Mohon tunggu...
Hukum

Sudah Tepatkah Tuntutan KPK?

4 September 2018   20:24 Diperbarui: 4 September 2018   20:44 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tepat 3 September lalu, JPU KPK akhirnya membacakan tuntutan pada mantan ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) atas dakwaan korupsi kasus penerbitan SKL BLBI pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). JPU KPK menuntut SAT dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda 1 miliar subsidiari 6 bulan kurungan.

Setelah perjalanan sidang yang cukup panjang disertai puluhan saksi yang dihadirkan oleh JPU serta kuasa hukum terdakwa SAT sejak Mei 2018 lalu, saya cukup tercengang, berbagai fakta baru yang terungkap dalam persidangan tampaknya tidak berpengaruh banyak terhadap cara KPK merumuskan kasus ini. 

Poin pertama saya yang bisa jadi poin utama adalah (lagi-lagi) masalah misrepresentasi. Setelah persidangan-persidangan bergulir ke hadapan publik---terlebih persidangan-persidangan di bulan Agustus, jelas bagi saya sebagai orang yang awam terhadap hukum bahwa terminologi misrepresentasi harus mendapatkan legitimasi terlebih dahulu dari pengadilan perdata. Pendapat ini didukung oleh saksi-saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan.

Terminologi misrepresentasi yang belum clear

Dalam tuntutannya, JPU KPK Khaeruddin mengatakan "Ketika menyampaikan usulan itu, terdakwa (Syafruddin) tidak melaporkan bahwa Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi." Tidakkah ini terasa seperti berputar-putar? Masalah utamanya, adakah misrepresentasi? Dalam persidangan, satu ahli hukum bisnis, Profesor Nindyo mengatakan selama belum ada keputusan pengadilan, tidak ada misrepresentasi. 

Tidak berlebihan jika kuasa hukum SAT, Yusril Ihza Mahendra seperti yang dikutip dari JPNN kemudian mengatakan bahwa dakwaan KPK tidak berdasar dan lemah. "Tidak seorang pun saksi yang melihat dan mengetahui bahwa Sjamsul Nursalim pernah menyatakan utang petambak adalah lancar dan juga tidak ada bukti surat, ahli dan keterangan terdakwa yang menguatkan tuntutan jaksa," ujar Yusril.

Absennya Sjamsul Nursalim dalam proses negosiasi tampaknya tidak dijadikan pertimbangan untuk menguji terminologi misrepresentasi. Hingga kini, masalah ada/tidaknya misrepresentasi ini masihlah buram. Faktanya, dalam persidangan, Farid Hariyanto, mantan Wakil Ketua BPPN waktu itu menyatakan Sjamsul Nursalim sendiri tidak pernah hadir dalam proses negosiasi.

Kesaksian de auditu yang cacat

Dalam tuntutannya selanjutnya, KPK mendasarkan tuntutannya kepada keterangan saksi Rudy Suparman yang mengatakan bahwa Sjamsul Nursalim melalui advisor Credit Suisse First Boston (CSFB) mempresentasikan pinjaman kepada petani tambak sebesar Rp 4,8 triliun sebagai pinjaman lancar.

Kita tentu ingat kesaksian Kepala Divisi Penyelesaian Kredit Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Yusak Kasan seperti yang dikutip Suara, "Tidak pernah terbukti Sjamsul Nursalim menjamin utang petani tambak itu lancar, karena bukan kewenangannya dia (Sjamsul Nursalim)." Pengambilalihan ini terjadi di tahun 1998.

Menanggapi hal ini, Yusril menilai keterangan saksi tersebut tidak dapat digunakan sebab kesaksian tersebut merupakan kesaksian de auditu.Artinya, saksi tidak tidak mendengar, tidak melihat langsung, dan tidak mengalami sendiri. 

Yusril menjelaskan lagi, "Inti perkara ini adalah tentang apakah ada atau tidak misrep? Karena fakta misrep itu tidak pernah terbukti maka tuntutan Jaksa yang menyebutkan bahwa Syafruddin Temenggung  melakukan perbuatan melawan hukum bersama sama  harus dinyatakan tidak terbukti," tegasnya.

Tempus deliscti yang tidak jelas

Timeframetindakan pidana atau tempus delisctijuga tidak lepas jadi sorotan. "Dalam tuntutan sama sekali tidak ditemukan kapan peristiwa korupsi yang dituduhkan kepada terdakwa itu dilakukan. Padahal ini sangat penting untuk membuktikan telah terjadi tindakan pidana korupsi," tegas Yusril. 

Seperti yang dipaparkan dalam laman NPS Law Offive ujuan perumusan tempus deliscti berguna untuk mengetahui 2 hal. 

Pertama, menentukan berlakunya hukum pidana [...] yakni "tidak ada perbuatan yang dapat dihukum selain atas kekuatan peraturan pidana dalam undang-undang yang diadakan pada waktu sebelumnya".

Dalam hal apakah perbuatan itu adalah perbuatan yang berkaitan pada waktu itu sudah dilarang dan dipidana. Jika undang-undang dirubah sesudah perbuatan itu tejadi, maka dipakailah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.

Kedua, menentukan saat berlakunya verjarings termijn (daluwarsa) sehingga perlu diketahui saat yang dianggap sebagai waktu permulaan terjadinya kejahatan.

 Bagi Yusril, dalam tuntutan ini, JPU hanya mengulang-ulang apa yang telah disampaikan dalam surat dakwaan sebelumnya. Seluruh dokumen, saksi, dan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan menunjukkan bahwa turunnya nilai aset karena dijual pada tahun 2007---tiga tahun setelah terdakwa SAT menyelesaikan tugasnya sebagai Ketua BPPN tahun 2004. 

"Itu artinya, SAT sudah menyelesaikan tugasnya sebagai Ketua BPPN dengan baik dan menyerahkan tanggung jawabnya kepada pada Menteri Keuangan pada tahun 2004, maka hal tersebut tidak dapat dibebankan kepada SAT," ujar Yusril lagi.

Ya, Yusril Ihza Mahendra memang mengatakan ia tidak terkejut dengan tuntutan JPU yang dibacakan 3 September lalu. Akan tetapi, bagi saya, jika diibaratkan sebuah film, pembuktian saksi-saksi di hadapan hakim selama 3 bulan ini tampaknya tidak berpengaruh banyak. Persidangan BLBI seperti kisah film plot sudah bisa ditebak. KPK yakin SAT tetap bersalah walau dalam persidangan terkuak bukti-bukti yang menampakkan hal-hal lain yang meragukan dan membuka berbagai kemungkinan lain. 

Fakta-fakta dalam persidangan setidaknya memperlihatkan inkonsistensi dalam tubuh BPPN itu sendiri. Motif SAT dalam melakukan tindakan pidana juga tidak kunjung ditemukan. Ada kickback-kah? Kapan, di mana, berapa besarnya? Sejujurnya, ketidakmampuan sidang mengungkap semua hal ini membuat saya bertanya: sudah tepatkah tuntutan KPK?  

- Penulis adalah pengamat media

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun