Mohon tunggu...
Analisis Pilihan

Kesaksian Kwik, Klarifikasi atau Cuci Tangan?

7 Juli 2018   14:15 Diperbarui: 7 Juli 2018   14:38 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita persidangan kasus BLBI yang memeriksa mantan Kepala BPPN Sjafruddin Tumenggung beberapa pekan terakhir makin menarik saja. Terlebih kesaksian ekonom senior Kwik Kian Gie, yang memang terkenal suka bicara ceplas-ceplos, sangat menarik untuk diikuti. Namun, sebagai orang awam yang mengikuti berita ini, tersirat pertanyaan di benak saya, apakah Kwik sedang melakukan klarifikasi atau dia justru berusaha melakukan cuci tangan agar tidak terseret kasus ini? 

Kwik menjabat sebagai Menteri/Kepala Bappenas dalam Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputeri, ketika Syafruddin Arsyad Temenggung mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepala sejumlah obligor BLBI. Jadi, Kwik adalah bagian dari pemerintah saat itu. Alangkah sulit dicerna dan dimengerti mengapa ia seolah merasa diri paling bersih, bahkan terkesan ingin menyudutkan kolega-koleganya sesama menteri dan Syafruddin dalam pemberian SKL tersebut.

Kepada majelis hakim, Kwik mengatakan, Syafruddin-lah orang yang ia ketahui mengusulkan adanya SKL bagi obligor-obligor yang kooperatif. Pada implementasinya, SKL dikeluarkan pada obligor-obligor yang menurut Kwik Kian Gie (juga KPK) tidak kooperatif. Anehnya obligor-obligor ini bisa mengantongi MSAA yang terdiri dari dua surat--salah satunya adalah release and discharge, intinya obligor-obligor ini bebas setelah menyerahkan sejumlah kewajibannya pada BPPN.

Kutipan dari salah satu media (Kumparan) "Apakah berita acara pemeriksaan ini benar?" tanya jaksa kepada Kwik di persidangan. Kwik pun membenarkannya. Hanya saja, kata dia, dalam rapat tersebut Kwik tidak bisa memprotes. "Memang pembicaraan dari para menteri yang langsung saja mengambil inisiatif untuk berbicara bertubi-tubi akhirnya secara senda gurau saya katakan bahwa saya dihadapkan kepada total football langsung dihantam semua menteri sehingga saya tidak berdaya untuk bicara apa saja dan akhirnya Presiden Megawati menutup rapat dengan mengatakan ya," ungkapnya. 

Dari kedua kutipan tersebut, jelas bagi kita, kesaksian dari Kwik memperkuat dakwaan KPK pada SAT. Yang aneh, hingga kini mengapa hanya SAT yang dijerat? Jelas, dalam kutipan yang dikatakan Kwik, ada menteri-menteri lain yang langsung bicara "bertubi-tubi" sehingga ia merasa dikeroyok. Jelas, mereka pun pro pada dikeluarkannya SKL dan itu sudah melalui rapat kabinet yang (pada akhirnya) disetujui oleh segenap kabinet? Apa yang menteri-menteri ini katakan? Siapa yang mengatakannya? Tidakkah seharusnya menteri-menteri ini (dan presiden saat itu) juga diperiksa? Dalam semangat mencari kebenaran--dan bukan hanya menjadikan seseorang kambing hitam, seharusnya Kwik Kian Gie serta KPK merinci hal ini. 

Kembali lagi pada Syafruddin, dalam tanggapannya kepada Kwik, ia mengatakan ia hanya melakukan tugas. Ia menjalankan tiga hal yang diamanatkan KKSK. Syafruddin melakukannya dengan baik, timnya berhasil mengambil alih 12 perusahaan yang selama ini tidak bisa diambil alih oleh siapa pun. Berdasarkan Inpres yang dikeluarkan oleh Megawati, KKSK menyatakan segalanya sudah selesai. Maka, Syafruddin mengeluarkan SKL atau Surat Keterangan Lunas pada lima obligor BLBI. SKL inilah yang menyeretnya ke bangku panas terdakwa KPK.

Kwik seharusnya sadar, posisinya hanya berbeda jabatan dari Syafruddin. Kwik dan Syafruddin hanyalah orang-orang yang melaksanakan perintah dari atasan dan mengeluarkan kebijakan dengan output dari bawah lalu meneruskannya ke atas. Bukan tanpa alasan di masa depan bola panas BLBI ini bisa jatuh ke pangkuan Kwik sendiri sebab ia adalah bagian dari sistem yang memutuskan, mengetahui, dan menjalankan kebijakan ini. 

Dikatakan Kwik, keputusan Presiden untuk menerbitkan Inpres itu untuk memberikan kepastian hukum bagi para debitur. Namun, kata Kwik, dirinya pada saat itu menolak dengan tegas pemberian SKL kepada obligor BLBI. Menurut Kwik, SKL seharusnya hanya dapat diberikan kepada debitur yang telah melunasi utang.

