Tepat 3 September lalu, JPU KPK akhirnya membacakan tuntutan pada mantan ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) atas dakwaan korupsi kasus penerbitan SKL BLBI pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). JPU KPK menuntut SAT dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda 1 miliar subsidiari 6 bulan kurungan.
Setelah perjalanan sidang yang cukup panjang disertai puluhan saksi yang dihadirkan oleh JPU serta kuasa hukum terdakwa SAT sejak Mei 2018 lalu, saya cukup tercengang, berbagai fakta baru yang terungkap dalam persidangan tampaknya tidak berpengaruh banyak terhadap cara KPK merumuskan kasus ini.Â
Poin pertama saya yang bisa jadi poin utama adalah (lagi-lagi) masalah misrepresentasi. Setelah persidangan-persidangan bergulir ke hadapan publik---terlebih persidangan-persidangan di bulan Agustus, jelas bagi saya sebagai orang yang awam terhadap hukum bahwa terminologi misrepresentasi harus mendapatkan legitimasi terlebih dahulu dari pengadilan perdata. Pendapat ini didukung oleh saksi-saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan.
Terminologi misrepresentasi yang belum clear
Dalam tuntutannya, JPU KPK Khaeruddin mengatakan "Ketika menyampaikan usulan itu, terdakwa (Syafruddin) tidak melaporkan bahwa Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi." Tidakkah ini terasa seperti berputar-putar? Masalah utamanya, adakah misrepresentasi? Dalam persidangan, satu ahli hukum bisnis, Profesor Nindyo mengatakan selama belum ada keputusan pengadilan, tidak ada misrepresentasi.Â
Tidak berlebihan jika kuasa hukum SAT, Yusril Ihza Mahendra seperti yang dikutip dari JPNN kemudian mengatakan bahwa dakwaan KPK tidak berdasar dan lemah. "Tidak seorang pun saksi yang melihat dan mengetahui bahwa Sjamsul Nursalim pernah menyatakan utang petambak adalah lancar dan juga tidak ada bukti surat, ahli dan keterangan terdakwa yang menguatkan tuntutan jaksa," ujar Yusril.
Absennya Sjamsul Nursalim dalam proses negosiasi tampaknya tidak dijadikan pertimbangan untuk menguji terminologi misrepresentasi. Hingga kini, masalah ada/tidaknya misrepresentasi ini masihlah buram. Faktanya, dalam persidangan, Farid Hariyanto, mantan Wakil Ketua BPPN waktu itu menyatakan Sjamsul Nursalim sendiri tidak pernah hadir dalam proses negosiasi.
Kesaksian de auditu yang cacat
Dalam tuntutannya selanjutnya, KPK mendasarkan tuntutannya kepada keterangan saksi Rudy Suparman yang mengatakan bahwa Sjamsul Nursalim melalui advisor Credit Suisse First Boston (CSFB) mempresentasikan pinjaman kepada petani tambak sebesar Rp 4,8 triliun sebagai pinjaman lancar.
Kita tentu ingat kesaksian Kepala Divisi Penyelesaian Kredit Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Yusak Kasan seperti yang dikutip Suara, "Tidak pernah terbukti Sjamsul Nursalim menjamin utang petani tambak itu lancar, karena bukan kewenangannya dia (Sjamsul Nursalim)." Pengambilalihan ini terjadi di tahun 1998.
Menanggapi hal ini, Yusril menilai keterangan saksi tersebut tidak dapat digunakan sebab kesaksian tersebut merupakan kesaksian de auditu.Artinya, saksi tidak tidak mendengar, tidak melihat langsung, dan tidak mengalami sendiri.Â