapat dilakukan selain melukai orang lain, seperti melaporkan ke polisi misalnya. Hal ini membuat pembunuhan menjadi tidak spontan (sebagaimana mestinya pembelaan diri) malah terencana. Tindakan pembunuhan dengan dalil pembelaan diri itu pun tidak lagi berdampak pada berhentinya serangan, sebagaimana tujuan dari pembelaan diri itu sendiri. Dari segi cara dan alat yang dilakukan pun tidak proporsional di mana akibat yang ditimbulkan (kematian) overweight (melampaui) ganjaran yang sepatutnya dapat dihukumkan kepada si pelaku penyerangan (perbandingannya dapat dilihat dari pidana yang diancamkan dalam pasal terkait tindak pidana tersebut).

Begitupun dengan kasus lainnya. Perlawanan sering dilakukan dalam rentang waktu yang terlampau jauh sehingga menyiratkan bahwa alih-alih membela diri, tindakan itu lebih condong pada balas dendam dan main hakim sendiri. Tentu hal yang terakhir ini harus ditolak dan merupakan penistaan pada tujuan hukum itu sendiri.

Siapa yang berhak menentukan pembelaan diri?

 Meskipun demikian, pada akhirnya, yang menentukan bahwa tindakan seseorang merupakan pembelaan diri atau bukan, atau apakah ada unsur kegoncangan jiwa sehingga pembelaan diri yang melampaui batas dapat dibenarkan, adalah hakim dalam ruang persidangan. Hal ini disampaikan pula oleh Fachrizal Affandi, Ph.D, dosen hukum pidana Universitas Brawijaya Malang dan Abdul Fickar Hadjar, pengamat hukum pidana Universitas Trisakti. Penilaian atas pembelaan diri yang kemudian akan dijadikan alasan pemaaf adalah wewenang hakim.[4] Tindakan penghentian penyidikan oleh kepolisian terhadap beberapa tersangka dalam beberapa kasus pembelaan diri dinilai tidak profesional, dan bersifat populis (hanya mengikuti persepsi yang populer di masyarakat).

Pembelaan diri memang merupakan sebuah tindakan yang kompleks di mata hukum. Toleransi membabi buta pada pembelaan diri berpotensi pula pada adanya salah pelaku yang kemudian menjadi korban. Kami menyarankan, bila Anda atau orang terdekat Anda diserang/diancam, usahakan untuk tidak mengambil tindakan sendiri. Cobalah untuk mempercayakan terlebih dahulu kepada pihak kepolisian untuk dilakukan penyelidikan. Anda juga dapat mencari pendampingan hukum dan pendampingan lain yang kiranya dibutuhkan. Pun bila Anda adalah korban dari pembelaan diri yang tidak dapat dibenarkan, Anda bisa mencari keadilan dan mengkonsultasikannya dengan penasehat hukum Anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun