Desain pendekatan ini cukup kompleks sehingga merancang pengalaman pembelajaran yang efektif dan bermakna bagi siswa dapat menjadi tantangan dalam pendekatan ini. Pengajar perlu memiliki pemahaman yang baik tentang bagaimana merancang aktivitas yang relevan dengan materi pembelajaran serta bagaimana memfasilitasi siswa untuk refleksi yang mendalam.
- Kurangnya struktur yang jelas
Kurangnya struktur yang jelas menjadi salah satu kritik terhadap pendekatan ini. Pendekatan ini menekankan pengalaman langsung sebagai sumber utama pembelajaran. Namun pengajar mungkin tidak memberikan panduan atau kerangka yang memadai kepada siswa sehingga hal ini dapat mengakibatkan beberapa kebingungan pada siswa serta siswa bisa saja kehilangan fokus pada pelajarannya.
- Keterbatasan sumber daya
Penerapan experiantial learning sering kali membutuhkan sumber daya yang lebih banyak dan kompleks seperti biaya, waktu, dan tenaga pengajar yang terlatih. Hal tersebut bisa menjadi kendala, termasuk waktu guru untuk merencanakan dan mengawasi pengalaman siswa.
- Tidak Cocok untuk Semua Jenis Pembelajaran
Meskipun experiantial learning menawarkan banyak manfaat, penting untuk diketahui bahwa experiantial learning ini mungkin tidak cocok untuk diterapkan pada semua topik pembelajaran. Contohnya adalah perbedaan gaya belajar siswa yang mungkin lebih mudah memahami konsep melalui pembelajaran visual atau audiotory daripada belajar melalui pengalaman secara langsung, siswa dengan kebutuhan khusus seperti mereka yang memiliki gangguan spektrum autisme mungkin akan memerlukan interaksi sosial yang lebih intens atau anak dengan keterbatasan fisik akan membutuhkan mobilitas yang tinggi, keterbatasan topik dan materi seperti matematika murni dan teori-teori fisika yang abstrak akan lebih efisien jika diajarkan melalui metode tradisional yang lebih terstruktur.
- Evaluasi yang sulit
Mengukur hasil pembelajaran untuk pendidikan berdasarkan pengalaman bisa jadi lebih rumit dibandingkan  metode tradisional dikarenakan pembelajaran tidak hanya mencakup aspek kognitif saja tetapi juga aspek emosional dan psikomotorik. Penilaian biasanya merupakan evaluasi kualitatif, seperti observasi dan refleksi, dan tidak selalu memberikan gambaran objektif. Dalam beberapa kasus, metode penilaian tradisional seperti ujian tertulis atau tes standar mungkin masih diperlukan untuk mengukur pemahaman siswa terhadap konsep-konsep tertentu.
Kesimpulan
Experiential Education (EE) atau disebut juga dengan experiential learning merupakan pendekatan yang menekankan keterlibatan siswa secara aktif  melalui pengalaman langsung dan refleksi dalam proses pembelajaran. Konsep ini menawarkan banyak manfaat dan keunggulan dalam proses pembelajaran. EE memungkinkan siswa untuk menghubungkan teori dengan praktik sehingga kemampuan berpikir kritis dan refleksi, keterampilan praktis, dan motivasi siswa lebih meningkat.
Meskipun menawarkan banyak manfaat, EE juga memiliki tantangan tersendiri dalam penerapannya. Seperti desain pembelajaran yang cukup kompleks, struktur yang kurang jelas, kebutuhan sumber daya yang lebih besar, serta kurang cocok untuk diterapkan pada semua jenis pembelajaran. Hal ini menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Selain itu, evaluasi hasil pembelajaran dalam EE bisa menjadi lebih sulit karena melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang beragam, menggabungkan metode tradisional dengan EE, sehingga dapat memenuhi kebutuhan beragam siswa. Dengan demikian, pendidikan berbasis pengalaman dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan mempersiapkan siswa menghadapi kompleksitas dunia nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H