Dulu, seorang Kanisian mungkin datang dengan kebingungan dan ketidakpastian mengenai masa depan, belum memahami sepenuhnya nilai-nilai 4C+1L (Competence, Conscience, Compassion, Commitment, Leadership). Ketidaktahuan dan sikap meremehkan berbagai hal menjadi bagian dari perjalanan awal mereka. Kini, melalui proses refleksi mendalam dan pengalaman transformasi di retret, karakter tersebut mulai terbentuk. Â Nanti, pembelajaran ini menjadi fondasi untuk melangkah ke masa depan sebagai pribadi yang kompeten, peduli, dan siap menjadi pemimpin yang mempengaruhi dunia di sekitarnya.
Pengalaman retret bagi seorang siswa Kolese Kanisius sering kali menjadi titik balik dalam perjalanan menemukan jati diri. Salah satu momen penting dalam proses tersebut adalah retret kelas 12 di Panti Semedi, Klaten, di bawah bimbingan Romo John. Pada bulan Agustus 2024, kelas 12 Kanisius melakukan retret di berbagai tempat sebagai salah satu agenda belajar Kanisian, dan saya menjadi salah satu persertanya . Dari pengalaman yang dilalui perenungan mendalam dan keterlibatan dalam berbagai aktivitas, retret ini memberikan kesempatan bagi Kanisian untuk mengatasi ketakutan, menemukan arah hidup, dan memupuk nilai-nilai 4C+1L yang esensial dalam membentuk karakter seorang Kanisian yang utuh.
Masuk ke kelas 12 sering kali menjadi masa yang penuh tekanan, terutama ketika siswa dihadapkan dengan keputusan penting mengenai masa depan mereka. Ketidakpastian dan kebingungan mengenai pilihan jurusan dan karier menjadi sumber kekhawatiran yang nyata. Bahkan hingga saat ini, terdapat Kanisian kelas 12 yang tidak tahu keinginan jurusan kuliahnya, dan tentunya hal ini sungguh memprihatinkan. Dalam hal ini, retret di Panti Semedi memainkan peran krusial. Banyak siswa, termasuk beberapa yang pernah merasa tidak kompeten dan remeh terhadap berbagai hal, mendapati bahwa mereka perlu lebih serius dalam menata masa depan. Itulah kondisi sebelum mengikuti retret, penulis pun begitu. Kesadaran bahwa pilihan jurusan bukan hanya sekadar keputusan akademis tetapi fondasi hidup masa depan menjadi sorotan utama.
Saya tidak competent, saya tidak conscience, saya tidak commitment, saya tidak compassion, dan saya tidak memiliki leadership. Bisa dibilang saat ini saya "Nobody". Tentunya pengalaman ini tidak hanya mencerminkan diri saya secara internal, tetapi juga secara eksternal. Saya menyesali waktu yang saya buang akibat sifat yang begitu kecil tetapi fatal bagi diri saya. Oleh karena itu, retret di pantai semedi merupakan sebuah retret yang membantu saya menemukan diri saya dan jati diri saya.
Kutipan mencerminkan isi pikiran dari seorang yang tersesat akan arah hidupnya di dunia yang penuh ketidakpastian. Retret dipenuhi dengan kejauhan diri dari distraksi sosial media dan penggunaan ponsel. Selama retret, siswa tidak hanya diajak untuk menemukan potensi diri, tetapi juga untuk merenungkan dampak pilihan hidup mereka terhadap orang-orang di sekitar, terutama keluarga. Ketika seorang siswa menyadari bahwa sikap acuh tak acuh tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga membebani orang tua secara emosional dan finansial, maka timbullah dorongan untuk bertindak lebih bijak. Aktivitas seperti I with Nature yang mengajak peserta bersatu dengan alam menjadi titik refleksi yang mendalam, di mana rasa compassion dan conscience terhadap kehidupan di bumi mulai berkembang.
Sebagai siswa Kanisius, pembentukan karakter melalui 4C+1L (Competence, Conscience, Compassion, Commitment, dan Leadership) merupakan prinsip dasar yang ditanamkan sejak dini. Namun, pada kenyataannya, banyak siswa yang mungkin masih tidak tahu dalam mengaplikasikan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari. Retret di Panti Semedi menawarkan sarana untuk menumbuhkan dan memperdalam pemahaman terhadap 4C+1L ini.
Melalui kegiatan seperti Struggle with Life, peserta tidak hanya belajar tentang arti kerja keras dan kompetensi, tetapi juga memupuk komitmen untuk hidup dengan integritas. Pengalaman menjelajahi kehidupan kaum menengah ke bawah dan merasakan langsung bagaimana hidup dengan segala keterbatasan membuka mata para peserta akan pentingnya kesadaran sosial dan empati. Dengan memposisikan diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar, siswa belajar untuk memupuk rasa compassion dan kepercayaan pada diri sendiri serta orang lain. Contohnya, dari kemurahan hati orang sebagai sesama manusia maka kita bisa saling berbagi makanan jika meminta dengan hati yang terbuka.
Program retret seperti Ragawidya yang dirancang dengan metodologi See-Judge-Act merupakan salah satu elemen kunci dalam pengembangan kepemimpinan di Kolese Kanisius. Kegiatan retret ini memadukan refleksi spiritual dan pembelajaran praktis, menciptakan keseimbangan antara jiwa dan raga yang disebut sebagai Widiraga dan Widyaraga. Dalam konteks ini, retret di Panti Semedi tidak hanya membantu siswa menemukan jati diri mereka, tetapi juga memberikan arahan bagaimana mereka dapat menjadi pemimpin yang berintegritas dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan See-Judge-Act memandu siswa untuk melihat masalah di sekitar mereka, menimbang-nimbangnya berdasarkan prinsip moral yang sehat, dan kemudian bertindak secara efektif demi perubahan yang lebih baik.
Kegiatan seperti Christian Leadership selama retret memperkuat nilai-nilai yang mendasari 4C+1L, mendorong para siswa untuk menjadi pemimpin yang tidak hanya kompeten, tetapi juga penuh kasih dan peduli pada sesama. Kepemimpinan bukan hanya tentang memimpin orang lain, tetapi juga tentang memimpin diri sendiri---sebuah konsep yang ditekankan melalui berbagai sesi reflektif dan diskusi selama retret. Para siswa diajarkan bahwa kepemimpinan sejati adalah tentang pelayanan, di mana mereka harus berani menempatkan kepentingan orang lain di atas diri mereka sendiri, sesuai dengan prinsip cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Sebagai Kanisan, hal ini tidak hanya didapat dari retret ,tetapi berbagai kegiatan seperti Compassion Week, dimana kanisian melayani dengan membersihkan sampah-sampah d sektor Menteng.Â
Perjalanan seorang Kanisian dalam menemukan jati dirinya bisa dianalogikan dengan kisah elang yang harus melalui proses transformasi yang menyakitkan demi mencapai kehidupan yang lebih panjang dan berkualitas. Ketika elang mencapai usia tertentu, ia harus memutuskan apakah ia akan menunggu kematian atau melalui proses transformasi yang menyakitkan, di mana ia mencabut paruh, cakar, dan bulu-bulunya yang sudah menua, menunggu yang baru tumbuh untuk melanjutkan hidupnya. Begitu pula dengan Kanisian yang mungkin awalnya tidak memiliki arah atau tujuan hidup yang jelas, mereka harus berani melalui proses transformasi mental, spiritual, dan emosional yang penuh tantangan, untuk menjadi pribadi yang lebih matang dan bertanggung jawab.
Retret di Panti Semedi bukan sekadar kegiatan rutin sekolah, melainkan sebuah momen refleksi mendalam yang memiliki dampak jangka panjang bagi perkembangan pribadi dan spiritual seorang Kanisian. Dari yang awalnya mungkin merasa tidak kompeten dan acuh terhadap masa depan, siswa belajar untuk menyadari pentingnya memilih jalan hidup dengan hati-hati. Nilai-nilai 4C+1L menjadi panduan dalam menjalani kehidupan yang bermakna dan berintegritas, sementara kegiatan-kegiatan yang ditawarkan selama retret memberikan sarana bagi siswa untuk menumbuhkan kepekaan sosial, komitmen, dan kemampuan kepemimpinan.
Dengan analogi seperti elang yang harus bertransformasi untuk hidup lebih lama, para siswa diingatkan bahwa proses perubahan, meskipun sulit, adalah bagian penting dari pertumbuhan diri. Di masa kini dan nanti, pembelajaran yang diperoleh selama retret ini akan terus menjadi landasan kuat dalam membentuk generasi pemimpin yang kompeten, penuh kasih, dan berintegritas tinggi. Oleh karena itu, carilah diri sejati - sejatinya sebagai manusia yang penuh potensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H