Pelaku pembunuhan dalam kasus yang saat ini jadi highlight di Indonesia berdalil bahwa pembunuhan yang dilakukannya adalah sebuah pembelaan diri karena si korban telah terlebih dahulu melecehkan istrinya. Ia berulang kali menegaskan kepada orang lain, bahkan kepada anak buah yang disuruhnya untuk melakukan eksekusi, bahwa pembunuhan yang telah terjadi tersebut adalah sebuah upaya bela diri atas kehormatan yang telah diserang.
Sebelum kasus tersebut, tersebar banyak kasus pembelaan diri lainnya. Di tahun 2022, beberapa kasus terkenal di antaranya adalah kasus di Lombok Tengah, dan Medan di mana dua pemuda ditersangkakan karena membunuh terduga pelaku yang hendak membegalnya. Di tahun 2021, di Demak, seorang kakek terpaksa membunuh seseorang yang menurutnya berupaya mencuri ikan di kolam yang dijaganya. Jauh sebelumnya lagi, di tahun 2018, Istana bahkan sampai harus "turun tangan" membantu pelepasan tersangka pembunuhan di Bekasi yang juga mengaku membela diri dari serangan begal. Kesemua korban dari kasus-kasus di atas tewas.
Terhadap kesemua kasus tersebut, masyarakat terbelah dalam kubu yang mengamini tindakan pembunuhan/penganiayaan sebagai mekanisme perlindungan/pembelaan diri, dan kubu yang merasa bahwa banyak tindakan pembelaan diri tersebut terlampau berlebihan dan diinsafi sehingga dikhawatirkan melanggengkan budaya kekerasan yang mengkerdilkan wibawa peradilan yang seharusnya mengadili kasus-kasus tersebut. Perlu dipahami terlebih dahulu apa itu pembelaan diri, supaya bila memang harus dihadapkan pada situasi yang mengancam, seseorang dapat bersikap secara bijaksana.
Maksud Pembelaan Diri
Dari konstruksi kata-nya saja, diketahui bahwa pembelaan diri (atau lazim disebut sebagai pembelaan terpaksa) adalah upaya atau tindakan yang dilakukan untuk melindungi dan membela diri dari suatu serangan/ancaman yang dipercaya merugikan orang tersebut. Itulah sebabnya, tidak semua orang yang menyaksikan atau mengalami suatu peristiwa tindak pidana akan bereaksi sama. Mereka yang merasa dirugikan akan membela diri dan yang lain tidak. Hal ini membuktikan bahwa pembelaan diri adalah tindakan yang subyektif. Oleh sebab itu, demi keadilan, hukum harus menilai dan menyikapi tindakan pembelaan diri ini se-obyektif mungkin.
Untuk menjadikannya sebagai tindakan yang obyektif, menurut Atang Ranoemihardja, setidaknya pembelaan diri harus memiliki unsur-unsur:[1]
- Adanya serangan/ancaman yang diterima harus melawan hak, bersifat mendadak dan seketika (sedang dan masih berlangsung). Maka, pembelaan diri harus dilakukan secara seketika, tidak menyisakan waktu untuk berpikir dan dilakukan saat serangan/ancaman terjadi.
- Serangan tersebut harus berisfat melawan hukum dan diniatkan untuk menciderai tubuh, martabat/kehormatan, dan harta benda.
- Pembelaan diri harus darurat, dan dilakukan dengan tujuan menghentikan serangan/ancaman. Pembelaan harus seimbang dengan ancaman, berdasar asas proposionalitas dan subsidaritas, dan memang merupakan upaya terakhir (tidak ada cara lain) untuk menghentikan serangan/ancaman.
Unsur-unsur ini membantu kita untuk membedakan mana pembelaan diri (noodweer), dan mana balas dendam (wraak). Tentu, keduanya memiliki konsekuensi berbeda di mata hukum. Pembelaan diri diatur dalam Pasal 49 KUHP yang berbunyi:[2]
"(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.Â
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana."
Pasal 49 KUHP sendiri membedakan 2 jenis pembelaan diri. Pembelaan diri biasa dan pembelaan diri yang melampaui batas (noodweer exces). Dalam pembelaan diri yang melampaui batas tersebut, seseorang masih tetap melakukan tindakan bela diri sekalipun ancaman yang nyata adanya telah berhasil dihentikan atau setidaknya tidak berpotensi lagi berlanjut. Untuk dapat dibenarkan secara obyektif, pembelaan diri melampaui batas mensyaratkan adanya kondisi jiwa yang terguncang hebat. Jiwa yang terguncang hebat disebabkan dengan adanya rasa takut, kekalutan dan kebuntuan berpikir, kemarahan, atau belas kasihan.[3]
Namun, lepas dari itu, apabila unsurnya dipenuhi, baik biasa maupun yang melampuai batas, pembelaan diri yang memenuhi unsur tidak dipidana. Pembelaan diri dianggap sebagai alasan yang memaafkan terjadinya tindak pidana.