Kwik mengatakan, "Saat itu saya menolak, karena hanya obligor yang benar-benar membayar utang ke kas negara yang berhak menerima." Di sini ada pula keanehan yang menurut saya tidak dijelaskan. Dalam rapat pertama, Kwik mengetahui kabinet yang dipimpin oleh Megawati saat itu ingin memberikan SKL bagi pada obligor yang sudah kooperatif pada pemerintah, tujuannya kepastian hukum. Dalam rapat itu, Kwik bisa menolak memberikan persetujuan. Rapat bisa di-dismiss. 

Dalam rapat kedua, Kwik kembali bisa menolak. Namun sejauh itu tidak tampak adanya upaya dari Kwik untuk membantu kabinet memberi jalan penyelesaian melaksanakan objektif mereka tanpa menimbulkan masalah. Padahal, Kwik yang saat itu duduk sebagai kepala Bappenas mengatakan ia sudah memproyeksikan SKL akan bermasalah. 

Tidakkah patut dicatat, ia sudah diundang ke dalam rapat yang sama untuk kedua kalinya. Jelas bagi Kwik, sidang kabinet tidak akan melepaskan ide memberikan kepastian hukum ini. Lalu, apa masukan dari Kwik yang sudah diundang untuk rapat kedua kalinya agar masalah pemberian kepastian hukum bagi obligor ini bisa tetap dilakukan dengan risiko sekecil mungkin? 

Klasifikasi obligor kooperatif dan tidak kooperatif pada akhirnya menimbulkan masalah. Kwik sendiri tidak setuju dengan klasifikasi ini. Kwik mengatakan Sjamsul Nursalim bukan obligor yang kooperatif. Sebab, indikator kooperatif bagi Kwik adalah saat obligor itu melunasi utangnya pada negara. Oke, Kwik sendiri tampaknya kurang mengerti definisi kooperatif. 

Baik, mari kita masukkan sedikit pelajaran bahasa. Kooperatif berasal dari bahasa Inggris, "cooperative" dan didefinisikan oleh Kamus Oxford sebagai "involving mutual assistance in working towards a common goal." Kita beri penekanan pada "mutual assistance" atau jika kita terjemahkan secara bebas 'upaya kedua belah pihak' dan "common goal" atau 'target bersama'. Ada upaya dan ada target.

Apakah dalam proses pengembalian utang Sjamsul tidak berupaya menyelesaikan masalahnya sama sekali sehingga ia layak dikatakan sebagai obligor tidak kooperatif? Benarkah? Tidak adakah assistance yang ia lakukan sebagai PS BDNI? Sudahkah BPPN melakukan upaya 100% untuk bisa menyelesaikan masalahnya dengan Sjamsul Nursalim atau mencapai goal? Bagaimana dengan "jalan akhir" upaya "menggugat" MSAA melalui pengadilan melalui gugatan perdata yang memang diamanatkan dalam pasal dalam MSAA sekiranya ada permasalahan dalam perjanjian ini? Mengapa gugatan ini tidak pernah ada? 

Kembali pada kategori kooperatif, bagaimana kondisi keuangan Sjamsul Nursalim pada saat itu sehingga ia menolak untuk memberikan penggantian aset. Apa alasan yang ia ajukan? Masuk akalkah? Apa jalan penyelesaian yang bisa dilakukan? Tidakkah ini yang seharusnya menjadi pembahasan daripada sekadar ribut dalam menjustifikasi Sjamsul Nursalim sebagai obligor yang kooperatif atau tidak. 

Jika kita menggunakan kacamata saat ini--harta Sjamsul Nursalim banyak, mengapa ia tidak mau melakukan penggantian aset? Kita sudah gagal melihat masalah sebenarnya bahwa kemelut BLBI ini terjadi dalam kondisi krisis keuangan. Persidangan Syafruddin ini menggambarkan betapa tidak ada kepastian hukum terkait kasus BLBI ini. Ada pihak-pihak yang saat ini bisa mencuci tangannya dan duduk tenang tanpa takut dicokok KPK.  

Pandangan saya kembali ke televisi, Syafruddin tampak melakukan sanggahan dengan raut wajah kusut. Wajahnya semakin minggu tampak semakin jauh dari optimisme. Jika dalam minggu-minggu pertama persidangan ia masih tersenyum sesekali, di minggu ini, minggu terakhir persidangan senyumnya hampir tak tampak. 

Dalam persidangan terakhir, ia mengklarifikasi ucapan Kwik dengan parau--menahan tangis. Ia ditahan sejak akhir 2017 lalu, lebih dari setengah tahun lamanya ia tidak berkumpul dengan keluarganya. Jika saya bisa bicara padanya, ingin saya berkata "Sabar ya, Pak. Semoga badai ini cepat berlalu."

Penulis adalah pengamat media

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun