Mohon tunggu...
Bernard T. Wahyu Wiryanta
Bernard T. Wahyu Wiryanta Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Wildlife & Travel Photo Journalist

Wildlife & Travel Photo Journalist www.wildlifeindonesia.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Pendakian Gunung di Era "New Normal"

5 Juni 2020   10:00 Diperbarui: 5 Juni 2020   15:24 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana puncak Gunung Prau, Jawa Tengah di musim pendakian normal--Dokumentasi pribadi

SARS-CoV-2 nama resmi virus Corona yang menyebabkan Corona Viruses Disease (Covid-19) atau wabah virus Corona yang mulai merebak di akhir tahun 2019 membawa banyak perubahan di dunia. 

Beberapa negara yang sudah mulai pulih dari Covid-19 mulai menerapkan “new normal” yang mengubah tata kehidupan kita dalam bersosialisasi di semua segi kehidupan. Salah satu yang yang juga akan menerapkan “new normal” adalah dunia pendakian gunung.

Bernard T. Wahyu WiryantaWildlife Photo Journalist & Outdoor Activist

Sebelum ramai kegiatan luar ruang di era teknologi baru, setelah milenium (tahun 2000an), saya terbiasa mendaki gunung secara individu. 

Bukan “Solo Climbing”, karena di tengah perjalanan pasti bertemu dengan pendaki lain, walau tidak banyak. Tapi jumlah pendaki gunung yang saya temui masih bisa dihitung dengan jari tangan, tidak lebih dari semua jari di tangan dan kaki saya. 

Perlengkapan saya sederhana saja dan semua bisa masuk dalam ransel tempur milik TNI. Biasanya saya isi dengan pisau rimba, baju ganti satu setel, sarung, jacket, plastik bening lebar, makanan mateng, jeriken air, panci kecil dan korek api serta garam dan gula merah. Itu saja, simpel.

Setelah milenium yang dimulai sejak tahun 2000, lonjakan teknologi berkembang sangat pesat. Generasi saya beruntung masih mampu mengikuti perkembangan yang ada, tapi generasi orang tua dan kakek saya banyak yang kemudian gagap teknologi. Tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi yang ada. Zaman berubah. 

Dulu kami bersilaturahmi bisa setahun sekali dengan kartu pos, mengirim uang dengan wesel pos, membaca, dan mendengar berita di Jakarta atau luar negeri bisa delay beberapa hari atau beberapa minggu. 

Mengirim pesan penting yang harus segera disampaikan masih menggunakan telegram. Kode dengan kentongan yang dipukul dengan beberapa kode merupakan salah satu “broadcast message” di kampung waktu itu.

Namun zaman berubah, setelah tahun 2000 dunia tanpa gembar-gembor menerapkan “new normal”, kami bisa berbicara dan mengirim surat hanya hitungan detik dengan telepon genggam. 

Berita dari pelosok dunia bisa kita baca hanya dalam hitungan detik setelah kejadian. Semua sekarang bisa memberitakan apapun kemanapun dan kapan saja. Jarak dan waktu sudah tidak menjadi penghalang lagi. Begitu juga dengan kegiatan pendakian gunung.

Setelah tahun 2000 semua orang bisa mengakses semua informasi semua gunung di dunia. Teknologi pendakian gunung pun berkembang pesat. Saya sudah tidak lagi memakai ransel tempur, plastik lembaran dan sarung serta sandal “Swallow” lagi ketika mengunjungi hutan dan gunung. 

Saya harus membeli ransel besar minimal kapasitas 65 liter, membawa sleeping bag tebal, sepatu treking yang menutup mata kaki, gaiter, Trangia Cooking Set, bahan bakar, jacket anti badai, tenda dengan rangka alumunium, kompas, GPS, dan seabreg perlengkapan yang membatasi gerak di hutan dan gunung. 

Tapi ini semua terpaksa saya lakukan demi keselamatan. Perlengkapan baru pendakian gunung ini juga wajib dibawa buat para wisatawan gunung, para pengunjung gunung dadakan di era jejaring sosial yang belum mendapat pendidikan dan latihan dasar mountaineering. 

Para wisatawan gunung ini juga biasa memanfaatkan jasa travel agent yang mampu mengelola perjalanan mereka.

Awal-awal saya mengadopsi “new normal” dunia pendakian gunung ini tentu saja merasa risih dan aneh. Saya kadang naik Sindoro-Sumbing-Prau sekali jalan, hanya membawa tas kecil saja berisi makanan dan minuman, mungkin sama seperti ABG sekarang kalau mau main ke mal. Waktu itu saya sempat nyinyir, "gaya cuma naik Sindoro aja peralatan seperti itu," 

Tapi lama-lama, kerisihan dan keanehan membawa seabreg peralatan baru pendakian gunung ini jadi menjadi kebiasaan. Tidak ada masalah dengan “new normal” ini, karena normalnya mendaki gunung ya seperti ini. 

Bukankah dulu kita juga risih dan aneh ketika berkendara diwajibkan memakai safety belt dan helm. Dan sempat menyinyirin yang memakai? Tapi toh sekarang jadi kebiasaan juga.

Di akhir masa-masa Covid-19, setelah kepanikan dunia agak mereda, muncul beberapa wacana “new normal” di dunia, di semua sektor, tidak termasuk dunia pendakian gunung. 

