Kedua, merujuk pada prosedur kerja KKSK, langkah apa yang seharusnya dilakukan KKSK untuk mendorong penyelesaian utang-piutang yang dianggap bermasalah ini? Seandainya output masukan hukum dari TBH KKSK direspons secara positif pada KKSK sendiri, apa yang akan dilakukan KKSK pada BPPN?Â
Kalau responsnya negatif atau dengan kata lain anggota komite KKSK berseberangan pendapat dengan tim hukumnya, di mana pernyataan KKSK yang menyatakan hal ini? Saat ini, yang tampak, output masukan hukum dari TBH KKSK hilang di tubuh KKSK sendiri layaknya impuls syaraf yang terputus. Sehingga sekuat apapun otak bekerja dan merespons, impuls ini tidak menggerakkan apapun. Perlu kita tanyakan, di mana bagian syaraf yang terputus?
Lalu, apabila KKSK (yang setelah mendapat masukan dari tim TBH dalam tubuhnya sendiri) tidak mengambil langkah merespons, masuk akalkah jika eksekutornya atau BPPN dianggap bertanggung jawab atas ketiadaan umpan balik KKSK yang menjadi konseptor? Setelah BPPN mengeluarkan SKL pun, ketiadaan respons dari KKSK perlu dicatat.Â
Ketiga, pernyatan Todung Mulya Lubis yang mengatakan bahwa Sjamsul Nursalim misrepresentasi. Misrepresentasi yang dimaksud oleh Todung di sini bisa diartikan sebagai underperfomance---atau wanprestasi.
Seperti semua perjanjian utang-piutang, dalam perjanjian obligor BLBI Sjamsul Nursalim (yang dituangkan dalam MSAA) ada klausul yang mengatur hal ini. Pertanyaannya, apakah metode penyelesaian seperti yang diamanatkan perjanjian ini sudah dilakukan? Jika metode penyelesaian ini pada akhirnya tidak dilakukan, siapa pihak yang bertanggung jawab? Siapa yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan?
Perlu kita catat (lagi), masalah misinterpretasi ini sendiri masih menyisakan pertanyaan mendasar, benarkah Sjamsul Nursalim sebagai PS BDNI melakukan misrepresentasi? Sebab, definisi ini belum putus. Memang, ada pihak-pihak yang mengatakan Sjamsul tidak kooperatif atau melakukan misrepresentasi. Akan tetapi, ada pula pihak-pihak dalam BPPN sendiri yang mengatakan sebaliknya.Â
Pada kenyataannya sebelum kasus ini diusut KPK, tidak ada yang benar-benar datang ke pengadilan untuk mendorong masalah ini. Dalam pengadilan Senin lalu Taufik Mappaenre, mantan Deputi BPPN bidang Aset Management Investasi bahkan mengakui tidak menemukan adanya unsur misrepresentasi terhadap isi perjanjian MSAA. Karena tidak ada klaim yang perlu diajukan BPPN pada obligor, SKL diterbitkan. Kesimpulannya, Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi.Â
Sejalan dengan ini, Boediono, sebagai saksi sekaligus anggota KKSK pun mengatakan bahwa berdasarkan audit dan syarat-syarat prosedural, SKL BLBI sudah memenuhi aspek finansial serta hukum. "Dari sisi hukum, clearance tim hukum dan bahkan kalau tidak salah laporan yang disampaikan ada audit BPK disampaikan dalam rapat komite dan diusulkan ke BPPN untuk diberikan SKL," kata Boedion0 dikutip dari  Liputan 6 menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum KPK.
Dari hal tersebut, Komite KKSK menilai semuanya telah terpenuhi. "Komite melihat syarat-syarat aspek finansial dan hukum dipenuhi. Saya sebagai salah satu KKSK yang tidak keberatan memang syarat-syarat ini terpenuhi karena BPPN punya kewenangan terbitkan SKL," ujar Boediono. Â Pendapat Boediono ini tampak seperti berlawanan dengan pendapat TBH KKSK yang diwakili Todung---TBH yang dikatakan sudah memberikan masukan dan laporan bahwa Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi.Â
Di lain pihak, jika terminologi yang mau digunakan dalam melanjutkan kasus ini adalah Sjamsul melakukan misrepresentasi, hal ini perlu disepakati berbagai pihak---termasuk Sjamsul Nursalim sendiri. Karena, tanpa kesepakatan ini, upaya mencari pihak yang bertanggung jawab pada dikeluarkannya SKL BLBI ini ujung-ujungnya kekisruhan, dan hanya seperti pepesan kosong.Â
Ya. Pepesan kosong, saat semua orang ribut tak tentu arah mempermasalahkan sesuatu yang belum jelas definisinya, saling menyalahkan, menunjuk kambing hitam, sambil mencoba menyelamatkan diri. Familiar?