Mohon tunggu...
Bernard Kaligis and Associates
Bernard Kaligis and Associates Mohon Tunggu... Pengacara - Bernard Kaligis and Associates

It's started with a service

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Membela Diri, Malah Masuk Penjara?

6 Februari 2023   15:07 Diperbarui: 6 Februari 2023   15:17 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa yang boleh melakukan pembelaan diri?

 Berdasarkan Pasal 49 KUHP, diri sendiri sebagai pihak yang diserang/diancam, maupun orang lain di luar dari pihak yang ancaman/serangan tersebut ditujukan, dapat melakukan pembelaan diri. Namun, perlu diperhatikan sungguh unsur-unsur pembelaan diri yang dilakukan. Idealnya, siapapun yang melihat/menyaksikan terjadinya suatu tindak pidana tergerak untuk "menghentikan" terjadinya tindak pidana sesederhana dengan cara melaporkan peristiwa tersebut, atau membantu korban. Hukum justru memiliki jerat bagi mereka yang lalai dalam "tugas kemanusiaan" mereka ini, yaitu untuk melaporkan peristiwa tindak pidana yang mereka ketahui dengan dalil obstruction of justice (Pasal 221) dan/atau permufakatan jahat (Pasal 55 ayat 1). Mereka yang tidak menyaksikan tindak pidana namun melihat korban dalam keadaan sengsara akibat tindak pidana tersebut pun dapat dipidana dengan Pasal 304 KUHP.

Melawan sama dengan membela diri?

 Berkaca dari uraian singkat di atas, tidak semua kasus di mana tindakan melawan balik orang yang berpotensi merugikan/menyerang adalah perbuatan membela diri. Telah disebutkan dengan jelas bahwa, untuk dapat disebut membela diri, tindakan yang dilakukan harus bersifat spontan dan saat itu juga (saat terjadinya serangan). Ketika serangan sudah terjadi (telah selesai), maka pelawanan setelahnya dinilai sebagai sebuah perbuatan balas dendam (wraak). Perbuatan balas dendam (wraak) tidak dapat dibenarkan dalam hukum, karena merupakan bentuk main hakim sendiri (eigenrichting).

 Pembelaan diri pun harus proporsional dan seimbang. Kepentingan yang dibela pun harus sepadan dengan risiko yang diterima si penyerang ketika dilawan. Contoh, apabila terdapat penyerangan terhadap warung pinggir jalan yang nilainya tidak lebih dari Rp.5.000.000, maka pembelaan diri dengan membunuh orang tersebut tidaklah dapat dibenarkan. Maka, dapat disimpulkan bahwa dalam menilai sesuatu itu pembelaan diri atau bukan, hal-hal yang harus dipertimbangkan adalah waktu serangan dan perlawanan balik (time stamps), alat/cara yang digunakan dalam serangan dan perlawanan balik, kepentingan yang dilindungi, dan akibat dalam serangan dan perlawanan balik yang terjadi.

 Dalam banyak kasus yang terjadi, sebagaimana kasus yang disebut di bagian awal tulisan ini (meskipun tidak semua), yang terjadi adalah perlawanan balik dilakukan setelah selesainya peristiwa penyerangan/ancaman. Ambillah contoh kasus pertama yang jadi highlight di Indonesia tadi. Dengan asumsi bahwa pelecehan benar terjadi pada istrinya, dalil pembelaan diri itu tetap tidak dapat diterima. Tindakan pembunuhan tersebut, dari segi waktu, dinilai terlampau jauh jaraknya dari peristiwa pelecehan sehingga menyiratkan adanya cukup waktu bagi korban dan relasinya untuk berpikir dan menimbang tindakan terbaik apa yang dapat dilakukan selain melukai orang lain, seperti melaporkan ke polisi misalnya. Hal ini membuat pembunuhan menjadi tidak spontan (sebagaimana mestinya pembelaan diri) malah terencana. Tindakan pembunuhan dengan dalil pembelaan diri itu pun tidak lagi berdampak pada berhentinya serangan, sebagaimana tujuan dari pembelaan diri itu sendiri. Dari segi cara dan alat yang dilakukan pun tidak proporsional di mana akibat yang ditimbulkan (kematian) overweight (melampaui) ganjaran yang sepatutnya dapat dihukumkan kepada si pelaku penyerangan (perbandingannya dapat dilihat dari pidana yang diancamkan dalam pasal terkait tindak pidana tersebut).

Begitupun dengan kasus lainnya. Perlawanan sering dilakukan dalam rentang waktu yang terlampau jauh sehingga menyiratkan bahwa alih-alih membela diri, tindakan itu lebih condong pada balas dendam dan main hakim sendiri. Tentu hal yang terakhir ini harus ditolak dan merupakan penistaan pada tujuan hukum itu sendiri.

Siapa yang berhak menentukan pembelaan diri?

 Meskipun demikian, pada akhirnya, yang menentukan bahwa tindakan seseorang merupakan pembelaan diri atau bukan, atau apakah ada unsur kegoncangan jiwa sehingga pembelaan diri yang melampaui batas dapat dibenarkan, adalah hakim dalam ruang persidangan. Hal ini disampaikan pula oleh Fachrizal Affandi, Ph.D, dosen hukum pidana Universitas Brawijaya Malang dan Abdul Fickar Hadjar, pengamat hukum pidana Universitas Trisakti. Penilaian atas pembelaan diri yang kemudian akan dijadikan alasan pemaaf adalah wewenang hakim.[4] Tindakan penghentian penyidikan oleh kepolisian terhadap beberapa tersangka dalam beberapa kasus pembelaan diri dinilai tidak profesional, dan bersifat populis (hanya mengikuti persepsi yang populer di masyarakat).

Pembelaan diri memang merupakan sebuah tindakan yang kompleks di mata hukum. Toleransi membabi buta pada pembelaan diri berpotensi pula pada adanya salah pelaku yang kemudian menjadi korban. Kami menyarankan, bila Anda atau orang terdekat Anda diserang/diancam, usahakan untuk tidak mengambil tindakan sendiri. Cobalah untuk mempercayakan terlebih dahulu kepada pihak kepolisian untuk dilakukan penyelidikan. Anda juga dapat mencari pendampingan hukum dan pendampingan lain yang kiranya dibutuhkan. Pun bila Anda adalah korban dari pembelaan diri yang tidak dapat dibenarkan, Anda bisa mencari keadilan dan mengkonsultasikannya dengan penasehat hukum Anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun