Mohon tunggu...
Berlian Gultom
Berlian Gultom Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Kontemporer sebagai Masa Depan Bangsa, Bagaimana Partisipasi Politik Mahasiswa?

11 Juli 2022   22:30 Diperbarui: 11 Juli 2022   22:49 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mengahadapi isu politik di Indonesia cenderung kepada hal yang negatif dan buruk. 

Keterlibatan individu  atau kelompok masyarakat  dalam melakukan suatu program  kegiatan yang sedang dijalankan merupakan pengertian dari partisipasi. Keterlibatan tersebut dapat secara  pasif  maupun aktif. 

Tepatnya partisipasi  dikatakan sebagai  keterlibatan kelompok individu  masyarakat dalam mengambil  bagian dari kegiatan  ataupun program yang sedang diselenggarakan, baik itu diluar ataupun  di dalam kendali profesinya. 

Dalam kehidupan negara yang berpolitik, maka dikenal istilah partisipasi politik yang dapat diartikan sebagai keikutsertaan atau keterlibatan seorang individu dalam masyarakat dalam kegiatan politik di negaranya. 

Partisipasi politik tersebut contohnya seperti dalam pemilu, dengan memberikan hak suara dalam pemilihan umum, maka individu tersebut sudah memiliki partisipasi politik. Partisipasi politik dalam bentuk sekecil apapun, tentu saja memiliki pengaruh terhadap kebijakan pemerintah (public policy) (Herbert McClosky, 1972).

Contoh lain yang dapat dilakukan individu dalam partisipasi politik adalah mengikuti kegiatan hubungan dan lobi dengan  pemerintah setempat. Selain itu, seorang calon legislatif yang terpilih dalam pemilihan umum, juga dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki partisipasi politik dalam artian yang lebih luas.

Indonesia merupakan negara demokrasi. Demokrasi merupakan sebuah bentuk system politik suatu Negara dan juga merupakan budaya politik suat bangsa, kebanyakan rezim menyatakan dirinya demokratis dan rezim yang tidak demokratis selalu berusaha menyatakan diri menuju demokrasi, meskipun seluruhnya tidak disambut baik oleh pendukung demokrasi. 

Negara yang memiliki sistem politik demokrasi mengharuskan pengantian pemimpin melalui pemilihan suara dari seluruh masyarakat yang telah sesuai dengan standar pemilu, yaitu masyarakat yang telah berumur 17 tahun. Pemilihan suara seperti ini merupakan salah satu faktor penting dalam mewujudkan negara demokratis. 

Dibeberapa negara yang tidak menganut sistem negara demokratis seringkali mengalami kegagalan rezim, seperti pada saat orde baru. 

Dimana pada saat itu, Presiden Soeharto telah menjabat sebagai presiden selama 32 tahun. Hal ini tentu saja berdampak kepada sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan perlahan berubah menjadi rezim otoriter. Rezim otoriter tersebut mendominasi kehidupan politik hingga disebut sebagai overpower. 

Selain perjuangan dan perseteruan partai politik yang adu kuat pengaruhnya ialah menjadikan perseteruan tersebut sebagai tantangan era Orde Lama. (Soebandrio, 2001: 60).

Dalam perkembangan sistem politik dibeberapa negara, tentu saja mengalami proses yang cukup panjang bahkan sering kali terjadi kudeta (coup d'etat). Dalam peralihan kekuasaan, masyarakat biasanya. 

 Peralihan kepemimpinan melalui kudeta biasanya terlibat dalam hal ini. Selain membutuhkan massa yang cukup banyak, dalam kudeta juga dibutuhkan persenjataan yang lengkap, karenanya kekuatan bantuan militer juga tidak boleh diragukan.

Selain beberapa negara di dunia, Indonesia dalam perkembangannya juga mengalami tahap-tahap pergantian sistem pemerintahan. Pemilihan umum dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan, yaitu peralihan kekuasaan. Namun, selain pemilihan umum, peralihan kekuasaan juga mengalami berbagai kudeta. 15 tahun pasca kemerdekaan merupakan kurun waktu dimana politik mengganas dan berbagai intrik yang dilakukan untuk memperebutkan kekuasaan. 

Salah satu contoh peristiwa yang terjadi adalah perista G30S/PKI. Gerakan ini memakan cukup banyak korban, termasuk 9 perwira, dan masih banyak korban yang tidak bersalah lainnya (termasuk diantaranya adalah Ade Irma Suryani yang saat itu berumur masih sangat belia) (Soebandrio, 2001: 61).

Berdasarkan UUD 1945, pengertian mahasiswa sebagaimana tercantum dalam UU no. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi pasal 1 ayat 1 yang menjelaskan bahwa mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi. Di Indonesia, mahasiswa memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, oleh karenanya mahasiswa mendapat berbagai yang menggelegar yaitu agent of change, director of change, creative minority, calon pemimpin bangsa dan lain sebagainya. Begitu banyak partisipasi politik yang telah dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di Indonesia, sehingga membawa mahasiswa pada posisi terhormat, yaitu pahlawan pada kelasnya dan juga disebut sebagai pilar demokrasi (Dudih Sutrisman, 2019: 115).

Munculnya mahasiswa sebagai agent of change sering kali mengangkat isu politik tertentu, sangatlah jelas berkaitan dengan munculnya persoalan tentang hal tersebut dimasyarakat. Di mata mereka hal tersebut seharusnya terselesaikan secepatnya dan jangan berlarut terlalu lama agar tidak merugikan ''rakyat''. 

Misalnya,ketika mahasiswa mengangat isu korupsi, hal demikian berarti adalah adanya ketidaksesuaian dalam sistem birokrasi dan kurangnya tanggung jawab pemerintah dalam mengelola dan mengontrol keuangan negara. Isu demokratis dan reformasi total menunjukan adanya kehendak baik mahasiswa untuk turut ikut andil ambil bagian dalam perbaikan sistem politik yang ada di Indonesia yang nantinya akan memunculkan tanggung jawab yang besar Mahasiswa sebagai orang orang yang bertindak yang akan memicu terajadinya sebuah perubahan (Agent of change).

Dalam history block Orde Baru, pikiran mahasiswa yang sekuler dan anti kiri memang lebih sesuai dengan pragmatism rezim politik orde baru. Perubahan politik elite memang melibatkan mahasiswa sebagaimana yang sudah ditunjukkan dari kejatuhan presiden Soekarno hingga naiknya Jenderal Soeharto ke tahta kepresidenan. (Enim Supriyanto, 1999 : 129). Pada era Soeharto disebut sebagai Antitesa dari rezim Soekarno, karena jangka waktu kepresidenan Soeharto yang terbilang cukup lama yaitu 32 tahun.Sementara pada masa pemerintahan Soekarno, perseteruan antar partai sangat sering terjadi karena ini adalah era yang di dominasi oleh perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia saat itu. 

Oleh karena sangat tidak jarang terjadi bentrok antar partai yang akan mencalonkan diri demi kekuasaan. Karena adanya kesenjangan dan perbedaan sistem yang jauh berbeda, maka semakin banyak bermunculan perlawanan-perlawanan yang dipelopori oleh mahasiswa. 

Demonstrasi yang pada awalnya hanya dilakukan di dalam kampus, berubah menjadi demonstrasi besar-besaran. Mahasiswa dengan tegas menuntut perbaikan dan pembenahan perekonomian yang kian memburuk pada saat itu, berubah menjadi pergantian kepemimpinan nasional.

