Menyikapi harga cabai yang meroket, dalam salah satu sesi pada saat Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuwabang dan Indag di Binagraha tahun 1996, Presiden Soeharto memakan gorengan dan memakan cabai yang dipetik dari pohonnya dari sebuah pot kecil yang ditaruh di meja.
Demam bertanam cabai secara nasional di Indonesia terjadi sejak krisis moneter pada tahun 1997. Pada tahun 1998 orang mulai ramai-ramai menanam cabai yang pada waktu itu sempat dijuluki Si Emas Merah karena harganya yang sempat mencapai Rp 25.000,- sampai Rp 100.000,- per Kg. Pada tahun 1996 masalah cabai bahkan sampai pernah dibahas dalam Sidang Kabinet Terbatas bidang Ekuwasbang dan Indag di Binagraha karena harganya yang tinggi. Pada saat itu, sekadar memberi contoh, Presiden Soeharto dalam sidang kabinet tersebut kemudian memakan gorengan sambil memakan cabai rawit yang dipetik langsung dari pohonnya, di dalam pot kecil yang tersedia di meja. “Ulah” Pak Harto ini sebenarnya merupakan sebuah perintah, “Kalau cabai mahal, tanam sendiri di rumah!”
Selanjutnya, media kemudian ikut memprovokasi masyarakat dan masyarakat dengan kreatif memanfaatkan lahan di sekitar rumah untuk menanam cabai. Ada yang menanam di tanah halamannya, di pot plastik, kantong kresek, drum bekas, dll. Harga cabai kemudian stabil.
Beberapa kali menjadi petani cabai, saya semakin paham fluktuasi harga pasaran cabai. Harga cabai ini tetap saja mengikuti hukum pasar. Jika permintaan banyak dan barang sedikit maka harga akan tinggi, dan sebaliknya jika suplai banyak dan permintaan lebih rendah maka harga akan turun. Ini tidak bisa ditawar, bahkan sekelas Presiden pun tidak bisa “lancang” ikut campur menentukan harga pasaran cabai.
Sebagai patokan pribadi saya sudah punya hitung-hitungan. Tanaman semusim yang buahnya mengandung capsaicin ini akan bisa dipanen pada umur 3 bulan setelah semai. Nah, harga cabai akan tinggi bisa diprediksi, misalnya pada saat puasa dan lebaran, juga menjelang Natal dan Tahun Baru. Plus pada saat Lebaran Haji dan bulan setelahnya, karena banyak orang hajatan. Selain itu, harga akan semakin “pedas” ketika musim hujan tiba. Apa sebab? Pada saat musim hujan biasanya para petani cabai akan banyak yang mengalami gagal panen.
Bulan-bulan di mana curah hujan tinggi, seperti pada saat musim hujan, merupakan malapetaka bagi para petani cabai. Pada musim hujan ini, penyakit yang menyerang tanaman cabai akan melimpah ruah. Sebut saja serangan cendawan dan bakteri. Ini akan diperparah jika sistem penanamannya masih cara konvensional alias belum menerapkan sistem pertanian secara intensif.
Saat ini biaya untuk bertanam cabai merah dalam satu hektar yang meliputi biaya land clearing, pengolahan lahan, pupuk, benih, pestisida, pupuk, dan sarana produksi pertaian serta tenaga kerja bisa mecapai Rp 35-40 juta. Populasi tanaman cabai per ha sekitar 10.000 tanaman. Rata-rata produksi tanaman cabai hibrida yang ditanam secara intensif adalah 1 Kg per pohon dikurangi kematian 20% jika tidak terkena hama dan penyakit maka akan ada hasil 10.000 kg – 20% = 8.000 kg.
Jika biaya produksi per ha Rp 40 juta dibagi hasil per ha 8.000 maka biaya produksi per Kg adalah Rp 5.000 per Kg. Ini secara teori di atas kertas dan hasil iklan di kemasan benih cabai. Praktiknya petani biasanya hanya menghasilkan rata-rata 5 ton per ha jika musim bagus seperti musim kemarau. Celakanya, pada saat musim kemarau, panen berlimpah dan harga akan anjlok.
Jadi di musim hujan seperti bulan ini, para petani cabai biasanya akan terkena musibah. Mereka bisa mengalami gagal panen sampai 100%. Jika berhasil, atau masih ada sisa yang tidak terkena penyakit, baru mereka mendapat harga bagus. Jika harga di konsumen Rp 200.000 per kg, petani bisa mendapat harga di kebun Rp 100.000 per Kg. Di musim hujan, ketika terserang penyakit, saya pernah mendapat hasil panen cabai hanya 500 Kg, dan ini sebuah prestasi. Taruhlan harga cabai tinggi, saya mendapat harga Rp 80.000 per Kg, saya hanya mendapat uang Rp 40 juta. Dan harga Rp 80.000 ini tidak setiap hari, dan berlaku hanya untuk cabai kualitas bagus.
Lalu ketika harga cabai Rp 200.000 per Kg, dan petani hanya menerima Rp 100.000 selisihnya ini, yang Rp 100.000 biasanya akan ditimpakan kepada oknum tengkulak. Merekalah yang akan dituduh menaikkan harga dan mengambil keuntungan besar. Fakta di lapangan, cabai dari kebun petani ini oleh tengkulak akan disortir. Cabai yang terkena penyakit ini, walaupun sudah dipanen tetap akan menular, akan semakin busuk, dan ketika dalam proses pengiriman pun bobotnya akan berkurang. Selisih inilah yang kemudian menjadikan cabai mahal karena menutup berkurangnya bobot dan cabai yang terbuang. Di musim hujan, akibat serangan penyakit dan penyusutan selama perjalanan ini bisa mencapai 25%.
Di titik seperti ini, ketika harga cabai melonjak, di musim hujan dan menjelang lebaran. Hanya ada dua kemungkinan buat para petani. Buat petani yang tanamannya rusak, mereka akan rugi. Buat petani yang panennya bagus, mereka akan kaya raya. Pada saat lebaran di musim kemarau, saya pernah memanen cabai sampai 8 ton per ha dan mendapat harga rata-rata Rp 60.000, jadi keringat saya terbayar.
Harga cabai mahal ini, di saat musim hujan berada di puncaknya, tidak ada yang bisa dengan “lancang” campur tangan. Ini hukum pasar! Petani pun berhak menikmati kerja kerasnya. Operasi pasar pun yang sempat diwacanakan pemerintah tidak bisa membantu. Operasi pasar, cabainya dari mana, ketika di mana-mana suplai cabai terbatas karena petani gagal panen?
Sekarang, ketika saya sudah tidak menanam cabai dan mendapati harga cabai sangat pedas, diatas Rp 100.000 saya tersenyum dan membayangkan para petani cabai berbahagia. Anak-anak mereka akan kuliah, cicilan motor dan mobil lunas, hutang pupuk di rentenir terbayar. Saya sebagai pemakan cabai, menanam beberapa pohon di pot bekas di halaman rumah. Dan saya menikmati tahu goreng yang panas dengan memetik “cabai jablay” yang pedas dari pot kecil yang saya taruh di meja, seperti Pak Harto ketika Sidang Kabinet Terbatas bidang Ekuwasbang dan Indag di Binagraha tahun 1996.
Bernard T. Wahyu Wiryanta
Pengamat Agribisnis, Anggota Dewan Pengurus Forum Kerjasama Agribisnis (FKA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H