Para pemangku kepentingan sedang merumuskan bagaimana “new normal” di kegiatan luar ruang. Namun dari beberapa diskusi dengan para pemandu gunung, pengelola pintu pendakian dan para petugas di kawasan Taman Nasional yang mengelola kawasan gunung, akan ada beberapa yang berubah di kegiatan pendakian gunung.

Salah satu wacananya adalah kegiatan wisata luar ruang perorangan akan segera diizinkan, termasuk pendakian gunung. Keputusan yang membuat bingung ini tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan di berbagai kalangan. 

Paling banyak pertanyaan tentu saja dari para pendaki gunung, mengingat salah satu aturan baku mendaki gunung adalah dilakukan minimal oleh 3 orang. 

Lalu bagaimana teknis perizinan termasuk mengurus SIMAKSI, mengingat SIMAKSI untuk mendaki gunung di kawasan konservasi pun mensyaratkan minimal 3 orang?

Tentu saja, kita masih bisa melakukan pendakian gunung secara berombongan, termasuk mengurus perizinan dan SIMAKSI. Hanya polanya yang akan berubah. Perkiraan pola pendakian di “new normal” adalah berangkat bersama, mengurus izin bersama, hanya saja selama perjalanan tetap melakukan social distancing

Masing-masing pendaki juga harus membawa peralatan pendakian perorangan dari tenda, sleeping bag, peralatan makan dan minum, termasuk peralatan memasak, juga perlengkapan lain secara individu. Ini tentu saja mengadopsi dari protokol Covid-19.

Pendakian di era “new normal” tenda dan alat masak adalah perlengkapan individu. Untuk tenda perorangan ini saya tidak masalah, karena saya memang terbiasa menempati tenda saya sendirian bersama dengan semua perlengkapan fotografi saya. Porter dan tim saya yang lain biasanya berada di tenda lain. 

Jika kita disiplin menerapkan social distancing, menjaga jarak, memakai perlengkapan pribadi/perorangan, menempati tenda sendiri, maka bukannya tidak diperlukan lagi masker dan hand sanitizer di gunung? 

Dan untuk ukuran mendaki Gunung Gede misalnya, juga tidak perlu memasak makanan, cukup membawa makanan matang dari bawah, tinggal merebus air saja untuk minum kopi, susu, teh atau kopi dan menghangatkan makanan.

Hal ini tentu saja juga akan berlaku di pengelola pendakian gunung, pembatasan pengunjung harus diterapkan. Daya dukung gunung terhadap pendaki harus dihitung ulang, berapa kapasitas tenda di tiap pos atau camping ground, berapa luas puncak, berapa kuota harian pendukung dan sebagainya, ini harus dihitung ulang dan ditetapkan kuotanya dan harus segera diterapkan.

Menyikapi “new normal” di dunia pendakian gunung ini, maka ke depan sistem yang paling pas diterapkan adalah Ultralight Hiking

Ultralight Hiking atau trekking adalah suatu cara atau teknik melakukan perjalanan ke alam bebas dengan membawa peralatan dan perbekalan yang ringan dan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip keamanan dan kenyamanan kita selama berada di alam bebas. 

Melihat beban ransel pendakian normal sebelum Covid-19 dan membawa perlengkapan individu, maka Ultralight Hiking tidak akan jauh berbeda, bahkan akan lebih ringan. 

Hanya saja harga gear Ultralight Hiking biasanya lebih tinggi dibanding peralatan pendakian konvensional. Tapi dengan membawa semua perlengkapan individual lengkap dalam satu ransel ini, secara teknis justru menguntungkan dan meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan.

Selain mengadopsi Ultralight Hiking saya juga sudah lama mengadopsi membawa perlengkapan Tentara atau Polisi, terutama ransumnya. 

MTP punya Polri ini sangat efektif, selain kandungan kalori dan gizinya, salah satu alasannya adalah praktis memasaknya, sudah ada KLP, BBP, alat makan, dan tidak perlu memasak bebarengan, cukup untuk makan sendiri dan kenyang sampai seharian. 

Varian rasanya juga beragam. Ini tentu cocok untuk pendakian gunung di era "new normal" tinggal menunggu kalangan industri saja, mau bergerak untuk melayani konsumen umum diluar militer atau tidak?

“New normal” pendakian gunung ini seharusnya juga disikapi oleh dunia usaha di sektor kegiatan luar ruang seperti Consina, Avtech, Eiger, dan Cosmeed sebagai peluang baru untuk menciptakan gear baru yang bisa dipakai pendaki secara individu. 

Syaratnya awet, ringan, ringkas, dan terjangkau harganya. Selain sebagai sebuah peluang usaha, menciptakan alat pendakian perorangan ini juga sebagai sebuah dukungan untuk para konsumennya dalam menghadapi “new normal” pendakian gunung.

Yang menjadi pertanyaan mendasar justru ke para pengelola gunung. Baik pemerintah seperti Balai Taman Nasional maupun para warga masyarakat yang mengelola base camp pendakian. 

Apakah mereka sudah siap? Maukah mereka mengurangi kuota pendakian? Mengingat dengan penerapan tenda individual maka tentu space untuk mendirikan tenda akan berkurang. 

Lalu bagaimana jika terjadi accident di gunung, siapa yang mau dan berhak menolong atau mengevakuasi? Bagaimana jika yang harus di rescue di gunung menunjukkan gejala terpapar SARS-CoV-2? Apakah perlengkapan seperti APD untuk tim SAR sudah siap?

Selamat Datang di di era baru dunia pendakian gunung.

Selamat bertemu kembali di hutan dan gunung dalam perubahan.

Salam Wildlife.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun