Mohon tunggu...
Yohanes Maget
Yohanes Maget Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

aku pencari yang tak pernah berhenti mencari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mati di Kloset

30 Desember 2013   19:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:20 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lagu sendu tentang kematian terdengar mengalun perlahan dalam kegelapan. Tak satu pun yang tahu siapa yang berada di balik kegelapan yang sedang menyenandungkan lagu itu. Lagu tentang kematian...ya, lagu tentang kematian bukan lagu tentang terlahirnya sebuah kehidupan. Kehidupan tak pernah hadir dalam kepastian, tak pernah hadir sendirian tanpa ditemani tanya. Tetapi kematian...kematian datang sebagai kepastian, datang seperti sebuah kalimat berita yang digoreskan seorang wartawan. Tak pernah kematian datang ragu-ragu. Suara sang penyanyi semakin sendu, semakin pilu, semakin menyayat hati, lebih mirip sebuah jeritan kesakitan. Ini...ini nyaris seperti...akh suara sendu pelantun lagu kematian makin keras tanpa tegas. Ya, tak ada tegas di sana . Tak ada pekik tapi ini teriak menyanyi. Lagu sendu kematian lalu terdiam serentak, tak ada bunyi lain di sana . Hening dalam sepi.

* * *

Chandra terlahir sebagai bulan yang muncul di tengah kegelapan. Saat ia lahir langit sedang gelap. Tak ada sepenggal pun bulan yang menampakkan rupanya. Jadilah ia tercipta dengan nama Chandra, seperti nama yang dimilikinya saat ini, tentu sampai ia kembali ke dunia yang merindukannya. Ia amat manis, menawan, cantik, tapi wajahnya tidak bopeng seperti permukaan bulan (ia sering tertawa kalau membayangkan hal ini...hahaha...). Ia terlahir sebagai Chandra, tujuhbelas tahun yang lalu [sekali lagi!] ketika di langit tak ada bulan dan ketika bintang-bintang tak satupun yang menghiasi kepekatan sang malam.

Chandra memang selalu ceria. Tak pernah sedih, mungkin selamanya dia tak akan sedih. Ia seolah tercipta sebagai sosok yang akan selalu tertawa, sosok yang akan selalu tersenyum dan sosok yang akan selalu riang, nyaris tak ada sendu di wajahnya. Banyak orang heran memandang pembawaannya itu. Mungkin juga orang-orang itu iri terhadapnya. Tapi, ia seolah tak pernah menghiraukan orang-orang itu. Ia tak mau peduli pada orang-orang itu. Di sekolahnya pun ia tak mau peduli pada temamn-temannya yang memandang heran pada kepribadiannya. Sayang, ia tak pernah bisa menyangkal kalaau ia...hatinya amat pilu, sedih. Ia tak punya ayah.

“Bu...Ibu...Ayah mana?” tanyanya suatu ketika kepada ibunya. Ibunya terdiam. Ia memandangi anak gadisnya yang pasti ingin tahu sperma siapa yang membuahi ovumnya sehingga lahirlah manusia yang kini duduk di hadapannya. Ya, anak gadisnya sendiri.

“Ibu...Ibu kok diam? Ayah mana?” tanyanya sekali lagi. Hanya diam. Tak ada suara.

“Mengapa Ibu diam kalau saya bertanya tentang ini? Sudah berkali-kali saya bertanya tetapi Ibu tak pernah cerita!”

Masih hening. Masih tak ada suara dari sang Ibu. Hanya pandangan sendu.

“Bu...,” ia mengguncang tubuh ibunya. Menyadarkan sang ibu yang mungkin sudah terbang ke alam khayal.

“Ah...anakku,” suara sang ibu lebih nampak sebagai desah,”panjang sekali cerita tentang ayahmu. Ibu tak...”

“Saya sudah tujuhbelas tahun, Bu. Saya bukan anak kecil lagi. Saya juga perlu tahu tentang kisah Ibu karena Ibu...Ibu yang tahu dari mana saya berasal.”

“Tapi, Nak...”

“Ibu...Ibu tahu kan perasaan seorang wanita. Ibu pasti tahu bagaimana perasaan saya, hidup tujuhbelas tahun hanya menyapa Ibu. Saya belum pernah melihat bahkan menyapa seseorang yang harus saya sapa ayah. Ibu egois...,” lalu Chandra menangis. Sang ibu menghindari gadisnya bertanya lagi, menyingkir ke kamar lalu menangis.

* * *

Chandra terlahir tanpa ayah. Ia tak pernah tahu siapa ayahnya. Ia tak pernah tahu siapa suami ibunya. Terkadang ia menduga-duga. Mungkinkah ibunya bekas perlacur? Ia selalu berharap pikirannya yang satu ini cuma kebohongan dan jauh dari nilai kebenaran. Apakah ayahnya sudah almarhum? Ia tak pernah melihat ibunya pergi dari rumah, mungkin untuk menngunjungi makam suaminya. Sungguh amat menyedihkan. Ia tak pernah tahu yang pasti tentang ayahnya, tak pernah tahu yang sungguh tentang sosok ayah. Ia bahkan sulit menebak atau menduga-duga karena di dalam semua surat-surat penting menyangkutnya termasuk buku laporan pendidikannya pada kolom nama ayah tak terisi apa-apa kecuali sebuah garis datar. Apa memang ia tak punya ayah? Seorang wanita tak bisa punya anak kalau sel telurnya tak dibuahi oleh sel sperma seorang pria (begitu yang dipelajarinya di sekolah). Mestinya ada lelaki yang harus ia sapa ayah.

Sudah berulangkali ia memendam niat ingin tahunya hanya karena rasa sayangnya pada ibunya. Ia tak ingin ibunya sedih. Chandra memendam keingintahuannya dengan selalu menampakkan wajah ceria. Ya, wajah cantiknya yang ceria membuat banyak teman prianya yang jatuh hati, ingin menjadi kekasihnya. Bahkan lebih lagi, banyak teman prianya yang ingin memiliki tubuhnya. Akh...mereka ingin menggauli tubuh Chandra. Suatu waktu Chandra pernah diajak seorang teman prianya ke sebuah pantai...

“Julio...kita pulang yuk!” ajak Chandra pada temannya karena hari sudah teramat sore.

“Tunggu, Chan. Kita nikmati dulu senja ini...,” sahut Julio sambil mengedipkan mata.

“Tapi, Jul...Aku harus membantu ibuku. Ia sendirian di rumah dan...”

“Ah...persetan dengan wanita itu!” kata-kata Julio membuat Chandra serentak bangun tetapi tangannya berhasil diraih Julio. Chandra terduduk dan Julio langsung meraihnya sehingga mereka menjadi sangat dekat. Chandra berusaha memberontak.

“Sekarang kau adalah milikku, manis. Aku ingin kamu bertelanjang dan kita bergulat di sini...ha...ha...ha...” suara Julio kembali terdengar sembari membelai-belai bahu Cahndra dan mulai menarik baju Chandra. Chandra memberontak dalam sunyi, hampir menangis.

“Lepaskan aku, anjing!” satu hentakan keras menghantam milik Julio yang paling berharga. Ia meringis kesakitan, sedang Chandra meninggalkannya dalam lari.

“Wanita jahanam, akan kubuat kau tahu bahwa aku jantan dan tak kalah olehmu!” Julio berteriak dalam kesakitan.

Chandra hampir mirip bidadari. Cantiknya, anggunnya, menawannya. Semuanya betul seperti milik seorang bidadari. Julio selalu mencari-cari kesempatan untuk dapat melampiaskan dendamnya tapi ia tak punya kesempatan itu. Chandra yang selalu ceria itu pasti menghindar ketika berjumpa Julio. Chandra tak ingin dirinya dan milik paling berharga darinya diambil oleh makhluk tak bertanggung jawab seperti Julio. Ia ingin jadi bulan yang menerangi perjalanan hidup manusia sehingga ia harus selalu ceria supaya cahayanya tak redup. Kalau miliknya itu diambil orang tak bertanggungjawab, pastilah ia merasakan duka, duka yang membuat cahayanya redup.

Chandra amat membenci Julio. Apakah ayahnya yang membuat ia tercipta juga seperti Julio yang hanya membutuhkan tempat memuaskan diri? Akh...mudah-mudahan itu cuma pikirannya. Kalau memang ayahnya seperti Julio, ia akan menekan rasa ingin tahunya bahkan lebih baik ia tak mengenal ayahnya. Tapi, siapakah orang yang harus ia sapa ayah? Tanya terus bergelayut. Mungkin sampai ia pulang pada Yang Mahaada ia tak tahu jawabnya.

* * *

Chandra tergesa menyusuri lorong sempit di belakang sekolah. Ia baru saja bertemu pandang dengan Julio. Julio mengejarnya. Ia menghindar karena ia takut. Ia tahu pasti Julio punya niat jahat. Tatapan Julio tadi betul-betul tatapan ganas. Chandra terus menoleh ke belakang dan…ia menabrak seseorang. Julio. Chandra berbalik arah tapi dari arah yang lain muncul seorang teman Julio yang tak dikenalnya.

“Julio, apa maumu?” Chandra bertanya dengan suara kasar. Ia menatap tajam ke arah Julio.

“Kamu pasti tahu apa mauku!” jawab Julio pendek.

“Julio aku…aku…,” ujaran Chandra disambut tawa mengerikan Julio.

“Akan kubuat kau jadi pelacur. Chandra sebaiknya kamu menurut saja. Kami akan membawamu ke hotel mewah dan di sana kita bisa bersenang-senang. Kamu mau kan ?”

“ Julio, anjing kau! Kau kira…” kata-kata Chandra terpotong karena satu tamparan keras menghantamnya. Lalu teman Julio memeluk Chandra dari belakang dan membekap mulutnya. Chandra memberontak tetapi ia tak sanggup karena ia sudah diangkat dan dibawa menuju ke kelas. Sekolah sudah sepi. Kebinatangan Julio dan temannya tak terukur. Mereka menelanjangi Chandra lalu mulai…ya, mereka bergantian sampai berkali-kali. Mengerikan sekali.

Chandra lelah. Amat lelah. Ia tak sanggup lagi menangis. Ia tak lagi bisa bersuara. Ia ingin mati saja. Inikah kaum yang tercipta untuk melindungi sang bulan? Chandra betul ingin mati.

“ Seret dia ke kamar mandi!” Julio bersuara sambil merapikan pakaiannya. Tanpa beban.

“Tapi…”

“Ah…kamu ini!” Julio langsung menyeret Chandra, seperti menyeret seekor binatang yang sudah tak bernyawa. Chandra tak bisa bersuara…tak bisa berteriak. Ia lesu, tak ingin hidup lagi. Julio terus menyeret tubuh telanjang itu tanpa belaskasih. Ia menyeret tubuh itu sampai masuk ke dalam salah satu kamar kecil. Ia mendudukkan tubuh Chandra yang hampir tanpa tanda kehidupan itu di atas kloset. Julio hendak keluar ruangan itu tapi…Julio kembali dirasuki nafsu setan. Ia kembali melakukan tindakan tak senonohnya. Chandra tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya terdiam, ia menangis dalam hatinya. Julio memang tak punya perasaan manusia. Julio belum berhenti sampai…

“Julio, cukup! Kita pulang saja. Sudah terlalu sore,” ajak temannya.

“Oh…ya, ya,” Julio segera merapikan kembali celananya,” wanita ini harus mampus!”

Julio langsung membenturkan kepala Chandra ke lantai dan…Chandra pun tergeletak dalam diam di atas kloset. Julio berlalu. Chandra sudah tak bernyawa. Jiwanya sudah pamit. Hari semakin sore dan ruangan itu sudah tak tertimpa cahaya matahari. Chandra sang bulan telah pergi, jauh ke alam yang tak terjangkau. Di luar, bulan tak sedikitpun menampakkan wajahnya. Chandra bukan meninggal tapi mati di atas kloset, mirip seekor binatang.

* * *

Keesokan pagi warga sekolah itu termasuk warga seluruh kota terkejut dengan berita tewasnya seorang pelajar di atas kloset. Matinya amat mengenaskan, amat menyedihkan. Ibunya memandang pilu ketika polisi mengangkat tubuh tak bernyawa seorang gadis yang adalah anaknya, puterinya. Ibunya menghampiri jenazah Chandra yang terbungkus kain putih. Raga tak bernyawa itu akan diangkut dengan ambulance menuju rumah sakit.

Sang ibu membuka kain yang menutup wajah Chandra. Wajah itu sudah hilang cerianya. Tak ada senyum di sana . Matanya tak lagi memandang penuh kasih pada sang ibu. Sang ibu hanya terdiam. Menangis dalam hening. Ia ingin memeluk tapi ia takut jika Chandra tak ingin dipeluk.

“Maafkan Ibu, Nak,” bisiknya dalam hati,” Ibu memang manusia yang bersalah. Ibu berdosa terhadapmu. Ibu tak mengasihimu, itu katamu. Tapi…tapi, Ibu cuma tak sanggup kamu mengetahui dari mana asalmu. Ibu sayang kamu, Chandra. Kamu memang bulan tapi kini sinarmu telah redup. Ibu yang membuat sinarmu hilang. Ya, sudah hilang.”

“Bu, jenazah anak Ibu harus dibawa ke rumah sakit,” seorang polisi menyadarkan sang Ibu dari alam khayalnya. Jenazah Chandra dimasukkan ke dalam ambulance. Sang ibu turut masuk ke dalam ambulance.

Di dalam ambulance sang ibu kembali membuka penutup wajah Chandra yang sudah terdiam, tak bersuara lagi. Sang ibu menangis, meratap…ia teringat 18 tahun lalu ia diperkosa seorang yang tak dikenal. Sampai hari ini pun pelakunya tak pernah tertangkap. Ia juga teringat ia diperkosa di atas kloset, lalu ia pun teringat 17 tahun lalu ia melahirkan Chandra dalam kegelapan malam, juga di dalam kamar kecil, dekat kloset. Akh…begitu pedih. Chandra pergi tanpa pernah tahu siapa dia. Ia mati di atas kloset.

Ambulance melaju di jalanan. Di ujung terdengar senandung sendu lagu kematian. Lagu kematian…ya, lagu tentang kematian bukan lagu tentang terlahirnya sebuah kehidupan. Kehidupan tak pernah hadir dalam kepastian, tak pernah hadir sendirian tanpa ditemani tanya. Chandra, sang bulan yang lahir di dekat kloset saat malam tanpa bintang dan tanpa bulan karena ibundanya diperkosa di atas kloset, sekarang mati mengenaskan di atas kloset. Lalu, masih adakah bulan yang mau bersinar malam ini?

Mataloko, 10 November 2007

Buat yang telah kehilangan bula

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun