Kalau ada teman - teman yang sedang bingung untuk membuat makalah mengenai Religi Orang Jawa, teman- teman bisa baca tulisan dibawah ini.
khususnya buat teman - teman yang mendapat tugas mata kuliah Antropologi Religi, bisa baca juga nih :D
tapi sumbernya juga diambil dari buku dan sumber internet yang lainnya . selamat membaca .
RELIGI ORANG JAWA
(Masa Akulturasi Budaya Jawa, Agami Jawi, Gerakan Mistik, Magic, Ilmu Kebatinan, Serta Memahami Konstruksi Sosial Tradisi Islam Lokal)
MASA AKULTURASI BUDAYA JAWA
(Suwardi Endraswara)
A.Paham Animisme Kejawen
Seluruh kepercayaan manusia Jawa berunsur pada animisme dari jaman prasejarah sampai sekarang, termasuk kepercayaan tentang mahluk halus, roh leluhur yang mendiami macam-macam tempat tertentu. Dalam sejarah pulau Jawa ada tiga jaman pokok mengenai agama yaitu :
üJaman prasejarah sampai abad 8, dimana jaman itu rakyat Jawa tinggal di dalam masyarakat kecil dan kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme termasuk kepercayaan manusia mengenaqi mahluk halus dan roh lelehur yang mendiami bermacam-macam tempat.
üJaman kerajaan Hindu-Budha. Pertama dengan kerajaan Mataram dari abad 8 sampai abad 10 yang terletak di Jawa Tengah, kerajaan Majapahit dari abad 13 sampai abad 16 yang terletak di Jawa Timur. Pada jaman tersebut masyarakatnya beragama Hindu serta Budha.
üJaman Islam setelah abad 16 waktu kerajaan Majapahit turun. Kerajaan Islam yang dibentuk masih menyimpan banyak tradisi dari kerajaan Hindu-Budha tetapi memakai agama Islam.
Karena ketiga jaman agama tersebut, agama Jawa saat ini berlapiskan tiga, yaitu kepercayaan animisme, agama Hindu-Budha, dan agama Islam.
Walaupun mayoritas orang Jawa beragama Islam, agama Islam yang dilakukan di Jawa punya perbedaan dari agama Islam yang di lakukan di daerah Timur Tengah. Agama Islam di Jawa dicampuri dengan kepercayaan manusia lain asli Jawa, yaitu kepercayaan animisme dam kepercayaan dari kerajaan Hindu-Budha.
Asalnya kepercayaan animisme adalah dari jaman prasejarah dan bagian kepercayaan itu masih hidup sampai sekarang. Penganut animisme adalah orang-orang yang percaya bahwa tempat-tempat atau objek-objek punya kepercayaan tersendiri, mislanya orang yang percaya dengan mahluk halus, roh leluhur dan hantu yang mendiami macam-macam tempat.
B.Hindu-Budha Ke Jawa
Pengaruh Hindu Budha yang paling mengakar dalam kehidupan orang Jawa terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur cukup kental, karena Hindu-Budha memberikan tat tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Artinya, Hinduisme memberikan dan mengangkat budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan kerajaan-kerajaan besar dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli dan telah mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya.
Asalnya agama Hindu dan agama Budha adalah dari India dan agama tersebut datang ke pulau Jawa sebelum abad ke 8. Agama Hindu-Budha menguasai pulau Jawa selama delapan abad dan agama itu memang pengaruhi kepercayaan manusia Jawa terhadap gunung. Tempat bergunung-gunung sepanjang sejarah agama ini dipakai sebgai tempat smemedi. Simbolisme agama Hindu dalam kepercayaan manusia Jawa memang kuat sekali.
Kosmologi agama Hindu termasuk lima dewnya menurut mata angin dan Siwa sebagai tengah. Dari dewa Siwa ditengah, ada Iswara ke timur, Brama ke selatan, Mahadewa ke barat dan Wisnu ke utara. Selanjutnya karena dunia manusia berhubungan dengan dunia alam dan ghaib, pada waktu kerajaan Hindu-Budha kalau ada bencana seperti letusan gunung berapi, banjir dan sebgainya, bencana tersebut akan mengkurangkan kekuatan rajanya.
Sebenarnya Hindu-Budha tidak mematikan budaya Jawa asli akan tetapi sebaliknya justru memupuk dan menyuburkannya. Tidak hanya itu, Hinduisme meningkatkan filsafat hidup dan wawasan tentang alam raya beserta teori-teori kenegaraan yang dipengaruhi oleh raja-raja yang keramat sebagai wakil para dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang diberkati para dewa. Oleh karena itu Hinduisme kemudian mengakar dalam dan menjadi penyangga kebudayaan priyayi kejawen yang menjulang di lingkungan istana kerajaan-kerajaan.
Paham ini telah membentuk tradisi besar, sedangkan masyarakat petani pedesaan yang hanya selapis tipis tersentuh Hinduisme tetap buta huruf dqan mewujudkan tradisi kecil dlam budaya Jawa. Namun budaya animisme dan dinamisme tetap bertahan serta ikut menjiwai pula dalam pola kebudayaan priyayi di lingkungan tradisi besar. Kemudian kedatangan agama Islam yang mulai menyebar di Indonesia sejak abad ke-13 M, ternyata juga tidak mengganggu budaya asli animisme dan dinamisme di Jawqa, karena budaya asli ini mempunyai watak yang elastis yang dapat menyusup dalam kehidupan Islam pesantren.
C.Pengaruh Hindu Jawa
Coedes (Koentjaraningrat (1994 : 38-40)) menjelaskqan bahwa bukti-bukti tertua mengenai adanya negara-negara Hindu Jawa berupa prasasti-prasasti dari batu yang ditemukan di pantai utara Jawa Barat kurang lebih 60 kilometer sebelah timur kota Jakarta di lembah sungai Cisedane. Walaupun tidak ada tanggal pada prasasti itu, tetapi dilihat dari bentuk dan gaya huruf India Selatan dari tulisannya dapat diketahui bahwa prasasti itu merupakan suatu diskripsi mengenai beberapa upacara yang dilakukan oleh seorang raja untuk merayakan peresmian bangunan irigrasi dan bangunan keagamaan dalam abad ke-11 M.
Kebudayaan Hindu mengkin telah mendominasi hampir seluruh Asia Selatan dan Asia Tenggara pada waktunya, tetapi pengaruhnya yang terbesar adalah terhadap masyarakat istana, sedangkan konsep-konsep Hindu hanya sedekit mempengaruhi masyarakat petani di daerah pedesaan yang cara hidupnya barangkali tidak banyak berubah sejak abad-abad yang lalu.
Dapat dibedakan dua tipe umum kerajaan Hindu-Indonesia, yaitu :
üKerajaan-kerajaan pantai yang didasarkan atas perdagangan yang berkembang sekeliling suatu kota pelabuhan.
üKerajaan-kerajaan yang terletak di daerah pedalaman, dilembah-lembah dan daratan tinggi yang sangat subur diantara sungai-sungai dan komplek-komplek gunung berapi di Jawa.
Dalam kerajaan-kerajaan agraris di Jawa maupun di banyak kerajaan di Asia Tenggara, berkembang konsep khusus mengenai sifat raja. Dasarnya adalah kesadaran orang-orang akan hubungan yang dekat antara susunan alam semesta dengan kerajaan manusia. Pandangan mengenai susunan alam semesta pada orang Jawa jaman dahulu itu diambil alih dari agama Hindu, yang menganggap bahwa alam semesta merupakan benua berbentuk lingkaran yang dikelilingi oleh beberapa samudera dengan pulau-pulau besar di empat penjuru, yang merupakan tempat tinggal keempat penjaganya yang keramat.
Walaupun pandangan kita banyak tentang cara hidup, pandangan hidup, dan agama raja-raja, para bangsawan, dan para pemuka agama dalam masyarakat Jawa zaman dahulu yang dapat kita pelajari dari piagam-piagam kerajaan, kesusasteraan Jawa kuno dan sisa-sisa candi-candi kuno serta monumen-monumen keagamaan, kita samasekali tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan para petani di daerah pedesaan jaman itu.
D.Islam Kejawen
1.Paham Ngerti Sadurunge Winarah
Shihab memaparkan bahwa penyebaran Islam di negeri ini dilakukan antara lain oleh kaum ulama pesantren. Mereka ini menggunakan tasawuf Suni sebagai pegangan dalam penyebaran agama Islam, semenjak beberapa abad yang lalu. Dengan tasawuf tersebut, mereka melawan pandangan kaum kebatinan, yang dalam budaya Jawa dikena dengan nama Kejawen. Sebagai bukti sejarah atas penentangan mereka itu, disebutkan Syekh Siti Jenar (Tanah Merah atau Lemah Abang) sebagai orang yang menyimpang dari tasawuf Suni di atas, dan karena itu dihukum mati oleh para Wali Sanga (Wali Sembilan). Mereka yang mengikuti pandangan itu, pada akhirnya mengembangkan paham kebatinan/kejawen di negeri ini.
Hukuman mati yang dijatuhkan Wali Sanga atas Syekh Siti Jenar, bukqanlah karena beliau berpaham Wihdatul Wujud. Beliau mengajarkan paham itu kepada orang banyak. “Dosa” Syekh Siti Jenar bukan terletak pada penerimaan beliau pada Wihdatul Wujud, melainkan dalam “sikap gegabah beliau dalam mengajarkan paham tersebut di kalangan orang kebanyakan”. Karena itulah, kaum penganjur tarekat (dikenal sebagai kaum tasawuf, kaum sufi) selalu mementingkan menjalankan syariat sebelum bertasawuf.
Pandangan semacam itu dikenal di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan kaum tradisionalis lain dengan ungkapan Man Yatakhaqq’ Walam Yatasyarra’ Fahuwa Zindiqum (orang yang berpandangan hakikat dan tidak menjalankan syariat adalah orang sesat), kesimpulan dari pandangan ini ialah anggapan para ulama tradisonalis kita yang tidak menolak Wihdatul Wujud –nya Ibnu Arabi, melainkan melarang penyebarannya di kalangan mereka yang masih awam. Mereka menolak Pantheisme atau Wihdatul Wujud tersebut dikalangan orang awam, tetapi bagi kepentingan diri mereka sendiri, mereka juga menjalankan paham tersebut secara tertutup.
Jadi dengan demikian antar kaum syara’ dan kaum kebatinan (kejawen) memang berbeda tetapi tidak bertentangan atau dengan kata lain tidak ada pertentangan prinsipial antara kaum Wihdatul Wujud (kebatinan/kejawen) dan kaum syariat yang menggunakan referensi fikih.
2.Tradisi dan Bid’ah
Sebetulnya membicarakan bid’ah sendiri tidak mungkin terlepas dari perjalanan panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam di negeri ini. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu :
üMetode dakwah
üLatarbelakang budaya
üSistem-sistem simbol
Dari hal tersebut jelas bahwa Islam di negeri ini cenderung berwajah kultural.
Metode dakwah Islam berbeda dengan agama lain. Islam masuk ke Indonesia dengan begitu elastik. Baik yang berhubungan dnegan pengenalan simbol-simbol Islam atau ritus-ritus keagamaan. Dapat dilihat bahwa masjid pertama yang dibangun menyerupai arsitektur lokal warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/ corak budaya lokal. Tidak seperti, miswalnya Budha yang masuk membawa ‘stupa’ atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengan (Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Para pendakwa dulu memang lebih lues dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Wali Sanga dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya masyarakat diberi “bingkisan” ynag dibungkus budaya Jawa isinya Islam. Contohnya, Sunan Kalijaga banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya ilir-ilir, tandure wis semilir. Pertimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai.
Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latarbelakang Jawa itu sendiri. Untuk mengetahui latarbelakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo (Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi) sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut : pertama, apa struktur dari budaya, kedua atas dasar apa struktur itu dibangun, ketiga bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua menjelaskan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme-pandangan Marx diantaranya-melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh keadaan ekonomi, yakni modus produksi.berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subjektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah relaitas pelakunya, bukn pengamat. Hubungan kausal-fungsional dalam ilmu empiris-positif digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik).
Dengan demikian, mengikuti premis Weber tersebut, dari simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama. Hanya saja yang perlu dikoreksi adalah simbol-simbol tadi pada dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut logika berfikir, kata benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan untuk kemungkinan disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan menggiring kita untuk kemudian memitoskan sesuatu.
Dahulu orang menciptakan simbol agar perasaan kita tajam, namun karena pengaruh Barat kita menangkap semua itu dengan visi dan paradigma positivisme. Dari pembicaraan simbol-simbol (untuk pengungkapan nilai) Islam diatas yang berpotensi memunculkan bid’ah, maka kemudian timbul pertanyaan apakah tidak mungkin kalau keadaan tersebut justru mengakibatkan budaya yang tidak Islami? Kalau konsepsi tentang budaya di awal mengacu pada perpsektif ‘kata benda’ maka akan menjawab Islam atau tidak kiranya akan lebih mengena jika menggunakan pendekatan budaya sebagai ‘kata kerja’. Dalam pengertian yang terakhir ini budaya dipahami sebagai kreatifitas atau rekayasa.
Dalam konteks Islam, istilah tarekat mungkin akan dapat menggantikan konsepsi budaya sebagai kata kerja, yaitu ketika manusia menyambung-anyamkan antara kenyataan alam (sunatullah) dengan realitas sosial (syariat). Untuk menuju yang Islam, orientasi tarekat tadi mesti diarahkan oleh kesadaran wahidy: proses perjalanan kembali kepada-Nya. Sebab yang demikian tentunya yang akan diridhai. Itulah kreatifitas yang Islami. Sehingga segala tindakan manusia dalam menjawab tantangan yang diridhai Allah SWT akan mewujudkan budaya yang Islami pula.
BUDAYA JAWA ERA WALI SANGA
A.Apa dan Siapa Wali Sanga
Wali sanga berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran agama Islam. Mereka tinggal di pantai utara jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad ke-16 di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Era wali sanga adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya nusantara untuk digantikan dengan budaya Islam. Mereka adalah simbolan penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Jawa.
Wali sanga adalah para penyebar agama Islam di tanah jawa yang kemudian diteruskan murid-muridnya ke seluruh nusantara. Perjalanan para wali penuh dengan kisah unik, ajaib dan menakjubkan. Cara berdakwah, cara mengadakan pendekatan dengan masyarakat sangat diteladani. Sebagai orang-orang shaleh yang mujahid, mereka memiliki sandaran dakwah dari Rasulullah SAW. Terbukti mereka melakukan as-siyasatul hakimah(siasat yang bijak). Terhadap tokoh masyarakat yang keras dan gigih menentang dakwah islamiyah para wali menerapkan metode al-Mjadalah billati hiya ahsan. Mereka diperlakukan secara personal dan dihubungi secara istimewa, langsung bertemu pribadi dengan pribadi sambil diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan tentang Islam.
B.Perjuangan Budaya Jawa Wali Sanga
1.Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy (Asmarakandi) diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut Syeh Magribi atau Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri. Ibrahim dan Ishak adalah anak dari Maulana Jumadil Kubro. Ia menikah dengan putri raja dan mempunyai dua anak yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Tahun 1392 M Ibrahim hijrah ke pulau Jawa desa Sembalo daerah Leran. Aktivitas pertamanya yaitu berdagang dengan membuka warung yang harganya murah. Sebagai tabib, ia mengobati masyarakat dengan gratis. Kakek Bantal juga mengajarkan bercocok tanam, serta merangkul masyarakat bawah kasta yang disisihkan agama Hindu. Selesai membangun dan menata pondokan di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat, makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2.Sunan Ampel
Ia putra tertua Maulana Malik Ibrahim, yang mempunyai nama kecil Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 M. Tahun 1440 M, sebelum ke Jawa mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, ia melabuh ke daerah Gresik. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Anaknya antara lain Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ia membangun mengembangkan pondok pesantren di daerah yang di hadiahkan Raja Majapahit. Pada pertengahan abad 15, pesantern tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh, diantara para santrinya yaitu Sunan Giri dan Raden Patah. Sunan Ampel, Sunan Gresik dan Sunan Majagung adalah tiga serangkai. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Dia lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon).
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya. Sunan Ampel adalah salah satu waratsatul anbiya’ yang dipercaya oleh Alloh SWT. Beliau adalah sosok ulama teladan sekaligus waliyyunminauliyaillah, sosok sempurna mendekati Nabi. Ia juga cendekiawan sejati dan penuh perhitungan dalam melakukan dakwahnya. Kemudian Kanjeng Sunan berhasil mensejajarkan kaum Muslimin kala itu dengan kalangan elite dalam kasta masyarakat dan pemerintahan Majapahit. Pendekatan yang dilakukan Sunan Ampel mengenai dakwahnya yaitu dengan cara pembauran dan pendekatan. Dengan metodologi yang beliau tempuh, berhasil menciptakan harmoni antara ulama dan umara.
3.Sunan Giri
Ia memiliki nama kecil Raden Paku alias Muhammad Ainul Yakin, lahir di Blambangan pada 1442 M. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantern misalnya Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Kemudian ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa waktu itu, dan Sunan Giri bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Dalam keagamaan ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih, dan disebut Sultan Abdul Fakih. Jelungan, jamuran, lir ilir dan cublak suweng disebut kreasi Sunan Giri, demikian pula dengan Gending Asmarandana dan Pucung lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
4.Sunan Bonang
Ia adalah anak Sunan Ampel berarti cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila. Mula-mula ia berdakwah di Kedir yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Ia kemudian menetap di Bonang desa kecil di Lasem dan membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia juga terkenal sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, bahkan sempat menjadi penglima tertinggi. Pada 1525 M ia meninggal, jenazahnya dimakamkan di Tuban sebelah barat Masjid Agung. Ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra, dan arsitektur.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk atau tembang tamsil. Sunan Bonang mengubah gamelan jawa yang kental dengan nuansa Hindu menjadi nuansa baru. Ia juga menjadi kreator gamelan jawa dengan menambahkan instrumen bonang. Tembang “tombo ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya, kegemarannya adalah mengubah lakon dan memasukan tafsir khas Islam.
5.Sunan Kalijaga
Dialah wali yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ayahnya bernama Wilotikto, adipati Tuban dan ibunya Dewi Sukowati serta mempunyai adik kandung bernama Dewi Rasawulan. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia yang paling muda saat diangkat menjadi wali. Dia pun memiliki ilmu yang tinggi dan usianya paling panjang diantara wali lainnya, yaitu lahir 1455 M dan wafat tahun 1586 M atau usianya mencapai 131 tahun. Dia dimakamkan di desa Kadilangu, di tanah pemberian Raden Patah karena permintaannya sendiri.
Semasa hidupnya dia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit, Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten bahkan kerajaan Pajang serta kehadiran kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut merancang pembangunan Masjid Cirebon dan Demak. Paham keagamaannya cenderung sufistik berbasis salaf, ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai ajang dakwah. Ia sangat toleran dengan budaya lokal, ia mendekati sambil mempengaruhi. Selain itu, dia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dia juga pencipta baju takwa, perayaan sekaten, dan lainnya.
6.Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati adalah atau Syarif Hidayatulloh diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya bernama Nyai Rara Santang putri dari raja pajajaran, dan ayahnya bernama Sultan Syarif Abdulloh Maulana Huda pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian id adalah satu-satunya wali yang memimpin pemerintahan, hal ini dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Islam. Dalam berdakwah ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas, ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan yang menghubungkan antar wilayah. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di bukit Sembung.
7.Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim, nama lengkapnya Raden Qosim Syariffudin Hasim, ia anak Sunan Ampel. Ia lahir pada tahun 1470 M. Ia pertama kali melakukan dakwah di pesisir Gresik, tapi satu tahun kemudian dia mendirikan padepokan santri Dalem Duwur yang sekarang Desa Drajat, Pacitan-Lamongan. Gelar tertinggi yang diberikan kepada Sunan Drajat adalah Sunan Mayong Madu, karena setiap ucapannya sangat manis dan enak didengar sehingga bisa menyembuhkan segala penyakit lahir maupun batin. Pusaka yang menjadi peninggalan Sunan Drajat adalah gamelan yang dipakai saat melakukan pengajian. Selain itu dia juga mengubah seni suluk. Dia juga dikenal seorang yang bersahaja dan suka menolong.
8.Sunan Kudus
Nama kecil Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah. Sunan Kudus terkenal sebagai penyiar agama Islam pada masa Hindu di Jawa bagian utara. Maka bangunan makamnya dan tatanan lingkungannya masih berbau agama Hindu. Seperti adanya Gapura Majapahit dan sebuah menara yang mirip bangunan candi. Beliau dari Persia dan masih keturunan ke-24 Rasul Muhammad. Sunan Kudus meninggal pada umur 63 tahun, meninggalkan pusaka dan masjid yang belum jadi yang diberi nama masjid Bubar, dan meninggalkan prasasti menyerupai Lumpang dan Padhusan untuk Wudhu. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Sunan Kudus juga mengubah cerita ketauhidan, kisah tersebut disusunnya secara berseri sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Selain itu, dia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
9.Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya Raden Prawoto, nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria. Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat perkotaan untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria sering kali dijadikan sebagai penengah dalam konflik internah di Kesultanan Demak, ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Sunan Muria dimakamkan di puncak gunung yang sepi. Sunan Muria selain meninggalkan sebuah masjid, juga meninggalkan beberapa tempat yang diyakini mempunyai keampuhan diantaranya Sendang Rejoso dan Gentong Karomah.
RELIGI ORANG JAWA
(Koentjaraningrat)
1.Agami jawi dan agami islam santri
Agama silam orang jawa yang bersifat sinkretsi dan agama islam puritan
Religi dalam bab ini didasarkan pada perbedaan antara agama islam jawa yang sinkretis, yang menyatukanunsur pra-hindu, hindu, dan islam, dan agama islam yang puritan, atau yang mengikuti ajaran agama yang lebih taat.
Orang jawa pada umumnya jika ditanya soal agama , maka ia akan menjawab agama mereka adalah islam. Walaupun demikian sebagian dari mereka tidak melaksanakan rukun islam seperti yang diwajibkan bagi umat islam. Mereka cenderung mengabaikan apa yang diwajibkan dan juga tidak mejauhi apa yang diharamkan. Meski demikian bukan berarti mereka tidak memikirkan agama, justru sebenarnya agamlah yang banyak menyita hidup mereka. Mereka percaya akan adanya Allah, percaya bahwa Muhammad adalah Nabi mereka dan lain-lain. Namun selain percaya pad ahal hal tersebut, disisi lain mereka juga yakin pada konsep-konsep keagamaan yang lain, semisal percaya pada mahluk-mahluk gaib, jurus-jurus sakti dan mereka juga melakukan ritual-ritual yang tidak ada diajaran agama islam. Mereka digolongkan sebagai kaum yang memiliki agam sendiri yaitu agami jawi.
Agami jawi atau kejawen adalah suatu keyakinan dan konsep-konsep hindu-budha yang cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama islam. Varian dari kejawen adalah agami islam santri, yang walaupun tidak sama sekali bebas dari unsur animism dan unsur-unsur hindu-budha, namun sedikit lebih dekat pada dogma-dogma ajaran islam yang sebenarnya.
2.System keyakinan agami jawi
System budaya agami jawi
Kejawen merupakan suatu tradisi yang diturunkan secara lisan, tetapi ada sebagian penting yang juga terdapat dlam kesusastraan yang dianggap kramat dan bersifat moralis. Oleh karena itu untuk dapat memahami agami jaw kita perlu mengetahui tentang tradisi tertulis itu. Agami jawi dalam melakukan berbagai kegiatan keagamaan sehari-hari sangat dipengaruhi oleh keyakian, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya dan norma-norma, yang kebanyakan berada di dalam alam pikirnya.
Konsep agami jawi mengenai Tuhan Yang Maha Esa
Keyakinan orang jawa yang beragama agami jawi terhadap Tuhan sangat mendalam , para penganut agami jawi di daerah pedesaan mempunyai konsep yang sederhana yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta, dank arena itu adalah penyebab dari segala kehidupan di dunia, dan seluruh alam semesta.
Sumber yang paling utama mengenai Tuhan pada agami jawi adalah buaku narwaci yang ditulis pada permulaaan abad ke-17. Menurut konsepsi agami jawi Tuhan adalah keseluruhan dalam alam dunia ini ang dilambangkan dengan mahluk yang sangat kecil sehingga sewaktu-waktu dapat masuk ke sanubari orang, tetapi Tuhan sekaligus besar juga luas seperti samudera, tidak berujung juga tidak berpangkal sepeti angkasa dan terdiri dari semua warna yang ada didunia. Kedua konsepsi ini memiliki perbedaan pokok dengan pandangan islam orthodox yang memiliki sifat monotheitis, yang menganggap bahwa Tuhan adalah Maha Besar dan Mahakuasa, dan orang hanya merupakan mahluk yang tidak berarti jika dibandingkan engan Tuhan.
Keyakinan agami jawi akan adanya Nabi Muhammad dan Para Nabi Lainnya
Sistem keyakinan agami jawi memandang Nabi Muhammad sangat dekat dengan Alloh. Dalam hampir setiap ritus dan upacara, seorang orang jawa mengucapkan nama Alloh mereka mengucapkan nama Nabi Muhammad. Selebihnya Nabi Muhammad kurang mendapatkan perhatian dalam sistem keyakinan Agami Jawi, kecuali pada perayaan Mi’raj. Kesusastraan yang lebih disukai oleh para penganut Agami Jawi adalah kesusastraan Islam yang mengandung unsur mistik yang persifat kepahlawanan dan cerita peristiwa khusus dalam kehidupan Nabi seperti mengenai kelahiran, pernikahannya dengan Siti Khadijah, hijrah, perang dan mengenai kenaikan Nabi Muhammad. Namun bukan hanya orang santri saja yang mengenal riwayat hidup Nabi, tetapi juga orang Agami Jawi.
Keyakinan agami jawi kepada orang keramat
Agami jawi mengenal banyak sekali tokoh-tokoh keramat. Yang masuk dalam kategori tokoh-tokoh keamat ini antara lain guru-guru agama, tokoh-tokoh historis maupun setengah historis, yag dikenal orang melalui kesusastran babad.Contoh yang sangat terkenal adalah wali songo (wali Sembilan), tokoh penyebar agama islam yang bersifat setengah historis. Selain Sembilan wali tersebut tentu saja masih bayak tokoh kermatlain yang sifatnya local. Seorang ahli belanda, D.A Rinkes, telah telah membuat satu deskripsi dari sejumlah tempat keramat yang merupakan tempat pemujaan tokoh keramat penduduk setempat. Deskripsi yang berupa satu karangan panjang itu diterbitkan dengan judul De Heiligen van Java.
Konsep agami jawi mengenai kosmogoni dan kosmologi
Yang dimaksudkan disini adalah mitologi penciptaan duniadan manusia atau kosmologi agami jawi. Walau dalam agami jawi terdapat beberapa cerita mite mengenai penciptaan alam semesta, semuanya mengandung unsure-unsur kosmologi hindu-jawa dan keyakinan islam bahwa adam adalah nabi pertama di dunia ini. Kedua hal itu dijalin menjadi satu cerita tungal. Ada suatu ciri lain dari mite jawa tentang penciptaan alam, yait bahwa Tuhan atau dewa tidak berhasil menciptakan manusia dalam seketika, melainkan mengalami kegagalan berkali-kali. Mahluk-mahluk penciptaan yang gagalkemudain menjadi penghuni “dunia jahat”. Berbagai konsepsi orang jawa mengenai penciptaan alam semesta dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu mite-mite dengan unsure-unsur dominan hindu-budha, mite-mite dengan unsur-unsur sinkretik agami jawi dan islam, dan mite-mite dengan unsure-unsur magis-mistik.
Mite-mite dengan unsur-unsur dominan hindu-budha terdapat dalam buku babad mengenai kerajan-kerajaan di jawa yang sifatnya setengah historis, yang pada umumnya dimulai dengan cerita mengenai awal terciptanya dunia dan manusia. mite-mite dengan unsure-unsur sinkretik agami jawi dan islam terdapat dari bagian pertama dalam buku-buku babad semi-historis lainya, yang mungkin ditulis oleh pengarang-pengarang yang lebih berorientasi islam seperti buku serat anbya. Jenis mitologi mengenai penciptaan dunia yang ketiga menurut agami jawi adalah yang paling aneh, terdapat dalam buku-buku suluk terutama yang bersifat radikal magis-mistik, seperti suluk gatholoco dan suluk darmagandhul.
Esyatalogi agami jawi
Sejak berabad-abad dalam pikiran orang jawa pada umunya ada suatu keyakinan terpendam mengenai adanya seorang ratu adil yang akan tiba membawa keadilan dan keteraturan didunia ini. Gagasan mengenai esyatologi pada orang jawa merupakan sutu akibat dari gaya hisup dan tata-cara sopan santun orang jawa, yang sejak berabad-abad mengutamakan pergaulan antar manusia yang kelihatan baik dan rukun diluar, yang telah terjalin dengan erat dan sempurna di kehidupan sosialnya. Untuk hidup di dalam kenyataan seperti it seseorang terpaksa harus tersenyum walaupun menghadapi berbagai problema dalam hisupnya, karena itu suatu ketika orang-orang akan lari dari problema-problema yang dihadapinya, baikkedalam mistik yang penuh dengan spekulasi, yang memungkinkan orang untuk membebaskan diri dari beban berat berupa kewajiban-kewajiban sosialnya, maupun kedalam alam khayal yang mengimpikan suatu kehidupan masyarakat yang serba teratur di masa yang akan datang.
Keyakinan Agami Jawi Akan Dewa-Dewa
Orang Jawa yang berasal dari keluarga-keluarga desa maupun dari keluarga priyayi, pada umumnya dapat menyebutkan macam-macam nama dewa, lengkap dengan sifat-sifat dan rupanya masing-masing. Dewa-dewa itu dikenal dari cerita-cerita wayang, yang mempunyai peran sebagai pelindung manusia. Dalam mitologi Jawa ada bermacam-macam dewa pria maupun wanita. Dalam bukunya mengenai mahluk-mahluk halus orang Jawa, ahli folklor H.A van Hien menyebutkan adanya 750 nama dewa dan dewi yang berasal dari mitologi Hindu dan 264 nama dewa dan dewi yang asli dari Jawa yang merupakan tokoh-tokoh dalam mitologi agama Budha. Para Bathara dan dewi itu sebenarnya tidak ada artinya dalam kehidupan dan upacara keagamaan orang Jawa, hanya penting dalam cerita wayang saja, dan berfungsi sebagai unsur pendidikan dan pelajaran moral.
Keyakinan Agami Jawi Kepada Kematian Dan Alam Baka
Orang Jawa berkeyakinan bahwa tidak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi mahluk halus yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Mahluk halus itu lama-kelamaan akan pergi pada saat tertentu saat keluarga mengadakan slametan. Roh yang tidak mendapat tempat di alam roh karena tingkah lakunya yang tidak baik semasa hidup, dan menjadi roh jahat pengganggu manusia, atau karena orang itu meninggal tidak wajar.
Namun pengaruh agama Islam menciptakan pada orang Jawa konsep mengenai dunia roh yang berada dekat Alloh, juga bahwa orang yang meninggal oleh Alloh akan diberi tempat di swarga atau neraka sesuai dengan perilakunya yang baik atau buruk semasa hidupnya. Agama Jawi tidak memiliki gambaran yang nyata mengenai swarga atau neraka. Gambaran orang Jawa ialah bahwa sorga tidak berada di atas langit dan neraka juga tidak berada di dasar bumi, sebaliknya mereka membayangkan adanya hubungan antara sorga dan neraka, dengan dunia baka dan dengan arah selatan, yaitu Kerajaan Bathara Yamadipati, penjaga kerajaan para roh yang telah meninggal.
Mahluk halus yang masih memiliki keinginan dari orang yang meninggal itu, dibimbing oleh seorang malaikat (molekat) ke Kamaloka yang dicapainya pada hari ketujuh setelah meninggal. Tetapi sebelum diperkenankan masuk pintu gerbang ia harus melewati sebuah jembatan yaitu siratul mustakim, yang terbuat dari sepertujuh belahan rambut wanita. Di bawah jembaran ada kawah yang gelap yang merupakan tempat menuju neraka. Apabila mahluk halus itu terlalu berat karena hasrat dan keinginannya terlalu banyak maka ia akan jatuh ke dalam kawah dan masuk ke neraka. Apabila terlalu banyak dosa, maka mahluk halus itu akan terperosok lebih dalam masuk ke bumi kapindho, dan dilahirkan lagi sebagai binatang. Setelah itu, dia akan berada ke bumi katelu dilahirkan kembali sebagai tanaman, kemudian setelah mati lagi dia akan berada di bumi kapat sebagai pohon selanjutnya dia menghuni batu. Dan dia akan dihukum lama pada bumi ketujuh, kemudian dilahirkan lagi sebagai manusia yang melupakan segala masa lampau dan memperoleh kesempatan untuk lebih baik lagi.
Orang meninggal yang telah hidup dengan baik dan lingaseliranya berhasil masuk ke Kamaloka, maka rohnya akan berada di sana hingga 40 hari setelah meninggalnya. Setelah itu memurnikan dirinya dan mempersiapkan diri masuk ke surga pertama (dewakan) pada hari ke-100 setelah meninggal. Kemudian lingeseliranya akan mati kedua kalinya. Apabila ada kerabat yang masih hidup di dunia dan memanggilnya maka mahluk halus itu menjadi lelembut dan berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia atau menjadi roh nenek moyang (arwah leluhur). Roh yang berhasil ke surga pertama akan menjadi lebih murni pada hari ke-1000 setelah meninggal masuk pada surga kedua. Proses ini terjadi berulang-ulang sehingga ia akan masuk surga ke tujuh dan mencapai moksa yaitu keadaan sempurna.
Roh Nenek Moyang Dan Roh Penjaga
Sebagai roh halus, roh nenek moyang masih lama akan dipuja dan dipanggil oleh para keturunannya untuk memberi nasehat kepada mereka mengenai persoalan rohaniyah maupun material. Sistem keyakinan Agami Jawi mengenal roh-roh baik yaitu dhayang, bahureksa, sing ngemong dan widadari. Dhayang adalah roh yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat, bahureksa adalah penjaga tempat-tempat tertentu, seperti bangunan umum, sumur tua, pohon beringin tua, sebuah gua dan sebagainya. Sing ngemong adalah roh yang menjaga kesejahteraan seseorang dan dipandang seseorang sebagai saudara kembar dari jiwa seseorang, widadari atau bidadari dibayangkan oleh orang Jawa sebagai gadis cantik yang tempatnya di langit dan yang hanya berbuat baik kepada manusia. Namun ada juga roh baik yang menuntut balas budi atas pertolongan dan keuntungan yang telah diberikan kepada manusia, misal thuyul. Thuyul digambarkan sebagai anak kecil/kerdil yang mampu membuat orang kaya dengan jalan mencurikan harta orang lain baginya. Tetapi sebagai imbalan thuyul harus diberi sesaji dan orang yang memiliki thuyul itu harus merelakan jika sewaktu-waktu kehilangan anggota keluarganya.
Roh, Jin, Setan Dan Raksasa
Mahluk-mahluk ini pada umumnya dianggap jahat, dan oleh orang Jawa disebut memedi. Secara khusus mereka disebut setan atau dhemit, sedangkan raksasa disebut denawa (Krami) atau buta (Ngoko). Orang Jawa pada umumnya sependapat bahwa setan dharat, setan bisu, setan mbelis dan sebagainya adalah setan-setan berjenis pria dan bermuka buruk, sedangkan wewe adalah setan wanita yang sangat jelek sekali. Tetapi ada setan-setan yang cantik rupawan seperti misalnya kuntilanak, yang menampakan dirinya di jalan-jalan sunyi di malam hari untuk mencari mangsanya, sundhel bolong merupakan seorang wanita tunasusila yang cantik tetapi yang ternyata berlubang punggungnya. Ada setan yang menyerupai anak kecil/kerdil yaitu thuyul atau setan gundul. Ada juga setan yang berparas manusia dan bertubuh setengah manusia setengah binatang, seperti peri (wanita dengan kaki kuda), Nyai Blorong (wanita dengan tubuh bagian atas seperti manusia dan bagian bawah seperti ular), Ki Blorong (pria dengan tubuh bagian atas seperti manusia dan bagian bawah seperti ular). Setan juga dikenal di Eropa seperti jerangkong, thekthekan, wedon dan sebagainya.
Orang Jawa percaya bahwa setan dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui ubun-ubunnya atau telapak kakinya, sehingga orang itu menjadi kesurupan, dan hanya dapat disembuhkan oleh seorang dhukun prewangan, seorang syaman, atau seorang dukun biasa. Oleh karena itu dapat dihindari dengan melakukan latihan jasmani dan kesenian dan menghindari untuk duduk termenung dan melamun.
Keyakinan Agami Jawi Kepada Kesaktian
Hanya orang yang kuat jasmani dan rohaninya saja yang dianggap mampu memiliki kasekten. Kesaktian itu dapat berada di bagian tertentu dari tubuh manusia atau pada tubuh binatang. Namun, pada umumnya kasekten berada pada benda-benda suci terutama benda-benda pusaka misalnya keris sakti. Tetapi, orang Jawa juga memuja benda-benda pusaka lain yang dianggap sakti antara lain tombak, bendera tua, panah atau alat gamelan. Kekuatan kasekten yang dianggap ada dalam benda pusaka sering kali digunakan oleh para pemiliknya untuk menghalau penyakit dan malapetaka. Kasekten tidak hanya dianggap ada dalam pusaka, tetapi juga di dalam jimat-jimat kecil yang sampai sekarang pun masih banyak dipakai oleh pria atau wanita untuk melindungi diri dari penyakit atau bahaya-bahaya gaib.
3. Sistem Upacara Agami Jawi
Tindakan-Tindakan Keagamaan
Kita dapat membedakan adanya berbagai tindakan keagamaan dalam sistem sosial Agami Jawi. Upacara terpenting adalah upacara makan bersama, yang dalam bahasa disebut wilujengan (Krami) atau slametan (Ngoko). Berikut berbagai ritus dan upacara keagamaaan yang mengandung tingkah laku keagamaan.
Slametan Atau Wilujengan
Slametan atau wilujengan adalah suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya dan penganut Agami Jawi khususnya. Salah satu aktivitas keagamaan penting lain dalam sistem religi Agami Jawi yaitu kunjungan ke makam nenek moyang yang disebut nyekar. Suatu slametan biasanya diadakan di rumah keluarga dan dihadiri keluarga, kerabat dan tetangga. Slametan biasanya diadakan pada malam hari. Para tamu duduk di atas tikar dan di tengah-tengahnya diletakkan dua atau tiga buah tampah berisi hidangan slametan berisi nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk dan hiasannya.
Setelah semuanya siap, modin atau kaum diminta untuk mempersilahkan doa (ndonga) yang terdiri dari ayat-ayat Al Qur’an. Selesai mengucapkan maka modin dipersilahkan oleh tuan rumah untuk mulai menyantap hidangan disusul para tamu. Upacara slametan sering kali dilanjutkan dengan dhikir mengucapkan “La‘illaha Illallah” secara berulang-ulang. Geertz menjelaskan bahwa slametan tidak hanya diadakan dengan maksud untuk memelihara solidaritas antara para peserta upacara, dan setiap upacara itu bersifat religi. Padahal tidak semua slametan bersifat religi.
Slametan bersifat keramat adalah upacara slametan di mana orang-orang yang mengadakannya merasakan getaran emosi kramat. Upacara slametan yang tidak bersifat keagamaan adalah upacara yang tidak menimbulkan getaran emosi keagamaan bagi para tamunya, hanya bertujuan memelihara solidaritas sosial. Upacara slametan yang benar-benar bersifat ketamat dan menggetarkan emosi keagamaan seseorang misalnya upacara kematian. Upacara slametan yang bersifat keramat melibatkan semua warga desa adalah upacara bersih dusun. Upacara keramat pada hari besar agama Islam misalnya Bakda besar, Saparan, Dina Wekasan Muludan, dan lainnya. Upacara slametan yang bersifat keramat dari individu adalah ngruwat, dan yang tidak keramat misalnya penyerahan mas kawin, pindah rumah, memasuki rumah baru, ganti nama dan lainnya. Hal ini bertujuan untuk pemberitahuan kepada handai-taulan.
Upacara-Upacara Sepanjang Lingkaran Hidup
Kebudayaan Jawi dan Santri juga memiliki serangkaian upacara sendiri untuk merayakan berbagai peristiwa penting sepanjang lingkaran hidup individu, yang merupakan bentuk tertua dari semua aktivitas keagamaan dalam kebudayaan manusia, walaupun demikian upacara tersebut sudah pasti sangat penting dan mutlak perlu dalam banyak agama dan terutama dalam sistem Agami Jawi.
Tingkeban
Lingkaran ritus-ritus sudah dimulai sejak seorang individu berada dalam rahim ibunya. Upacara pertama dinamakan tingkeban diadakan saat kandungan berumur tujuh bulan yang dinamakan slametan mitoni. Hidangan slametan yang disajikan itu tujuh buah nasi tumpeng, lauk-pauk, dan tujuh macam juadah, harus mempunyai makna yang melambangkan kelahiran yang cepat dan selamat. Misalnya diantara ketujuh juadah tersebut ada yang namanya jenang procot yang maksudnya agar bayi kelak akan lahir dengan mudah, (procot= keluar tak terkendali). Mitoni juga harus dilakukan pada hari Setu Wage (Sabtu Wage) dalam bulan ketujuh umur kandungan yang artinya metu age atau lekas keluar.
Sejak diadakan upacara mitoni, calon ibu harus mematuhi berbagai syarat dan pantangan seperti mencuci rambutnya seminggu sekali dengan air merang yang sudah diberi kekuatan gaib. Larangannya antara lain memakan telur ayam, udang, buah yang letak bijinya melintang. Calon ayah pun harus memperhatikan pantangan tersebut. Dalam bulan kesembilan, diadakan slametan lagi yaitu mumuli sedherek untuk menghormati saudara yang belum lahir.
Melahirkan
Apabila di daerahnya tidak ada seorang bidan, keluarga tiyang tani di desa biasanya memanggil seorang dhukun bayi, adalah orang yang ahli dalam membantu persalinan, yang sebelumnya telah melakukan berbagai upacara. Setelah bayi lahir, dhukun memotong tali pusat dengan sebilah pisau atau bambu sambil mengucapkan mantera. Kemudian, ayahnya harus membisikan ayan ke telinga kanan bayi dan kamat ke telinga kirinya. Selanjutnya dukun memandikan wanita yang baru melahirkan dan memijat dibalur ramuan parem dan bobokan dan meminum jamu. Sementara ari-ari dibersihkan oleh dhukun dan dimasukan ke dalam bejana yang terbuat dari tanah liat. Ari-ari yang menyusul kelahiran anak laki-laki dibuang ke kali atau dikubur di halaman belakang, sedangkan apabila bayinya perempuan, ari-arinya selalu dikubur di halaman belakang rumah sebelah kanan. Upacara puput puser diadakan pada malam hari setelah tali puser terlepas, dengan mengadakan berbagai ritual. Tali pusat yang telah terlepas dan menjadi kering dibungkus kain bersama rempah-rempah, dijahit dan menjadi jimat.
Upacara Memberi Nama
Pada hari kelahiran bayi diadakan slametan pemberian nama atau slametan brokohan. Upacara ini dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi dilahirkan.
Upacara Kekah Dan Upacara Pemotongan Rambut
Orang santri yang taat menjalankan ajaran Islam mengadakan suatu upacara berkorban pada hari ketujuh kelahiran bayi yaitu upacara kekah, sekaligus pemberian nama. Semua rambut di kepala dicukur, kecuali dibagian ubun-ubun. Penganut Agami Jawi juga mengadakan upacara kekah, tetapi dengan upacara pemotongan rambut sebagai unsur yang utama, bukan unsur berkorbannya. Kemudian diadakan upacara nyepasari. Banyak hidangan yang disediakan, menandakan upacara ini penting. Orang Jawa percaya apabila ada kekurangan dalam jumlah macam atau hidangan maka akan berpengaruh pada kepribadian anaknya. Selanjutnya ada upacara lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu nyelapani, yang diadakan saat bayi berumur 35 hari jatuh pada hari weton pertama. Baik para penganut Agami Jawi yakin bahwa tidak baik apabila dalam satu keluarga ada orang yang sama wetonnya.
Tedhak Siten, Atau Upacara Menyentuh Tanah
Upacara yang disebut tedhak siten ini dianggap penting oleh para penganut Agama Jawi di desa maupun dikota, dan merayakan peristiwa sentuhan pertama dengan tanah. Upacara yang selalu diadakan pada pagi hari ini menggunakan berbagai benda, yaitu sebuah karungan ayam, sebuah tampah dengan nasi kuning, dan beberapa mata uang. Kecuali itu ada tujuh buah tampah yang masing-masing berisi sebuah tumpeng dan tujuh buah tampah yang masing-masing berisi juadah dengan warna yang berbeda-beda. Ketujuh tampah ini disusun menuju kesebuh tangga kecil yang terbuat dari batang tebu. Selain itu, masih ada sejumlah sajian yang terdiri dari berbagai macam buah-buahan, sayuran, rempah-rempah, kue dan juadah.
Upacara ini biasanya ditontong oleh seluruh keluarga, beberapa orang tetangga terdekat, dan anak-anak kecil yang tinggal berdekatan. Nenekdari pihak ibunya biasanya menggendong si bayi dan memasukkannya ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu anak kecil yang sudah memperhatikan hal-hal disekelilingnya, akan memngamati nasi kuning mata uang yang ada di dekatnya, yang semua melambangkan kemakmuran. Setelah beberapa saat berada di dalam kurungan, bayi dikeluarkan dan secara bergantian para anggota keluarga membimbingnya berjalan diatas ketujuh tampah berisi tumpeng dan berisi juadah hingga ia sampai ketangga yang terbuat dari batang tebu. Bayi kemudian dituntun menaiki tangga hingga sampai anak tangga yang ketujuh dan yang tertinggi. Setelah upacara ini, neneknya mencuci kaki bayi dengan air bunga (toya setaman) lalu meletakkannya di tanah. Acara yang terakhir ini merupakan puncak dan tujuan dari seluruh dari seluruh upacara tedhak siten itu. Pada akhir upacara, biasanya kakek bayi menaburkan uang logam diantara orang-orang yang hadir, yang nantinya akan dipungut. Hanya keluarga yang mengadakan upacara itu saja yang masih sibuk dengan persiapan untuk slametan yang akan diadakan pada siang atau malam harinya. Dalam kehidupan berjuta-juta orang jawa, tanah merupakan suatu hal yang teramat penting, dan kontak pertama dengan tanah itu merupakan langkah yang pertama kedalam kebudayaan pertanian Jawa tradisional.
Khitanan
Upacara penting berikutnya dalam lingkaran hidup orang jawa adalah upacara khitanan. Orang Jawa pada umumnya menganggap khitanan sebagai suatu upacara untuk meresmikan diri masuk Islam, dan dalam buku hukum dari ajaran Shafi’, khitanan (sunatan) itu memang dianggap wajib dan karena itu upacara itu seringkali juga disebut ngislamaken yang berarti “mengislamkan”.
Pada keluarga santri yang sebanyak mungkin berusaha mengikuti peraturan hukum agama, melakukan upacara itu pada hari-hari yang ditentukan dalam hukum Islam, yaitu misalnya pada hati keempat puluh setelah lahir. Upacara sunatan dapat juga dilakukan pada waktu seorang anak pri berumur empat sampai tujuh tahun, akan tetapi keluarga Agami Jawi menghubungkan sunatan dengan umur akil baliq, disamping sebagai peresmian masuk Islam dan karena itu mengadakannya pada waktu seorang anak pria berumur antara 10 dan 16 tahun. Anak pria yang sudah dikhitan dinamakan jaka. Setelah melakukan khitan, siang harinya diadakan slametan yang dinamakan slametan jenang abrit.
Upacara yang sama untuk anak wanita adalah upacara kafad yang sebenarnya hanya merupakan suatu upacara lambang saja, karena pada diri anak itu tidak dilakukan mutilasi pada alat kelaminya. Upacara ini dilakukan setelah seorang anak gadis mendapat haid pertamanya. Di dalam keluarga-keluarga santri, khitanan bagi anak-anak gadis merupakan hal yang wajib, sesuai dengan hukum Islam.
Pemakaman Dan Ritus Kematian
Apabila ada orang meninggal, maka hal pertama yang dilakukan oleh orang Jawa adalah untuk memanggil seorang modin, dan mengumumkan kematian itu kepada sanak saudara dan tetangga. Sekarang orang lebih sering pergi ke dokter atau ke Puskesmas terdahulu dan baru kemudian mencari modin serta memberi kabar kepada orang-orang sekitarnya. Setelah itu dilakukan tata urut upacara pemakaman, mulai dari memandikan jenazah sampai memakamkannya.
Orang Jawa tidak diperbolehkan menangisi kematian seorang anggota keluarga secara berlebih-lebihan, dan sebaliknya harus bersikap ikhlas melepas kepergiannya dan menerima nasibnya dengan tawakal.
Setelah melakukan prosesi pemakaman, pada malam harinya para keluarga melakukan slametan sedhekah ngesur siti dengan mengundang semua orang yang telah memberikan bantuan serta sumbangan berupa apapun juga. Tumpeng untuk slametan sedhekah ngesur siti harus dilengkapi dengan kue apem. Pada setiap slametan yang diadakan untuk memperingati arwah orang yang sudah meninggal dilakukan dzikir. Hingga empat puluh hari lamanya, dibawah tempat tidur orang yang meninggal diletakkan sajian yang diganti dua hari sekali. Sedhekah yang diadakan berhubung dengan kematian, juga diselenggarakan pada hari ketiga (sedhekah nigang ndinteni), hari keempatpuluh (sedhekah ngawandasa dinten), hari keseratus (sedhekah nyatus), peringatan setahun meninggalnya (sedhekah mendhak sepisan), peringatan dua tahun (sedhekah mendhak kaping kalih) serta hari keseribu (sedhekah nyewu). Bila yang meninggal anak kecil, sedhekah hanya dilakukan satu kali saja yaitu sedhekah ngesah.
Setelah peringatan hari keseribu, maka sedhekah yang diadakan oleh para kerabat orang yang meniggal merupakan kewajiban yang terakhir yang harus dipenuhi. Sementara itu sisa-sisa terakhir dari ikatan-ikatan dari ikatan-ikatan emosional dan spiritual yang mungkin masih ada, juga dianggap telah habis. Walaupun demikian banyak keluarga Jawa penganut Agami Jawi masih tetap mengunjungi makam nenek moyang mereka pada kesempatan-kesempatan tertentu, yaitu disebut nyekar.
Nyekar, Adat Untuk Mengunjungi Makam
Pada tahun pertama setelah seorang anggota keluarga meninggal dan ikatan-ikatan emosional dengan orang tersebut masih kuat, maka frekuensi mengunjungi makamnya masih tinggi. Adanya larangan untuk memperbaiki makam sebelum kuburan itu berumur tiga tahun, yaitu sebelum hari keseribu (nyewu). Baru setelah itu makam boleh diperbaiki degan memasang batu nisan (kijing) dan kadang-kadang dengan membuat pagar besi disekeliling makam. Namun hal ini dapat berbeda-beda diberbagai tempat.
Makin lama setelah orang meninggal, makin jarang pula makamnya dikunjungi oleh sanak saudaranya, biasanya hanya ramai sebelum bulan Puasa. Dalam masyarakat desa orang masih menganggap perlu untuk mengunjungi makam para pendiri desa pada waktu diadakan upacara bersih dhusun, dan mengunjungi makam-makam nenek moyang dan makam-makam keluarga lainnya.
Upacara Berkorban Sesajen
Upacara berkorban sesajen memang ada dalam tiap upacara orang Jawa, dan orang bahkan membuat sesajen tanpa suatu upacara pun. Orang-orang desa selalu meletakkan sesajen disudut-sudut petak sawah pada saat-saat kritis dalam siklus pertanian, para keluarga petani di desa maupun orang kota meletakkannya diberbagai tempat disekitar rumah di halaman dan dipersimpangan jalan, pada tiap hari kemis malam (jemuwah).
Ahli antropologi Belanda, J.van Baal, secara tepat juga mengemukakan bahwa suatu sedekah adalah suatu pemberian dan bahwa suatu pemberian terutama merupakan cara untuk mengadakan komunikasi simbolis dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan serta pekerjaa dari orang yang diberi, dan bukan hanya merupakan cara untuk memuaskan kebutuhan fisik seseorang untuk “menyuap” atau mengembalikan suatu jasa. Oelh karena itu sebagai suatu pemberian sedhekah merupakan suatu alat untuk berkomunikasi secara simbolik dengan makhluk-makhluk halus didunia gaib. Dengan demikian setiap benda yang diletakkan ditampah itu harus dianggap sebagai benda-benda yang dipergunakan sebagai alat untuk tujuan tersebut tadi.
Perayaan-Perayaan Upacara Tahunan
Banyak dari perayaan Islam diselenggarakan di Jawa dengan slametan yang berbeda-beda untuk tiap peristiwa dan dengan berbagai sajian yang berdeda pula. Hari besar Islam yang pertama jatuh pada tanggal 10 sura, yaitu bulan pertama dari perhitungan tahun Islam. Para penganut Agami Jawi cukup merayakannya dengan membuat bubur Sura. Santri merayakannya dnegan berpuasa pada malam hari menjelang tanggal 10 Sura tersebut.
Bulan yang kedua yaitu Sapar, berlalu tanpa ada kegiatan upacara keagamaan, kecuali pada hari Rabu yang terakhir, yaitu Rebo Wekasan, yang dirayakan khusus oleh para penganut Agami Jawi di dalam suasana riang gembira.
Pada tanggal 12 bulan Maulud orang memperingati hari wafat dan hari lahirnya Nabi Muhammad. Baik para penduduk desa maupun para priyayi di kota-kota yang menganut Agama Jawi, mengadakan slametan sekitar tanggal 12 Mulud. Hidangan utama pada perayaan Muludan itu adalah tumpeng dengan ayam yang dimasak dengan bumbu-bumbu dalam keadaan yang utuh (dibuang bulunya dan dibersihkan isi perutnya).
Orang santri tidak merayakan hari ke-12 bulan Rabi’ul-awwal itu dengan mengadakan slametan, melainkan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang disebut selawatan.Upacara berikutnya yaitu pada tanggal 7 Rejeb untuk memperingati kenaikan Nabi Muhammad ke surga. Pada perayaan ini diadakan suatu slametan yang dinamakan Rejeban atau Mi’radan.
Pada tanggal 15 Ruwah pada peringatan Nipsu Sa’ban atau Lailatul ‘Inishf min Sya’ban, yaitu suatu saat di malam hari ketika Allah menentukan siapa yang akan meninggal dalam tahun ini. Para penganut Agami Jawi mengadakan suatu slametan, yaitu slametan barokhah dan berjaga sampai lewat tengah malam. Orang santri biasanya pergi ke masjid untuk membaca ayat-ayat suci sampai larut malam.
Pada tanggal 29 Ruwah adalah hari terakhir sebelum puasa. Biasanya akan banyak orang santri yang nyekar ke makam-makam. Orang Agami Jawi juga mengadakan slametan sederhana pada tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29 dalam bulan Puasa, yang dinamakan puasa maleman.Pada tanggal7 syawal diadakan slametan yang dianggap masih ada hubungannya dengan berakhirnya masa puasa, yaitu slametan kupatan. Hari besar berikutnya adalah pada waktu para jemaah di Mekkah mengadakan upacara kurban diperingati pada tanggal 10 Besar.
Siyam, Atau Puasa
Orang Agami Jawi pada umumnya menjalankan ibadah puasa, walaupun mereka sering kali tidak begitu taat menjalankan rukun agama Islam yang lain-lainya. Kecuali berpuasa pada bulan Ramadhan, mereka juga mempunyai adat berpuasa pada hari Senin dan Kamis, suatu hal yang menurut agama Islam tidak diwajibkan. Adat puasa pada hari tertentu itu asal mulanya adalah tirakat.
Tirakat
Orang jawa pada umumnya dengan sengaja mencari kesukaran dan kesengsaraan untuk maksud-maksud keagamaan, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya. Mereka juga percaya bahwa orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan mendapat pahala. Tirakat dapat dijalankan pada saat-saat khusus, misal padawaktu orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu terkena bencana. Dalam keadaan seperti itu, melakukan tirakan dapat dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang dalam keadaan bahaya.
Bertapa (Tapabrata)
Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting.
Pada zaman sekarangorang melakukan tapa dengan maksud mendapatkan kedudukan yang baik atau bernasib baik di dalam kehidupan di akhirat kelak, dan tidak hanya dengan tujuan untuk mencapai suatu maksud tertentu dalam hidupnya sekarang. Oleh karena itu, tapa semacam ini mirip dengan tapas pada orang Hindu dahulu. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini untuk mendapatkan kenikmatan keduniawian. Akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara yang penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.
Meditasi Atau Semedi
Meditasi atau samedi memang biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata. Orang yang melakukan tapa ngeli misalnya, tidak hanya dududk diatas rakitnya saja sambil mbengong, tidak berbuat apa-apa, ia biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya, meditasi seringkali juga dijalankan bersamaan dengan suatu tindakan keagamaan lain, misal dengan berpuasa atau tirakatan. Maksud yang ingin dicapai dengan meditasi itu ada bermacam-macam, namun banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh kesaktian, disamping itu menyatukan diri dengan Tuhan.
Bersih Dhusun
Bersih dhusun dilakukan sekali dalam setahun yaitu biasanya dalam bulan Sela yakni bulan yang ke-11 dalam tanggalan Jawa. Walaupun demikian tanggal dilakukannya berbeda-beda di tiap desa.Kegiatan yang biasanya berhubungan dengan bersih dhusun berlangsung disuatu tempat dekat makam pendiri desa atau di rumah kepala desa, apabila tempat makam pendiri desa tidak cocok untuk mengadakan acara tersebut.
Perayaan bersih dhusun dengan sendirinya juga diadakan suatu slametan yang dinamakan dengan sedekah bumi atau sedekah legana, dengan sebuah nasi tumpeng dan lauk pauknya yang disumbangkan oleh para keluarga yang mampu.
Ngruwat
Upacara ngruwat merupakan suatu upacara yang khas Agami Jawi dan dimaksudkan untuk melindungi anak-anak terhadap bahaya-bahaya gaib yang dilambangkan oleh tokoh Bathara Kala, yakni Dewa Kehancuran. Upacara ngruwat juga perlu diadakan bila terjadi hal-hal yang dianggap dapat menyebabkan keadaan bahaya.
Apabila orang memutuskan untuk mengadakan suatu upacara ngruwat, maka seorang dukun petangan diminta pertolongannya untuk memilihkan hari yang baik untuk upacara itu. Malam hari sebelum upacara diadakan adalah malem anggara kasih atau malam kebahagiaan.
Petugas Keagamaan Agami Jawi
Orang yang memerankan peranan penting dalam suatu slametan yaitu upacara pokonya adalah modin atau kaum. Seorang modin atau kaum adalah seorang petugas masjid yang sebenarnya seorang santri dalam masyarakat Jawa. Orang yang memimpin upacara ijab dalam pernikahan orang Jawa Agama Jawi adalah seorang penghulu yang juga seorang petugas masjid, dan karena itu juga seorang santri. Agama Jawi juga mempunyai guru-guru yang menunjukkan jalan ke arah kemurnian jiwa atau yang memberi penerangan spiritual. Guru-guru ini disebut kyai atau guru. Akhirnya masih ada sang dhalan yang selain seniman juga dapat berfungsi sebagai pemuka agama.
4.Sistem Keyakinan Orang Islam Santri
Ajaran Agama Islam Orang Jawa
Agama orang santri selama empt abad terakhir ini paling sedikit telah mengalami perubhan dua kali. Yang pertama terjadi ketika keturunan para penganut agama islam yang berhaluan mistik dari abad ke - 16 dn ke – 17 mendapat pengaruh langsung dari islam ortodox di negara asalya, yaitu Mekah. Kedua, terjadi pada abad ke – 19 ketika para mahasiswa jawa belajar ilmu theologi di Mesir terpengaruh oleh gerakan reformis Wahhabiya dan oleh ajaran – ajaran Muhammad Abduh. Mereka membawa agama islam puritan yang reformis.
Keyakinan Terhadap Allah
Orang sntri di kota maupun di kota sangat menggantungkn diri kepada “kehendak Tuhn”, yakni suatu tema yang diambil dari tawhid, atau ke-Esaan Allah, seperti yang tertulis dalam ayat Qur’an. Allah adalah Al – Wahid, dan Tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah), bahwa Allah adalah yang benar dan nyata (Al Haqq)serta yang menurunkan qur’an. Ereka jug yakin bahwa Allah adalah Sang Maha Pencipta atau Al Khaliq serta raja kehidupan dan kematian, atau Al Malikdan Allah dalah hakim tertinggi, atau Khiru ‘l Hakim.
Sifat Tuhan sangat berbeda dari sifat manusia, atau dinyatakan dengan istilah Al Ghaib. Meskipun demikian, bagi manusia Ia adalah Yang Mha Pemurah dan Penyayang, atau Ar-Rahman ‘ir-Rahim. Ia menyatakan kehendakNya kepad manusia melalui para nabi yang diturunkanNya diantata ras – ras tertentu, pada waktu yang berlainan. Ajaran – ajaran yng orthodox terutama sistem keyakinan agama islam di Indonesia, telah mempelajari secara sangat meluas keduapuluh sifat Allah, yaitu yang disebut sipat kalihdsaningi Gusti Allah.
Nabi Muhammad dan Para Nabi Lain
Sesuai dengan ajaran agama islam, orang santri mengakui adanya semua nabi seperti yang disebut dalam Qur’an dan yakin bahwa Allah menyatakan kehendakNya kepada setiap manusia di dunia melalui perantara nabi – nabi tersebut. Orang santri bahkn mengakui Buddha sebagai seorang nabi, walaupun tidak disebut dalam Qur’an. Walaupun demikian, mereka yakin bhwa nabi Muhammad lah yang membawa perintah yang paling sempurna dan yang terakhir dari Allah.
Berbeda dengan penganut agama Nasrani, orang islam percaya bahwa para nabi, termasuk nabi Muhammad adalah manusia biasa yang tidk memiliki sifak kedewaan maupun kekuatan gaib, kecuali untuk meneruskan kata – kata Allah kepada umat manusia. Karena ajaran mereka mengharuskan agar orang isla yang baik tidak menyembah siapapun kecuali Allah. Maka pada umumnya orang santri jawa tidak menyembah nabi karena tidak dianggap sebagai orang keramat. Hanya pada hari – hari tertentu saja memperingati beberapa peristiwa penting dalam kehidupan nabi dan ajaran islam cenderung untuk membiarkan tokoh Nabi Muhammad tetap abstrak, dengan melarang orang untuk melukis wajahnya.
Khalaq, Ciptaan Allah. Qur’an menyebutkan bahwa Allah dalah Pencipta dari segala hal di dunia; namaNya sebagai Al-Khaliq, kegiatanNya menciptakan, atau khalq, dan kata – kata khalaqa dan khalaqna dap tat dijumpai dalam kitab suci. Konon, sebelum menciptakan bumi, Allah berada dilangit; didalam kegelapan ia menciptkan bumi dahulu dalam waktu dua hari, kemudian segala sesuatu yang ada di bumi dicitakannya daam dua hari kemudian. Akhirnya dalam dua hari berikutnya lagi Ia menciptakan ketujuh surga. Pabila bumi dan surga – surga itu diciptakannya dri kehampaan, maka manusia diciptakan dari rangkaian pusaran debu, dari tanah liat, setetes air mani, segumpal darah, segumpal jaringan tubuh, dan tulang yang kesemuanya dibungkus oleh kulit.
Alah menciptakan mahluk dan benda – benda yang tidak ada persamaan nya denganNya, begitulah kebesaran Allah. Jika dibandingkan dengan Allah, manusia begitu kecil dan tidak berarti. Namun dalam ayat lain disebutkan, setelah Allah membentuk mnusi, Allah meniupkan jiwaNya kedalannya, dan memerintahkan pada malaikat untuk bersujud kepadaNya. Semua malaikat menuruti perintah itu kecuali iblis, yang kemudian dikutuk hingga hari kiamat. Sehingga orang islam meyakini bahwa langit dan bumi diciptkan oleh Allah untuk jangka waktu tertentu, hingga hari Al Qiyama, atau hari kebangkitan kembali, namun, kapan tepatnya hari kebangkitan kembali itu, hanya Allah yang tau.
Keyakinan Mengenai Kematian Dan Kehidupan Akhirat
Sesuai dengn ajaran agama islam, orang santri yakin bahwa orang peninggal, maka malaikat kematian ‘Izra’il berdiri diatas kepala orang itu dan menarik jiwanya keluar dari tubuh dan memberikannya kepada para pembntunya yang membawanya hingga surga ketujuh. Jiwa itu kemudian ditempatkan bersama tubuhnya kembali di dalam liang kubur. Nmun bila orang yang meninggal adalah orang kafir maka ‘Izra’il akan mencabut nyawanya dengan kekerasan yang kemudian dibwanya ke atas dan dihempaskan ke bumi.
Jadi berbeda dengan orang Agami Jawi, yang mengatakan roh – roh orang meninggal berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya sewaktu hidup, mka orang santri menganggap bahwa roh itu tetap berada di dalam kubur sampai Hari Kebangkitan Kembali. Namun sampai kapan lamanya berada di dalam kubur tidak begitu jelas di dalam Qur’an. Tetapi dalam beberapa hadits disebutkan, malaikan Munkar dan Nakir memeriksa bahkan menghukum orng – orang yang telah meninggal itu didlam kubur. Maka di kalangan orang santri ada konsep bahwa kuburan merupakan pintu gerbang menuju surga atau neraka.
Pada hari kebangkitan, Al-Qiyama, bunyi terompet malaikat ‘Izrafil menandakan bahwa segala kehidupan didunia berakhir. Selang beberapa saat bunyi terompet kedua menghidpkan kembali semua yang telah mati itu dan mengumpulkannya di suatu tempat yang bernana Al – Makhsyar. Semua akan ditanya Allah satu persatu. Orang yang semasa hidupnya menjalankan hidup yang kurus dan percaya kepada llah akan ditempatkan di Surga dan sebaliknya orang orang yang penuh dosa dan tidak mempercayai Allah akan akan di masukkan dalam Neraka. Jembatan menuju Surga , yaitu Al-Shirat, merupakan batu ujian yang terakhir untuk menuju ke Surga (janna). Dalam Qur’an juga tidk jelas mengenai lamanya hukuman yang harus dijalankan dalam Neraka, karena surah - surah yang menyinggung hal ini saling bertentangan. Misalnya, ada satu surah yang mengatakan bahwa orang – orang yang telah membinasahkan dirinya di dalam neraka akan tinggal disana untuk selama – lamanya., tetapi dalam surah lain dikatakan bahwa orang itu akan berada di sana selama surga dunia masih ada, kecuali Allah menghendki lain.
Keyakinan Esyatologi Dalam Diri Imam Mahdi
Menurut ajaran agama islam, kelemahan sifat mental merupakan ciri khas manusia. Orang cenderung menyeleweng dari agama dan karena itu senntiasa dituntun ke jalan yang benar. Oleh karen itu mengharapkan datangnya pembaharuan agama islam dalam diri Imam Mahdi, yang akan tiba dalam waktu 1000 tahun sebelum akhir dunia. Selama berbad – abad keyakinan itu telah muncul dalam berbagai bentuk, tidak hanya dalam sistem tradisi dn sistem keyakinan dari berbagai bangsa islam di dunia saja melainkan para ahli theologi islam kuno yang telah menyatkan buah pikirannya dalam bentuk kesusastraan agama islam. Di Indonesia pada umumnya, dan terutama diantara kaum jawa santri, tidak ada suatu keyakinan yang resmi mengenai imam mahdi seperti itu. Walaupun demikian, agami jawi yakin bahwa di zaman yang akan datang akan tiba seseorang yang akan menyelamatkan kebudayaan Jawa, dan bahwa keyakinan itu sering kali berbaur dengan konsep orang santri mengenai Imam Mahdi.
Syari’ah atau Hukum Islam
Sistem keyakinan agama islam dikumpulkan dan diaur dalam Syari’ah, atau hukum islam. Sumber utamanya adalah Qur’an., atau menurut keyakinan orang islam adalah kata – kata Allah sendiri, yang disampaikan dalam beberapa tahap melalui wahyu kepada Nabi Muhammad selama kedua fase dalam kehidupannya, yaitu mula – mula ketika ia tinggal di mekkah selama 13 tahun, dan kemudian ketika ia berada di Medinah selama 10 tahun sejak tahun 622 Masehi. Kata – kata Allah itu diturunkan dalam bentuk ayat (syair) , untuk dibaca. Ayat – ayat itu dihafal diluar kepala oleh Nabi Muhammad, dan di antara sahabat- sahabatnya membantunya menghafal, tetapi banyak juga yang ditulis di atas kertas, daun lontar, di batu atau tulang selangka binatang yang telah mati.
Setelah Nabi Muhammad wafat, pra pengikutnya mengumpulkan serta mengkodifikasinya, baik yang berasal dari sumber = sumber lisan maupun tertulis, dan disusun menjadi 114 surah berdasarkan panjang pendeknya surah. Kecuali surah pembukaan Suratu-‘lfatihah yang pendek, surah – surah yang terpanjang di tempatkan di depan, sedangkan yang terpendek di belakang. Kumpulan surah – surah ini yang menjadi buku suci Al-Qur’an.
Pada waktu itu telah berkembang pula kesusastraan yang sangat luas mengenai tanggapan – tanggapan serta interpretasi mengenai buku suci Al – Qur’an oleh para ahli agama dan cendikiawan Islam sehingga menjadi ilmu yang di sebut ‘ilmu ‘t-tafsir. Kesusastraan tafsir dan hadits dari semua kebiasaan dn aktivitas Nabi Muhammad serta para pengikutnya yang terpenting, merupakan dua sumber tambahan dalam menyusun hukum islam.
Studi dari pengumpulan bahan serta perbandingan yang dilakukan atas sumber – sumber suci Qur’an dan tafsir, interpretasi dan kodifikasi dari tradisi – tradisi itu menjadi suatu ilmu, yakni ‘ilmu ‘ifiqh. Sifat pluralistik dari tradisi islam dengn demikian juga mendorong berkembangnya beberapa aliran dalam hukum islam (madzhab), dan empat diantaranya secaa resmi diakui. Pada umumnya di Indonesia, khususnya di Jawa menganut madzhab Syafi’i.
Ada lima aktivitas keagamaan sebagai unsur paling penting dalam islam, sehingga disebut “lima arkan”, atau kelima tiang agama islam, yaitu syahadad, atau pengakuan diri sebagai penganut agama islam; shalat, atau sembahyang; zakat, memberikan pada fakir miskin; shaun, atau puasa; dan akhirnya hajj, atau menunaikan ibadah haji ke Mekah. Sistem yang menyangkut keyakinan serta pengetahuan tentang Kata – Kata Allah disebut ilmu ‘l-qalam. kelima arkhan tersebut tercantum di dalam syari’ah yang diatur menurut hukum islam, dan merupkan aktivitas – aktivitas keagamaan yangyang terpenting dalam sistem upacara orang – orang santri di Pulau Jawa.
5.Sistem Upacara Orang Santri
Sembahyang, Atau Pembacaan Ayat- ayat Suci
Rukun Islam yang kedua, yang oleh orang Jawa disebut salat atau sembahyang.,merupakan ritus pokok orang santri yang terdiri dari serangkaian gerak dan ucapan surah –surah Qur’an yang harus dilakukan lima kali sehari.
Berbeda dengan ndonga, yaitu doa yang diucapkan oleh seseorang dn ditunjukkan kepada llh atau mahluk – mahluk gaib lainnya pada saat – saat apapun bila orang itu memerlukannya , dan melakukannya dengan kata – kta sendiri dalam bahasa Jawa, dan tidak perlu dengan bahasa Arab. Sembahyang itu harus dilakukan lima kali sehari pada waktu – waktu tertentu, yaitu (1) sembahyang subuh, pada waktu matahari terbit, (2) sembahyang luhur, tengah hari, (3) sembahyang asar,kira – kira jam 3 siang, (4) sembahyang maghrib, waktu matahari terbenam, (5) sembahyang isya, di malam hari.
Kelima upacara sembahyang tersebut haus dilakukan diantara kegiatan – kegiatan orang sehari – hari, dan siapapun, baik yang tinggal di kota maupun di desa.
Orang boleh melakukan sebahyang seorang diri di sebarang tempat dimana ia kebetulan berad pada saat yang ditentukan untuk bersembahyang, baik dirumah, di kantor, atau di jalan sekalipun. Walau demikian sembahyang lebih baik dilakukan bersama – sama orang lain.seperti pada waktu sembahyang pada umumnya, didahului dengn adzan oleh seorang bilal. Kecuali di masjid di Jawa mempunyai bedhug yang dipukul untuk memanggil oang untuk sembahyang.
Jakat Pitrah, Pemberian Pada Orang Miskin
Rukun Islam yang kedua yaitu zakat, hukum islam dari madzab Syafi’I menentukan jenis dan jumlah seekh yang harus diberikan, siapa yang berhak menerimanya, dan jumlah yang boleh diterimanya (Juynboll 1925: 77 - 94).
Umumnya di Indonesia dan khususnya di Jawa, jakat diberikan dalam bentuk bahan makanan, yaitu beras yang sudah ditentukan jumlahnya.Sebagian besar dari beras jakat, dibagi – bagikan kepada para petugas masjid setempat, dan sisanya diberikan pada fakir miskin. Para petugas masjid memang berhak menerima bagian dari jakat , sesuai dengan ketentuan dalam hukum islam; lagi pula, mereka diangg memerlukannya, karena kesibukan mereka mengurus para jemaahnya sehingga mereka tidak sempat mencari penghasilan bagi diri mereka sendiri.
Oleh karena hukum islm melarang pengumpulan zakat dengan paksa maka biasanya hanya sebagian kecil saja dari umat yang memberikan zakat secara teratur; para santri biasanya memberikan zakat mereka kepada orang – orang tertentu, seperti cendikiawan – cendikiawan atau guru – guru agama., tau lembaga – lembaga sosial seperti panti asuhan, rumah sakit dan sebagainya. Namun baik orang santri maupun para penganut Agami Jawi biasanya memberikan zakat kepada mesjid untuk dibagi-bagikan kepada para petugas mesjid dan fakir miskin.Pada waktu menjelang hari raya idlfitri yang disebut jakat pitrah. Jumlah beras yang harus diserahkan untuk zakay adalan 2,5 kilogram tiap orang, yang diserahkan pada petugas mesjid yang disebut amil, sambil mengucapkan niyyat.
Siyam, Atau Puasa
Cara orang santri melakukan puasa (siyam) tidak berbeda dengan para penganut Agami Jawi, walaupun tanpa upacara – upacara slametan.Namunperlu kiranya dicatat bahwa bagi orang santri, siyam sebagai slah satu rukun agama islam yang dianggap sebagai suatu hal yang sngat penting.
Dhikir
Baik penganut agami jawi, tetapi terutam orang santri melakukan suatu upacara dimana semua orang yang hadir menyebutkan nama Allah dan mengucapkan tahlil, yaitu “la ilaha illa’l-Allah” beberapa kali dan menggunakan tashbih untuk menghitungnya. Upacara yang dalam bahasa Jaw disebut dhikir itu dilakukan sesuai pembacaan ayat – ayat Qur’an pada upacara slmetan kenduri.Dhikir diucapkan sambil duduk bersilang kaki, dengan menggoyang – goyangkan tubuh ke kanan dan ke kiri mengikuti irama.Makin cepat iramanya, makin cepat pula gerakan tubuhnya, sehingga yang keluar dari mulut hanyalah suara bergumam yang tidak jelas bunyinya, dengan nada naik turun, sesuai dengan iramanya.Dalam gerakan mistik tarekat diantara orang satri, dhikir merupakan bagian pokok dari upacaranya. Ada dua macam dhikir, yaitu dhikir kapi(dhikir yang lembut) dan dhikir jahar (dhikir yang keras). Dalam dhikir kapi kalimat kalimat“la ilaha illa’l-Allah” hanya diucpkan dihati saja, atau dengan suara yang sangat lembut sehingga hampir tidak terdengar, dilakukan dengan mata terpejam dan bibir hampir tidak bergerak. Untuk melakuknnya nafas harus benar – benar diatur untuk menjaga kewaspdaan dn konsentrasi jiwa, sedangkan pikiran harus selalu tertuju pada Allah. Dhikir jahar dilkukan dengan engucapkannya keras – keras seperti menggoyang – goyangkan tubuh seperti yang disebut diatas.
Hajj Dan Kurban
Bagi seorang santri, perjalanan ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji (minggah kaji) merupakan salah satu rukun islam yang wajib dipenuhinya, yaitu: (1) perjalanan yang akan ditempuhnya harus dijamin aman; (2) kesehatan harus baik; (3) jemaah wanita harus mendapat izin dari suaminya, dan sesuai dengan peraturan dalam syari’ah, ia harus ditemani oleh seorang pria; (4) keluarga yang ditinggl dirumh harus terjamin kedaannya. Ampai tahun 1922 pemerintah kolonial Belanda jarang memberikan paspor dan izin berangkat untuk melakukan perjallanan ke tanah suci, dn karena itu orang Indonesia, terutam orang – orang santri jawa yang berhasil menunaikan ibahdah haji sangat sedikit jumlahnya, sehingga orang haji mendapat kedudukan yang sangat tinggi dimata masyarakat pada waktu itu.
Sesudah perang dunia ke II pemerintah Indonesia memberikan kemudahan bagi warganya yang ingin pergi ke tanah suci, dan segala urusan yang bersangkutan dengan perjalanan ke tanah suci, dari awal hingga akhir ditangani oleh Direktort Urusan Haji, yang berada di bawah Departemen Agama.
Apabila salah seorang anggota keluarga santri pergi naik haji, keluarga yang dirumah pada tanggal 10 Besar, yaitu pada waktu para jemaah haji melakukan upacara kurgan di lembah Mina, mereka harus mengadakan salatu ‘l-‘id pada pagi hari, dan memotong seekor kambing atau anak sapi untuk disedekahkan kepagda fakir miskin atau tetangga. Merka sendiri juga diperbolehkan mkan sebagian dari daging itu. Upacara kurban biasanya dilkukan oleh para petugas masjid , yakni oleh modin atau kaum, yang faham cara – cara melakukannya.
Bagi orang agami jawi hari besar yang penting ini biasanya berlalu begitu saja ; tetapi di kraton Yogyakarta dan Surakatrta diadakan upacara kerajaan grebeg besar.
Perayaan – Perayaan Dan Upacara – Upacara Tahunan
Hari – hari besar yang dirayakan oleh orang santri tentu saja sama dengan yang dirayakan oleh para penganut Agami Jawi , yaitu tanggal 1 Sura (1 Muharram); tanggal 10 Sura; hari Rabu terakhir bulan Sapar ; tanggal 12 Mulud; tanggal 27 Rejeb; suatu malam ditngah bulan Ruwah; tanggal 1 Syawal, dan 10 Besar.
Pertunjukan Ceritera – Ceritera Maulid
Ceritera - ceritera itu mengishkan berbagai tahap dalam kehidupn Nabi Muhammad , dan ditulis dengan bahasa Arab dengan bentuk prosa berirama. Beberpa kumpulan ceritera Maulid yang paling disukai telah diterjemahkan ke dalam bahasa – bahasa setempat.Dua yang paling dikenal orang santri yaitu suatu karangan oleh Ja’far al-Barzanji, dan suatu karangan yang berjudul Sharafi ‘l-anam.Pada hari – hari besar Islm yang penting, bagian – bagian dari kupulan ceritera itu dibawakan oleh ahli – ahli dongeng khusus, antara lain pada hari – hari menjelang tanggal 12 Mulud , yaitu hari kelahiran serta wafatnya Nabi Muhammad ; dan pada malam hari menjelang tanggal 27 Rejeb., untuk memperingati kenikan Nabi Muhammad ke surga. Pertunjukan biasnya diadakan di masjid
Upacara – Upacara Ritus Sepanjang Lingkungan Hidup Orang Santri
Orang santrijuga melakukanritus untuk merayakan beberapa peristiwa tertentu dalam lingkar hidupnya.Orang santri tidak merayakan peristiwa kehamilan tujuh bulan, tetapi mengadakan upacara sedekah pada bayi yang berumur tujuh hari, yang dinamakan upacara kekah.Upacara pemotongan rambut bayi sekaligus pemberian nama.
Upacara kekah disertai dengan pemotongan seekor anak sapi atau dua ekor kambing bagi anak laki – laki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan.Daging kurban itu sebagian diberikan kepada tetangga dan sebgian lagi diberikan kepada mesjid untuk dibagikan pada fakir miskin.Keluarga yang menyelenggarakan itu juga mengambil sebagian daging untuk dimakan bersama.
Berbeda dengan penganut Agami Jawi ,yang juga mengadakan upacara selametan pada peristiwa – peristiwa itu. Seperti upacara tedhak siti dan upacara peringatan hari weton, yang tidak diadakan oleh orang santri. Sebaliknya, orang santrimengnggap penting upacara khitanan , karena sesuai dengan hukum islam, dan merupakan upacara yang wajb dilakuka oleh anak pria maupun wanita.
Upacara perkwinan orang santri mirip dengan upacara perkawinan orang Agmi Jawi , walaupun orang santri lebih memperlihatkan aspek – aspek keagamaan, yaitu upacara ijab dan santapan pengantin (dhahar klimah). sifat keramat dhahar klimahitu berdasarkan hdits dan buku hukum madzhab Syafi’i.
Upacara Kematian
Upacara ini pada umumnya antara orang santri tidak berbeda dengan orang Agami Jawi.Namun dalam Agami Jawi tidak ada acara sembahyang di hadapan jenzah yang dilakukan oleh pengunjung yang datang melayat.
Orang santri melakukan semua upacara selametan orang meninggal, yitu pada hari ketiga, ketujuh, kesepuluh, keempatpuluh, kesetarus dan keseribu.Yang terlarang bagi mereka hnyalan slametan surtanah saja.Pada upacara slametan itu, sedekah atau kenduri, dhikir merupakan unsur yang penting.
Para Petugas Agama Islam
Agama islam adalah suatu agama tanpa pendeta, karena agama islam dan Negara Arab mula – mula merupakan satu organisasi keagamaan.
Kepala mesjid pada umumnya adalah penghulu . kecuali mengelola bangunannya serta segala urusan mesjid , seorang penghulu di Indonesia pada umumnya dan di Jawa khususnya mempunyai tugas yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan mesjid, seperti misalnya mengurus administrasi pernikahan, perceraian dan rujuk, serta mencatat hal – hal yang mengenai tanah – tanah warisan dan tanah wakap serta mengenai jakat tersebut diatas.
Keculi itu seorang penghulu kepala mejit seringkali juga dipanggil di luar hari dinas, untuk memimpin suatu upacra kemtian, oleh karena itu ia dianggap mampu mengucapkan ayat – ayat Qur’an dan melakukan shalat sebagaimana mestinya. Akhirnya ia harus bertindak sebagai seorang imim pada upacara sembahyang Jum’at di mesjid.
Sebagai pemimpin dari berbagai upacara keagamaan, seorang penghulu dibantu beberapa pegawai seperti misalnya ketip, modin, amil, dan merbot.Mengingat istilah sebutan mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa “ketip” asalnya dari bahasa arabkhatib, yang biasanya membawakan khotbah sebelum diadakan sembahyang Jum’at. “Modin” berasal dari kata arabmu’addzin, dan merupakan sebutan bagi orang yang menyuarakan adzan.Seorang amil bertugas menctat dan menbagi-bagikan zakat. Seorang merbot adalah seorang pekerja yang harus membersihkan mesjid, menjaga agar bak air untuk melakukan wudhu senantiasa terisi penuh, dan menjadi pesuruh penghulu dan petugas – petugas yang lain.
GERAKAN MISTIK, MAGIC DAN ILMU KEBATINAN
(Koentjaraningrat dan As’ad El Hafidy M.H)
Kebatinan Kejawen
Orang orang agami jawimerasa bahwa kehidupan beragama yang hanya berpusat kepada serangkaian upacara selametan, memberikan sajian pada waktu – waktu tertentu dan ditempat – tempat tertentu, serta berziarah ke makam – makam, namun mereka merasa hal tersebut tidak mamuaskan dn dngkal. Oleh karena itu mereka mencari penghayatan mengenai inti hidup dan kehidupan spiritual manusia.Berbagai gerkan yang dinamakan gerakan kebatinan kejawen yang berusaha menemukan suatu kehidupak spiritual yang legih berarti telah muncul tetapi kemudian menghilang kembali sepanjang sejarah kebudayaan Jawa.Istilah kebatinan itu menandakan bahwa di dalam semua gerakan itu para anggotanya mencari kebenaran dalam batin diri sendiri.
Kebanyakn gerakan kebatinan di Jawa merupakan gerakan lokal saja, dengan anggota yang terbatas jumlahnya, yakni tidak lebih dari 200 orang. Gerakan – gerakan seperti itu secara resmi disebut “aliran kecil” , seperti Penunggalan, Jiwa Ayu, dan Pancasila handayaningrat dari Surakarta; Ilmu Kebatinan Kasunyatan dari Yogyakarta; Ilmu Sejati dari Mdiun; dan Trimurti Naluri Majapahit dari Mojokerto.
Sebagian kecil dri gerakan kebatinan mempunyai anggota lebih dari 200 orang, dan malahan ada yang beranggotakan lebih dri 1000 orang tersebar di berbagai kota di Jawa dan terorganisir dalam cabang – cabang. Gerakan seperti ini secara tresmi dinamakan “aliran besar” , dan lima yang terbesar adalah Hardapusara dari Purworejo, Susila Budi Dharma di Semarang, Paguyuban Ngesti Tunggal dari Surakarta, Paguyuban umanah dan Sapta Dharma dari Yogyakarta.
Hardapusara adalah yang tertua diantara kelima gerakan yang terbesar itu, yang dalam tahun 1895 didirikan oleh Ki Kusumawicitra, eorang petani dari Desa Kemanukan dekat Purworejo. Ia konon menerima wangsit , dari ajaran – ajaran semula disebut kawaruh kasunyatan gaib. Para pengikutnya mula – mula adalah seorang priyayi dari Purworejo dn beberapa kota lain di daerah Bagelen.
Susila Budi Dharma didirikan pada tahun 1025 di Semarang, pusatnya sekarang berada di Jakarta.Gerakan ini tidak mau disebut gerakan kebatinan, melainkan menamakn dirinya “pusat latihan kejiwaan”.
Paguyuban ngesti tunggal, atau pangestu,adalah sebuah gerakan lain yang luas jangkauan nya. Didirikan oleh Sornarto.Pangestu didirikan di Surakarta dalam bulan Mei 1949dan anggota – anggotanya yang kini sudah berjumlah 50.000 orang di pulau Jawa.
Paguyuban Sumarah merupakan orgnisasi besr yang dimulai sebgai suatu gerakan kecil, dengan pemimpinnya bernama sukirno dari Yogyakarta.Jumlah anggota kini sudah mencapai 115.000 orang.
Sapta Darma adalah yang termuda dari kelima gerakan kebatinan yang terbesar di Jawa., yang didirikan pada tahun 1955 oleh seotrang guru gama bernama Harjosaputro, yang kemudian berganti nama menjadi Panuntun Sri Gutomo, berasal dari Desa Koplakan, dekat Pare. beranggotakan orang – orang dari daerah pedesaan dan orang – orang pekerja kasar yang tinggal di kota – kota. Walaupun demikian, para pemimpinnya hampir hampir semuanya priyayi .
Walaupun gerakan – gerakan kebatinan ad di seluruh daerah orang Jawa, namun Surakarta sebagai pusat Kebudayaan Jawa dimana terdapat paling banyak organisasi kebatinan yang terpenting.Dalam tahun 1970 ada 13 organisasi kebatinan.
Menurut M.M Djojodigoeno, ada empat macam gerakan kebatinan di Jawa, yaitu : (1) yang terpokok pada mistik, (2) yang terpokok pada teosofi, (3) gerakan – gerakan moralistik dan etik yang berpokok pada pemurnian jiwa, dan (4) gerakan – gerakan yang berpokok pada praktek – praktek ilmu gaib dan ilmu dukun.
Gerakan-Gerakan Mistik Kebatinan
·Menurut pandangan ilmu mistik kebatinan orangjawa, kehidupan manusia di dunia ini hanyalah sebagian kecil dari kehidupan alam semesta yang abadi, dimana manusia itu seakan-akan “berhenti sebentar untuk minum” dalam menjalani suatu perjalanan yang tidak henti-hentinya untuk mencari tujuan akhirnya yaitu bersatu dengan sang pencipta.
·Hal yang harus dilakukan untuk menganut mistik dibawah pimpinan guru dan panuutun agama adalah kemauan dan kemampuan untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu memiliki sifat rila (rela) untuk melepaskan segala hak milik, pikiran atau perasaan untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki. Kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia kebendaan dan kehidupan duniawi juga melibatkan sifat narima, yaitu sikap menerima nasibdan sikap bersabar. Sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh melalui hidup sederhana, hidup bersih, dan melakukan berbagai kegiatan upacara yang meningkatkan kemampuan untuk berkonsentrasi dengan jalan pengendalian diri dan melakukan berbagai latihan bersemedi. setelah seseorang sudah bisa bebas dari beban kehidupan duniawi (pamudharan) dan melewatitahapan yang lainnya, maka pada suatu saat nanti akan bersatu dengan Tuhan (jumbuhing kawula Gusti, atau manunggaling kawula Gusti). Kemudian orang itu juga wajib amemayu ayuning bawana, yaitu berusaha memelihara dan memperindah dunia dengan jalan melakukan hal-hal yang baik, dan hidup dengan penuh tanggung jawab.
Gerakan Untuk Purifikasi Jiwa
·Cara untuk mencapai pirifikasi jiwa pada dasarnya adalah dengan menjalankan kehidupan yang penuh tanggung jawab, baik secara moral, sederhana, mampu membebaskan diri dari keduniawian, mempunyai sikap yang baik terhadap kehidupan, nasib dan kematian, dan melakukan semedi secara ketat. Gerakan-gerakan kebatinan ini berusaha mencari kebebasan rohaniah individu, bersifat agak individualis dan geraka intu menarik bagi orang-orang yang membuttuhkan kehidupan keagamaan tanpa harus menaati peraturan-peraturan keagamaan yang resmi secara ketat, namun sesuai dengan adat istiadat.
Kebatianan Yang Berdasarkan Ilmu Gaib
·Gerakan ini biasanya hanya beranggotakan puluhan saja, berpusat dikota-kota, bersifat rahasia, dengan tujuan yang bersifat mistik, moralitas atau etis, dan di pimpin oleh seorang guru. Untuk mencapai tujuannya para anggota gerakan ini banyak ,melakukan praktek-praktek ilmu gaib, disamping melakukan studi dan bersemedi.
·Awalnya gerakan ini merupakan organisasi yang mengajarkan seni bela diri pencak. Mereka sering melakukan berbagai ritus gaib secra rahasia yang dimaksudkan agar muridnya memperoleh kekebalan dan kesaktian. Dan ini mengakibatkan kelompok-kelompok semacam itu berubah menjadi organisasi rahasia yang melakukan ritus-ritus ilmu gaib untuk memperoleh kekuata gaib, dan bukan lagi merupakan organisasi untuk mengajarkan seni bela diri pencak seperti tujuan semula.
Gerakan Mesianik
·Gerakan mesianik dijawa mempunyai tujuan praktis dan duniawi, dan tidak didasarkan gagasan-gagasan mengenai dunia akhirat. Menurut sartono, gerakan mesianik ini muncul tidak untuk melarikan diri dari kenyataan hidup, akan tetapi sifatnya yang sinkretistik menyebabkan bahwa sukar untuk membedakan dengan jelas antara gerakan-gerakan seperti itu dengna gerakan-gerakan keagamaan lainnya.
·Sifat dari gerakan mesianik jawa pada umumnya adalah untuk berusaha kembali kekebudayaan dan tradisi nenek moyang, dan mengagung-agungkan kebudayaan dan tradisi nenek moyang itu, yang sudah dilanggar dan mendapat pengaruh dari pendidikan belanda serta para pegawai pemerintahan setempat yang mendapat tekanan dari kolonial. Kemudian mereka mendirikan suatu kerajaan yang dipimpin oleh seorang Ratu Adil.
Gerakan-Gerakan Kerohanian Orang Santri
Gerakan kerohanian santri ini dapat diklasifikasikan menjadi: (1) gerakan yang titik beratnya pada mistik, (2)gerakan-gerakan puritan yang berpedoman kepada kembalinya suatu masyarakat keagamaan yang bersifat murni dan keyakinan serta perilaku agama serta tradisi islam. (3) gerakan-gerakan yang berpedoman pada keyakinan mesianik. (4) gerakan-gerakan yang berpusat pada kegiatan-kegiatan ilmu gaib dan ilmu dukun.
orang-orang yang menganut aliran ini biasanya disebut tarekat, dibawah pimpinan seorang guru yang disegani oleh penduduk sekitar dan biasanya disebut kiyai. Ada beberapa kriteria untuk menjadi pemimpin tarekat atau seorang guru mistik. Yaitu:
·menjalani latihan dalam sebuah pesantren atau dalam tarekat lain dan telah mendapatkan ijasah. Lalu kemudian mendirikan pesantren atau tarekat baru.
·mempunyai riwayat hidupa yang panjang, belajar ilmu mistik pada guru-guru terkenal, kemudian mengajar diberbagai pesantren atau sekolah tarekat, baru kemudian setelah merasa cukup berpengalaman mendirikan tarekat sendiri
·Mempunyai wakil-wakil yang taat kepadanya dan siap melayaninya setiap waktu.
Solidaritas para siswa, para pengikut dan para penganut suatu pesantren tarekat dibuat lebih intensif dengan mengadakan ritus-ritus sekeliling makam tokoh pemimpin legendaris dari tarekat itu yang dibangun dihalaman pesantren.Makam ini juga dipuja-puja sebagai pepeundhen oleh masyarakat sekelilingnya yang bahkan tidak terkategori sebagai santri.
Para siswa pesantren mempelajari ilmu ifiqh (hukum islam), ilmu iqalam (teologi), dan ilmu ttashawwuf (ilmu mistik). Jenis dzikir yang dilakukan yaitu dzikir jahar, atau dzikir kapi, atau suatu kombinasi dari keduanya dilakukan sesuai dengan aliran mistik tarekat yang bersangkutan.
Gerakan-gerakan agama bersifat Islam puritan, menghendaki kembalinya agama islam kepada pelajarannya yang asli. Pada gerakan islam puritan ini upacara dzikir tidak ada. Salah satu gerakan puritan yang ada adalah sekte budiah yang didirikan pada abad pertengahan ke 19 oleh Haji Muhammad Rifangi dari desa kalisalak. Gerakan islam puritan tidak melakukan kegiatan pemberontakan yang nyata, walaupun mereka memang menentang pemerintahan dan mengutuk agama-agama asing yang berkembang di daerah pekalongan dan daerah bagelan.
Juga ada gerakan imam mahdi yang mempunyai potensi lebih besar untuk berkembang menjadi kegiatan pemberontakan, yang mungkin disebabkan karena sifat dari gerakan mesianik yang memang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran orang akan datangnya seorang ratu adil. Sartono Kartodirdjo juga menyebutkan adanya gerakan-gerakan yang juga memberontak terhadap kekuasaan yang ada dengan dasar melakukan jihad, tetapi dengan menggunakan teror, perampokan, intimidasi, dan cara-cara kriminal lainnya.
7. Ilmu Gaib, Ilmu Sihir, dan Ilmu Petangan
Ilmu Gaib (ngelmi) dan tenung pada orang jawa merupakan subsistem dari religi, karena mengenai manusia ynag berhubungan dengan kekuatan-kekuatan superanatural, dan karena itu dianggap keramat. Orang jawa menganggap ngelmi itu bagian dari religi, dan memang ngelmi itu berkaitan dengan religi. Orang yang melakukan praktek ilmu gaib berusaha mencapai suatu tujuan dengan cara aktif, yaitu dengan menganggap bahwa ia dapat memanipulasi dan mengendalikan berbagai kekuatan gaib. Dalam menjalankan aktivitas itu ia mengucapkan mantra-mantra dimana ia mengutarakan kehendaknya (gadhah pikajeng). Sebaliknya, orang yang melakukan suatu upacara religi menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan, kepada para dewa, atau kepada mahluk-mahluk gaib lain, dan berdoa agar permintaannya bisa terkabul.
Untuk berhubungan dengan alam semsta dean lingkungannya seseorang melakukan upacara ilmu gaib yang berpegang pada suatu sistem klasifikasi simbolik dan berasaskan pikiran asosiasi prelogik. Sehingga menyebabkan orang menyangka ada suatu kaitan yang erat antara gejala-gejala yang sering kali berbeda dalam prinsip dan fungsinya, tetapi kebetulan mirip dalam hal bentuk atau warnanya, terjadi bersamaan, berurutan, saling bertumpang tindih, terjadi ditempat yang sama, dan mirip bunyinya. Contohnya : yakin bahwa nasi tumpeng dan sebuah gunung mempunyai kaitan yang mendalam, yang disebabkan karena persamaan bentuknya. Yakin bahwa padi yang sudah masak kekunung-kuningan dan emas daun (praos) berkaitan, karena persamaan warnanya. Mekanisme pikiran yang berasaskan pikiran asosiasi prelogik juga menyebabkan bahwa banyak orang jawa yang buta huruf, yakni bahwa tindakan-tindakan yang hampir serupa mempunyai kaitan sebab-akibat.
Orang jawa juga yakin bahwa tidak hanya kekuatan gaib saja yang dapat dimanipulasikan dan dikendalikan untuyk mencapai suati tujuan dengan cara gaib, tetapi juga mahluk-mahluk gaib. Mahluk kecil yang disebut thuyul juga dapat dikendalikan dan diperintahkan oleh seorang dukun untuk mengusir roh jahat yang membawa penyakit para orang yang meminta pertolongan dukun itu.
Upacara-Upacara Ilmu Gaib
Tujuan upacara ilmu Gaib : (1) Untuk menghasilkan sesuatu. (2) untuk melindungi manusia atau komunitas. (3) untuk menyakiti atau menghancurkan saingan dan musuh. (4) untuk meramal masa depan. Selain itu ada empat macam upacara ilmu gaib. Yaitu ilmu gaib produktif, ilmu gaib protektif, ilmu gaib destruktif, dan ilmu gaib meramal.
Ilmu gaib produktifsering kali diadakan dalam rangka upacara religiomagis yang sifatnya komunitas, misalnya upacara untuk menghasilkan panen yang lebih baik, dan upacara untuk mendatangkan hujan. Ilmu gaib produktif biasanya bersifat baik, ilmu gaib ini termasuk ilmu gaib putih. Ilmu gaib produktif biasanya dilakukan demi kesejahteraan diri seseorang, kesejahteraan diri seseorang, kesejahteraan kelompok, kesejahteraan suatu masyarakat secara keseluruhan, dan karena itu dapat juga disebut ilmu gaib umum
Ilmu gaib protektifbiasanya dilakukan dalam upacara-upacara dengan maksud untuk menghalau penyakit dan wabah, membasmi hama tanaman dan sebagainya. Upacara-upacara semacam ini biasanya dilangsungkan dengan pertunjukkan wayang kulit sebagai suatu upacara ngruwat dengan menggunakan mantra-mantra dan menggunakan kekuatan energi yang dianggap ada dalam benda-benda keramat dan pusaka-pusaka suci. Ilmu gaib protektif jugta ada sub-sub kategori yang sifatnya lebih pribadi yang berkaitan dengan kebiasaan memelihara binatang. Seperti ilmu untuk memelihara kuda (ngelmi katuranggan), ilmu gaib untuk memelihara ayam jantan untuk disabung (ngelmi aben sawung), untuk memelihara jangkrik aduan (ngelmi aben jangkrik) dll. Selain itu juga ada buku-buku tradisional mengenai ilmu gaib jawa yang disebut primbon.
Pengetahuan orang jawa mengenai ilmu menyembuhkan penyakit
Sekarang ini sudah banyak masyarakat yang mengetahui penyebab penyakit yang diderita. Banyak orang desa yang mulai berobat kedokter ataupun ke puskesmas. Tapi masih banyak pula masyarakat jawa bahkan yang sudah terpelajarpun yang masih percaya kalau yang menyebabkan penyakit itu karena pengaruh gangguan roh jahat yang masuk, karena ada darah kontor, dan adanya benda-benda asing yang sengaja dimasukkan kedalam tubuh manusia. Sehingga mereka lebih memilih pergi kedukun untuk menyembuhkan penyakit. Dukun mengobati dan menyembuhakan orang menggunakan teknik ilmu gaib berdasarkan asas pikiran asosiasi prelogik. Selain itu dukun juga memanggil roh yang sedang mengembara untuk datang pada tubuh orang yang sedang sakit untuk mengusir roh jahat yang menyebabakan ia sakit. Seorang dukun biasanya juga menggunakan jamu tradisional untuk menyembuhkan orang sakit. Ilmu gaib untuk menyembuhkan penyakit ini juga menggunakan benda-benda pusaka yang diyakini mempunyai kekuatan terutama keris untuk menolak penyakit.
Ilmu Gaib Destruktif dan Ilmu Sihir
Ilmu gaib destruktif dan ilmu sihir biasanya digunakan oleh masyarakat jawa untuk hal-hal yang negatif dan biasanya merugikan orang lain. Sehingga termasuk golongan ilmu hitam. Misalnya saja digunakan untuk membalas dendam kepada orang yang tidak sengaja menghina atau menyakitinya. Biasanya mereka menyewa tenung dengan bayaran yang mahal muntuk menyakiti orang terseber atau membunuhnya. Teknik ilmu gaib yang paling banyak digunakan untuk menenung adalah perbuatan ilmu gaib imitatif, yaitu dengan cara membinasakan suatu benda (biasanya sebuah boneka) yang melambangkan si korban. Selain itu juga dibacakan mantra-mantra. Cara lain bisa menggunakan jimat yang sudah di isi dengan kutukan. Ilmu gaib ini biasanya digunakan untuk guna-guna. Biasanya untuk memperoleh perhatian dan cinta seseorang. Ilmu tenung juga sering digunakan untuk mencuri dengan membuat korban tertidur lelap.
MEMAHAMI KONSTRUKSI SOSIAL TRADISI ISLAM LOKAL
(Nur Syam)
A.Tradisi Islam Lokal Pesisir : Ritual – ritual Penting
Tradisi islam lokal memiliki keunikan tersendiri,seperti yang di ungkapkan masyarakat wilayah pesisir Palang, Tubn, Jawa Timur. Keunikan tersebut nampak dari berbagai pelaksanaan pacara ritual yang diselenggarakan dari zaman dahulu hingga sekarng. Setiap upacara yang diselenggarakan akan tampak adanya sesuatu yang dianggap sakral, suci tau sacred, yang berbeda dengan yang dialami , empiris, atau yang profan.diantara ciri – ciri sakral adalah adanya keyakinan, ritus, misteri dan supranatural. Representasi dari semu itu berupa sesaji atausesajen, bacaan suci (Al-Quran, tahlil dan ratiban), dan doa dalam berbagai variasinya. Di dalam upacara lingkar hidup, sarana ritus ini berupa bahan – bahan makanan yang tellah disucikan dengan cara – cara tertentu, ad prosesi “penyucian ” yang terlibat. Misalnya upacara kehamilan, terdapat proses penyucian melalui ritus bacaan doa, bacaan ayat – ayat suci Al-Quran dan juga pembutan simbol – simbol kesucian seperti penulisan nama Maryam atau Yusuf dan Muhammad, selain itu ada penulisan tokoh – tokoh pewayangan seperti arjuna, janaka dan sembodro.
Upacara di kuburan orang yang meninggal jug memilii keyakinan, misteri,dan penghormatan kepada nenek moyang atau leluhur yang sudah meninggal. Dalam tradisi mangananternyata tidk hanya mengandung dimensi memberikan sesajen kepada arwah leluhur dengan bahan makanan yang disucikan melalui doa – doa saja tetapi juga dengan tindakan menghormat. Ritual juga diberikan kepada sumur yang dianggap memiliki kekuatan gaib atau adikodrati. Dalam sistem keyakinan mereka bahwa pembarian kepada kekuatan gaib harus berbeda dengan pemberian terhadapm yang lain.
Bahkan tradisi ritual dulkadiran atau manakiban – sebuah upacara dengan tingkat kerumitan tinggi pun sarat dengan keunikan dan kesucian yang dimaksud.Kesakralan terasa begitu orang melakoni upacara, yaitu dengan mencuci beras harus ke sumur wali, mbah wali mejid.Orang yang mencuci beras harus suci dari hadath besar atau kecil serta harus lepas dari haid.Begitu pula dengan yang memasak. Harus suci karena yang akan diberi persembahan adalah Sultanul Auliya atau Wali Qutub yang memiliki tingkat kesucian lebih tinggi dibanding wali – wali lainnya.
Wilayah pantai utara memiliki keunikan sendiri dilihat dari banyaknya makam wali sebagai penyebar islam di tanah Jawa. Tak pelak bahwa islamberkembang ke wilyah lain melalui pesisir utara Jawa.
Dewasa ini, di seluruh makam wali tersebut dilakukan upacra khaul untuk menandai eksistensi “religius dan sosial” merek ditengah kehidupan masyarakat.Upacara khaul sudah menjadi semacam festival.Sebagai sebuah festival, tolok ukurnya adalah banyaknya orang yang datang, sehingga memunculkan nuansa ekonomi festival. Dengan demikian, sebuah upacara khaul sekurang – kurangnya menghadirkan tiga moment penting, yaitu ritual doa, festival kesenian, dan aktivitas ekonomi.
Dalam setiap makam wali menghadirkan nuansa sakral, yang berbeda dengan makam – makam pada umumnya.Memang tidak diketahui secara pasti, kapan pensakralan makam itu terjadi, tetapi jelasnya ada perlakuan khusus dari masyarakat lokal tentang makam – makam tersebut.Seluruh pensakralan bermuara pada penemuan berkah, dengan demikian makm mengandung mitologi dan mistifikasi. Hal itu tidak datang dengan sendirinya akan tetapi melalui proses pelembagaan dan habitualisasi. Untuk melestarikan mitos – mitos itu , digunakanlah berbagai sarana dan instrumen yang mendukukn, yaitu pengajian, tahlilan, yasinan, dan berbagai upacara yang bermuatan religius.
B.Konstruksi Sosial Tradisi Islam Lokal: Ekternalisasi, Objektivasi, Dan Internalisasi.
1.Eksternalisasi : Momen Adaptasi Diri
Eksternalisasi merupakan proses awal dlam konstruksi sosial. Merupakan momen adaptasi diri dengan dunia sosio - kultural dan sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan.Manusia menggunkan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia sosio – kulturalnya dan kemudian tindakannya juga disesuaikan dengan dunia sosio – kulturalnya. Secara konseptual, momen peyesuaian diri dengan dunia sosio – kultural tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Pertama, penyesuaian dengan teks – teks suci. Ungkapan di dalam teks – teks suci (Al-Qur’an dan Hadits) dapat dipakai sebagai pijakan untuk memberikan legitimasi tentang “benar” atau “tidaknya” tradisi yang dilakukan oleh para pendahulu yang disebut sebagai ‘ulama salaf yang salih”, ahli agama islam terdahulu yang terkenal kesalehannya, yang memiliki kemampuan untuk menerjemahkan ajaran islam sesuai dengan interpretsinya. Setiap upacara memiliki dasar legitimasinya masing – masing.Kitab Mujarabat yang berisi religio – magisme bisa saja dianggap sebagai kitab rujukan penting yang mendasari berbagai tindakan ritual. Penggunaan air kelapa sebagai air Zam – zam, ternyata bersumber dari kitab jenis ini. Upacara hari Asyura ternyata berasal dari sejarah lisan yang diyakini sebagai kebenaran – kebenaran historis. Upacara nyadran di sumur yang kemudian menjadi sedekah bumi., dianggap sebagai pelestarian warisan leluhur yang bersumber dri sejarah lisan. Upacara di makam, baik khaul, nyekar, atau ziarah makam, manganan kuburan jugamemperoleh legitimasi dari teks suci sebagaimana penafsiran mereka sendiri. Tradisi ziarah kubur telah ada semenjak Nabi Muhammd, Saw. Sedangkan festival ziarah (khaul) juga memperoeh legitimasinya dilihat dari substansi khaul yang berupa ziarah, tahlilan, yasinan, pengajian atau semua yang dianggap memiliki basis nilai didalam ajaran agama islam. Inti dari khaul yang sesungguhnya adalah ziarah kubur.
Kedua, penyesiuaian dengan nilai dalam tradisi lama. Ada du tindakan yang ditampilkan dalam proses penyesuaian tindakan individu dengan nilai dalam tradisi lama, yaitu penerimaan dan penolakan. Penerimaan terhadap nilai dan tradisi lama biasanya berwujud dalam tindakan partisipatif dalam berbagai upacara keagamaan yang dilakukan di berbagai ruang budaya.Namun ada juga sebagian warga yang menolak terhadap pelestarian nilai dalam tradisi lama. Penolakan itu juga berbasis pada teks – teks suci berdasarkan cara pandang mereka. Bentuk penolakan adalah dengan penggunaan bahasa, seperti sego neroko untuk memaknai upacara kematian, dianggap bahwa upacara itu adalah bentuk takhayul, bid’ah dan khurafat, sampai dengan tindakan pembakaran terhadap tempat – tempat yang dianggap suci oleh sebagian masyarakat lainnya.Selain itu juga berupa percobaan melanggar sebagai sarana untuk membuktikan bahwa kepercayaan – kepercayaan tersebut tidaklah benar danya atau hanya mitos yang dilestarikn.
2.Objektivasi: Momen Interaksi Diri Dengan Dunia Sosio – Kultural
Di dalam objektivasi, realitas sosial seakan berada diluar diri manusia. Ia menjadi realitas objektif .karena objektif, maka ad dua realitas, yaitu realitas diri yang subjektif dan realitas lainnya yang berada diluar diri yang objektif. Proses dalam objektivasi itu dapat diuraikan sebagai berikut :
Pertama, wali dn manusia biasa adalah dua entitas yang berbeda. Wali – wali adalh sosok yan g menpunyai kelebihan, karena kedekatannya kepada Allh.Dai dapat menjadi wasilah atau perantra yang dapat menghubungkan antara manusia dengan Allah untuk dapat menjadi wasilah harus memenuhi persyratan kedekatan dan kesucian tau menjadi orng suci.Kedektan bisa diperoleh karena upaya – upaya individual yng dilakukan dengan seseorang dalam berhubungan dengan Allah lewat dhikir atau wirid dan riyadah yang sistematis dan terstruktur. Melalui kedekatan akan muncul aura yang disebut sebagai kesucian.
Kedua, wali memiliki kekuatan supranatural dan manusia biasa hanya memiliki kekuatan natural.Agar sampai kepada kesadaran seperti itu diperlukan penyadaran yang dibarengi dengan penguatan – penguatan “kelebihan” melalui dalil – dalil atau nashnash yang memiliki rujukan sampai kepada Nabi Muhammad. Mislnya banyak sumur yang di nisbahkan kepada wali , hakikatnya berasal dari sunnah sahabat yang memiliki kecenderungan untuk membikin sumur. Di tanah arab banyak sumur yang di nisbahkan kepada para sahabat nabi, bahkan dhurriyah Nabi Muhammad telah membuat sumur ditempat Nabi pernah berhenti dalam perjalanan dakwahnya.
Ketiga, pelembagaan atau institusionalisasi, yaitu proses untuk membangun kesdaran menjadi tindakan. Di dalam proses ini, nilai – nilai yang menjadi pedoman dlam melakukan interpretasi terhadap tindakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan sehingga apa yang disadari adalah apa yang dilakukan. Mereka yang melakukan upacara tentunya tidak haya berdasar atas tindakan berpura – pura tetapi telah menjad tindakan tujuan. Dalam melakukan awalam dengan menggunakan wasilah – wasilah para wali,mereka tau siapa para wali itudan apa yang akan diperoleh dengan menggunakan wasilah itu. Jika mereka mengambil air sumur wali mereka juga mengerti arti pentingnya ir sumur itu bagi mereka. Jika mereka melakukan upacara – upacara mereka juga tau apa arti pentingnya upacara – upacara tersebut bagi dirinya. Melalui proses pelembagaan itu, tindakan individu telah diperhitungkan secara matang dan konseptual, sehingga tindakannya menjadi tindakan rasional bertujuan.
Keempat, habitualisasi atau pembiasaan, yaitu proses dimana tindakan rasional bertujuan itu telah menjadi bagian dari kehidupan seari – hari. Seseorang akan datang ke makam ketika dia merasa bahwa telah saatnya mereka melakukan ziarah makam, seseorang akan datang ke mesjid jika hal itu telah menjadi habitual-actionnya, seseorang juga datang ke sumur wali mnakala ia membutuhkan sesuatu darinya, seseorang yang datan berkali – kali ke ratiban juga didasari oleh keyakinan adanya habitualisasi tersebut.
Dari keseluruhan, ada agen yang memainkan peran sebagai individu atau kelompok individu untuk proses penyadaran , pelembagaan, dan habitualisasi. Di dalam kegiatan jam’iyah tahlil di masing – masing desa, maka didapati agen – agen yng menyuarakan pentingnya membangun dan menjaga bangunan – banguna suci tersebut sebagai lambang atau simbol islam dan sebagainya. Didalam berbagai ceramah atau pengajian yang diselenggarakan NU akan dijumpai kehendak melestarikan warisan ritual dan budaya itu sekligus.
3.Internalisasi: Momen Identifikasi Diri Dalam Dunia Sosio – Kultural
Internalisasi adalah proses individu melakukan identifikasi diri di dalam dunia sosio – kulturalnya. Internalisasi adalah momen penarikan realitas sosial ke dalam diri atau realitas sosial menjadi kenyataan subjektif.realitas sosial berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia akan teridentifikasi didalam dunia sosio-kulturnya.
Secara kodrati, maunsia memiliki kecenderungan untuk mengelompok. Artinya, manusia akan selalu berada di dalam kelompok, yang kebanyakan didasarkan atas rasa seidentitas,. Sekat interaksi tidak dijumpai jika manusia berada dalam identitas yang sama. Itulah sebab terjadi penggolongan sosial. Misalnya wongMuhammadiyah dan wong NU, wong Muhammadiyah dan wong ahli sunnah, orang tradisional dan modern.
Tabel
Dilektika Eksternalisasi, Objektivikasi, dan Internalisasi
Momen
Proses
Fenomena
Eksternalisasi
Penyesuaian diri dengan dunia sosio - kultural
Menyesuaikan dengan teks sesuai dengan interpretasi elit terdahulu, bahwa semua tindakan uoacara memiliki bass historis, ajaran dn nilai.
Menyesuaikan dengan bahasa dan tindakan upacara sebagaimana dicontohkan oleh ulama salaf yang saleh.
Objektivitas
Interaksi diri dengan dunia sosio – cultural
Penyadaran bahwa wali bukan manusia biasa , sehingga apapun yang ditinggalkan (berupa benda2)memiliki kekuatan yang berbeda dengan manusia biasa, memiliki kedekatan yang berbeda dengan manusia biasa, sehingga menjadi perantara hubungan dengan Allah. Pembiasaan tindakan melalui pengulangan tradisi dan pelembagaan tradisi dengan berbagai varian tindakan (pengajian didalam berbagai ruang budaya)
Internalisasi
Identifikasi diri dengan dunia sosio –cultural
Adanya penggolongan sosial yang berbasis historis dan teologi-ideologis, sehingga amalan – amalan antara wong NU dan Muhammadiyah dan bangan berbeda dan memunculkan ungkapan seperti Muhammadiyah tus, dan NU tus.
C.Sakralisasi, Mitologi, Dan Mistifikasi Dalam Tindakan Orang Jawa Pesisir; Alam Sebagai Subjek, Objek Dan Subjek-Objek
Masjid, makam, dan sumur adalah lokus penting dalam prosesi upacara pada masyarakat pesisir.Ketiganya menjadi tempat sakral dan penting dalam kehidupan masyarakat. Sebagai medan budaya, ketiganya memiliki keunikan tersendiri, yakni sebagai temat yang memiliki nuansa atau aura yang berbeda dengan yang profan atau duniawi. Proses penyelenggaraan disebut dengan selametan nerasal dari bahasa arabsalama yang mengalami desimilasi menjadi slamet, maknanya adaah memperoleh keselamatan. Jadi, baik proses maupun hasil akhir dari angkkaian upacara adalah memperoleh keselamatan dan kebahagiaan.oleh karen itu in order to motive atau motif tujuan dari rangkaian kegiatan itu adalah keinginan yang kuat untuk memperoleh keselamatan sehingga berbagai upacara dilakukan mulai dari upacara lingkaran hidup, upacara kalenderikal, upacara tolak balak, dan upacara hari penting.selain itu upacara penring yang dilakukan secara berkelanjutan adalah upacara di makam dan sumur. Upacara di makam adalah upacara manganan dan ataukhaul.,sedangkan upacara di sumur adalah upacara nyadran atau sedekh bumi.
Penempatan masjid, makam, dan sumur sebagai tempat sakral adalah pemikiran yang didasari oeh mitologi.Artinya, bahwa kesakralan itu “dimitoskan”.Ia menjasi sakral karena di mitoskan dengan sesuatu yng sakral. Untuk menjadi sakral harus memenuhi persyaratan sebagai sesuatu yang sakral, yaitu: pertama, ia memang sesuatu yang pantas disakralkan dan kesakralan itu melekat pada benda itu. Tidak semua makam dan sumur dianggap sakral karena tidak memiliki persyaratan sebagai sakral. Bagi sebagian umat islam, makam dianggap sakral kalau ia adalah makam orang yang pantas disakralkan, seperti wali atau penyebar agama islam. Dalam dunia mitologi, sosok manusia bisa menjadi manusia lebih, sebongkah benda juga bisa menjadi sebongkah benda plus. Manusia atau benda yang dimitoskan itu kemudian hidup dalam sejarah – sejarah lisan melalui proses pelembagaan, habitualisasi, dan legitimasi. Biasanya mellui proses yang diciptkan oleh kaum elit, terutama dalam proses kekuasaan. Jadi memitologikan makam, sumur, dan masjid jug melalui legitimasi kekuasaan. Misalnya untuk makam wali , biasanya oleh juru kunci atau abdi makam, untuk masjid dapat melalui ta’mir masjid, dan untuk sumur melalui tokoh lokal yang berkepentingan terhadap pelestarian tradisi tersebut.
Mistifikasi terjadi jika manusia atau benda memiliki kekuatan yang diyakini sebgai kekuatan lebih dibanding manusia atau benda lain. misalnya terdapat pada manusia yang memiliki ikelebihan dibidang tertentu yang sifatnya supranatural, kelebihan itu berada diluar sifat kemanusiaan lainnya. Mislnya Sunan Bonang memiliki misteri lebih besar dibanding dengan Syaikh Ibrahim Asmaraqandi, padahal Syaikh Ibrahim adalah kakeknya.
Mistifiksipun memerlukan ruang untuk dapat bertahan. Salahsatunya melalui proses pelembagaan cerita – cerita keunggulan yang dimiliki oleh wali tersebut. Misalnya masjdi Bonang akan tetap dipertahankan ditengah keinginan untuk memugarkan masjid tersebut menjadi baru dan modern. Entah dengan alasan agar tetap ada keberkahan bagi pembuat masjid terdhulu, akan tetapi yang jelas adalah untuk menpertahankan mistifikasi masjid tersebut.
Pemugaran terhadap makam suci juga akan mengalami proses mistifikasi. Hampir seluruh makam wali telah mengalami renovasi, akan tetapi yang dapat dilihat adalah proses melestarikan bentuk makam sebagaimana mestinya. Pemugaran sumur wali juga mengikuti proses pemugaran tempat atau bangunan suci lainnya. Jika ada yang diubah maka hanya asesori.
Pandangan tentang re-mistikasi dan re-mitologi muncul ketika orang melihat kembali dunia sepiritualnya yang hilang. Terlalu menganggap alam adalah semata-mata objek akan menyebabkan berbagai kurangnya penghargaan manusia terhadap alam , sehingga disana sini akan muncul sikap merendahkan alam.Dalam konteks dialektika, kiranya dapat digambarkan sbg:
Hubungan Antar Konsep : Interaksi Antara Abangan dan NU dengan lokus sakral, alam sebagai subjek dan berkah
Sakralisasi mistifikasi mitologi
Alam sebagai subjek
Spiritualisasi berkah
Makam sumur masjid
Dari hubungan antar konsep tersebut, dapat dirumuskan proposinya yaitu “ sakralisasi, mistifikasi, dan mitologis terhadap makam, sumur dan masjid terjadi ketika alam di pandang sebagai subjek sehingga menimbulkan tindakan spiritualisasi berkah.
Hubungan proposional antara sakralisasi, mistifikasi dan mitologi terhadap medan budaya, alam sebagai subjek dan tindakan magis
Sakralisasi mistifikasi dan mitologi terhadap medan budaya
Alam dipandang sebagai subjek
Tindakan magis
Hubungan antara konsep : interaksi antara NU dan muhammadiyah dalam keterkaitannya dengan lokus sakral dan alam sebagai subjek
Alam sebagai objek
Rasionalisasi materialisasi
Desakralisasi demitologi demistifikasi
Makam sumur masjid
Dari skema diatas dapat dirumuskan proposinya yaitu desakralisasi, demistifikasi, dan demitologi terjadi ketika alam dipandang sebagai objek sehingga menimbulkan tindakan rasional.
Hubungan proposional antara desakralisasi, demistifikasi, demitologi terhadap medan budaya dan alam sebagai objek dan tindakan rasional.
Desakralisasi demistifikasi dan demitologi terhadap medan budaya
Tindakan rasional
Alam dipandang sebagai objek
Interaksi Muhammadiyah, NU, dan abangan dengan alam sebagai subjek objek
Resakralisasi remistifikasi remitologi
Alam sebagai subjek dan objek
Rasionalisasi materialisasi berkah
Makam sumur masjid
Skema ini memberi petunjuk tentang proposisi yang bisa dirumuskan yaitu rekrasalisasi, remistifikasi dan remitologi terjadi ketika alam di pandang sebagai subjek atau objek sehingga menimbulkan tindakan rasionalisasi berkah.
Hubungan proposional antara resakralisasi, remistifikasi, remitologi dengan pandanga alam sebagai subjek atau objek dan tindakan rasional-magis
Resakralisasi remistifikasi dan remitologi terhadap medan budaya
Tindakan rasional-magis
Alam dipandang sebagai subjek atau objek
Dengan memahami komposisi ini kiranya dapat diketahui bahwa kata kunci orang mendatangi makam, sumur dan masjid keramat sebagai medan budaya hakikatnya adalah untuk memperoleh berkah.
D. Upacara di Sumur, Makam dan masjid : Makna-Makna Subjektif
Makam, sumur dan masjid dan tindakan-tindakan sosial di dalamnya dapat menggambarkan identitas seseorang dalam sebuah komunitas. penggolongan sosial seperti abangan, NU, dan Muhammadiyah pada hakikatnya dapat dilihat dari keterlibatannya di dalam berbagai upacara di dalam medan budaya tersebut.
Makna Tindakan berkaitan dengan konteks aktor dan simbol-simbol (in order to motive dan because motive)
No
Ruang budaya dan tindakan di dalamnya
Bacause motive
In order to motive
Pragmatic motive
1
Sumur (upacara nyadran, mengambila air dll)
Mengandung kesucian dan kesakralan, memilikimkekuatan adikodrati, dibuat oleh orang suci, dijaga mahluk halus
Untuk memperoleh berkah berupa kesembuhan dari penyakit, peningkatan kesehatan fisik, kecerdasan dan ketentraman hidup
Sumur sebagai sarana memenuhi kepentingan, adaptasi, interaksi, dan identifikasi diri terkait dengan berbagai macam upacara yang dianggap penting
2
Makam (upacara khaul, ziarah)
Makam suci, tempat menyimpan jenazah orang suci, memiliki kekuatan adikodrati dan menjadi perantara antara manusia dengan Tuhan
Untuk memperoleh berkah orang suci yang berupa kelancaran rezeki, kelancaran usaha, peningkatan kekayaan dan ketentraman hidup
Makam sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan adaptasi, interaksi dan identifikasi diri terkait dengan upacara yang dianggap penting dimakam
3
Masjid (ibadah kepada Allah, ratiban, barjanjenan, pengajian dan upacara lingkaran hidup )
Masjid adalah tempat suci, sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah, memuji kepada Nabi, dan tempat untuk sosialisasi agama islam
Untuk memperoleh pahala ibadah, untuk memperoleh syafaat Nabi, untuk menyebarkan agama islam kepada orang lain dan untuk memeperoleh keselamatan di dunia dan akhirat
Masjid sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan adaptasi, interaksi dan idenyifikasi diri terkait dengan upacara yang di anggap penting di masjid
E. Tempat-Tempat Suci, Upacara-Upacara dan Penggolongan Sosio-Religius
Didalam medan budaya ini akan mempertemukan beberapa kelompok berbagai segmen masyarakat. Masjid merupakan tempat dimana santri, baik NU dan Muhammadiyah bisa bertemu meskipun kadang terjadi perbedaan dan mendirikan masjid sendiri-sendiri. Selain itu sumur akan mempertemukan golongan abangan dan orang NU meskipun memiliki kmotif yang berbeda. Selain itu NU juga akan bertemu lagi dengan golongan abangan saat upacara manganan dimakam. Berbeda dengan kelompok Muhammadiyah yang hampir tidak memeiliki medan budaya yang sama dengan kelompok abangan. Antara kelompok NU dan abngan terdapat kedekatan dalam wujud kesaman medan budaya, sehingga memudahkan menarik orang abangan ke dalam NU dari pada menarik orang abangan kedalam Muhammadiyah.
Dengan bertemunya antara abangan dan NU, maka terjadi perubahan-perubahan didalamnya. Dari tradisi nyadran berubah menjadi kegiatan pengajian atau tahlilan atau yasinan. Tradisi manganan kubur berubah menjadi tahlilan dan yasinan. Pertemuan medan budaya ini menjadi momen penting bagi proses akulturasi budaya dikalangan abangan dan santri yang pada gilirannya terjadilah proses santrinisasai abangan.
F. Perubahan Budaya : Dari Tradisi Lokal ke Tradisi Islam Lokal
Di dalam tradisi terdapat 2 hal yang sangat penting, yaitu pewarisan dan konstruksi. Pewarisan menunjuk kepada proses penyebaran tradisi dari masa ke masa, sedangkan konstruksi menunjuk kepada proses pembentukan atau penanaman tradisi kepada orang lain.
Perubahan budaya terjadi pada aspek kognifif, tata upacara komunal dan juga perubahan pada level tindakan atau perfoman perilakunya. Berikut ini adalah perubahan-perubahan ritual keagamaan yang dimaksud :
no
Masa lalu
Masa sekarang
Medan budaya
1
Slametan, kendurenan
Tasyakuran
Masjid, rumah
2
Manganan kuburan
Khaul
Makam
3
Nyadran
Sedekah bumi
Sumur
4
Bancaan sepasaran
Aqiqahan
Rumah
5
Nyadran laut, tutup playangan
Sedekah laut
Pesisir
KESIMPULAN
Budaya Jawa yang ada saat ini adalah warisan nenek moyang dari zaman dahulu yang terus turun temurun hingga sekarang. Tradisi ini sebagian karena pengaruh Hindu Budha, karena kita ketahui bahwa Hindu Budha serta kepercayaan animisme dinamisme masuk ke Indonesia terlebih dahulu sebelum agama Islam. Sehingga Agama Islam yang sekarang adalah campuran dengan kepercayaan Hindu Budha (Islam kejawen) tetapi tidak semuanya, karena Islam itu sendiri di Indonesia terdiri dari banyak aliran Agama Islam. Sehingga hal ini menyebabkan adanya Agami Jawi dan Agami Islam Santri. Namun beberapa tradisi saat ini mulai ditinggalkan karena pengaruh perkembangan zaman dan modernisasi. Agama Islam di Pulau Jawa sebagian besar disebarkan oleh para wali yaitu ada sembilan orang wali yang biasa kita sebut wali sanga.
Banyak perbedaan antara Agami Jawi dan Agami Islam Santri, mulai dari sistem keyakinan hingga sistem upacara. Selain itu orang jawa juga percaya dengan gerakan mistik dan gerakan kebatinan, serta ilmu gaib, ilmu sihir, dan ilmu petangan. Jadi apabila ada sesuatu hal terjadi di bumi, baik itu fenomena alam, orang jawa banyak mengkaitkannya dengan hal-hal tersebut di atas, bukan secara logis atau nalar. Ini membuktikan bahwa tradisi yang ada di jawa masih cukup kental, terutama pada masyarakat pedesaan. Tetapi walaupun terjadi perbedaan dalam hal keyakinan pada masyarakat, hal ini jangan sampai dijadikan sebagai pemecah belah, seharusnya dengan adanya berbagai perbedaan membuat kita dapat saling menghargai dan menghormati antar sesama manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara Suwardi. 2005. Budaya Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
M.H.As’ad El Hafidy. 1982. Aliran-Aliran Kepercayaan dan Kebatinan Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Syam Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H