Karena perjuangan besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa maka robohlah era pemerintahan Presiden Soeharto. Awal mula demonstrasi ini terjadi adalah karena Soeharto mengumumkan dirinya akan menjadi presiden kembali, setelah pemerintahannya yang sudah sangat lama, hal ini dipengaruhi oleh terpilihnya golkar sebagai pemenang pada pemilu tahun 1997 (kompas.com). Aksi demonstrasi yang diharapkan dapat berjalan dengan aman dan damai akhirnya berubah menjadi tragedi karena aparat menggunakan kekerasan untuk memukul mundur mahasiswa yang berjumlah puluhan ribu. Karena jumlah mahasiswa yang sangat banyak, akhirnya gedung DPR/MPR RI berhasil diduduki oleh mahasiswa. Posisi Soeharto semakin terhimpit saat itu karena Harmoko selaku ketua DPR/MPR RI meminta Soeharto menyerahkan jabatannya. Akan tetapi, walaupun sudah dalam keadaan terpojok, Soeharto masih mencoba untuk mempertahankan kekuasaannya. Beberapa cara yang dilakukan seperti menawarkan pembentukan tim transisi peralihan kekuasaan hingga pemilihan umum berikutnya.

Sekian banyak aksi demonstrasi yang dilakukan tentunya terdapat sisi kurang baik yang didapati. Mahasiswa sebagai kaum intelektual, tidak mencerminkan kepribadian yang baik dalam demonstrasi. Hal ini dikarenakan mereka merusak banyak fasilitas umum, seperti merusak jalan, menyegel SPBU, merusak lampu jalan, dan masih banyak lagi. 

Tentu saja hal ini bukan hal yang baik untuk dilakukan oleh mahasiswa yang merupakan kaum civitas akademika. Bahkan hingga sekarang, setiap terdapat aksi demonstrasi yang cukup besar, seringkali terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan petugas keamanan baik polisi maupun tentara. Tak hanya itu, setelah demonstrasi selesai, antara mahasiswa dan polisi masih bersitegang saling menyalahkan. Mahasiswa menyalahkan petugas keamanan yang cenderung "kasar", sementara aparat menyalahkan l mahasiswa yang tidak bisa berdemonstrasi secara damai.

Apabila mahasiswa di zaman orde baru ditangkap karena mempertahankan ideologi dan pemikirannya yang berseberangan dan tidak sependapat dengan pemerintah. Inilah alasan mengapa mahasiswa disebut pembawa perubahan (agent of change), yaitu karena mereka berani mempertahankan dan menyampaikan aspirasi rakyat bahkan jika nyawa mereka menjadi taruhannya.

 Dan pada era tersebut pula lah, mahasiswa berhasil meraih simpati masyarakat.. Lain halnya yang terjadi pada zaman demokrasi seperti sekarang ini, mahasiswa ditangkap karena demonstrasi yang dilakukan menganggu ketertiban umum, memblokade jalan, serta melakukan tindakan anarkis lainnya. Selain itu, demonstrasi yang dilakukan saat ini telah dicemari dengan oknum-oknum yang memiliki kepentingan dan mengatasnamakan mahasiswa untuk membuat kekacauan.

Pelaksanaan Pemilu serentak 2019 baik pilpres maupun pileg telah menimbulkan banyak masalah.Indikator ini bisa dilihat, dari sisi persiapan dan pelaksanaannya yang menimbulkan permasalahan di lapangan. Salah satu contoh masalah, temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyatakan, sekitar 17 juta lebih warga belum mendapatkan undangan pencoblosan pemilu. Adanya kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), yang sengaja mengarahkan pemilih untuk memilih salah satu pasangan calon. Bawaslu juga menemukan, lebihdari 5.500 KPPS tidak netral karena mengarahkan calon tertentu. 

 tidak lagi memiliki musuh bersama. Memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) pun sudah tidak menjadi agenda yang menarik bagi mahasiswa. Tidak jarang kita melihat gerakan- gerakan mahasiswa sekarang dilakukan karena tren semata sehingga banyak aktivis-aktivis yang tidak memahami isu yang hendak mereka usung.

Berbeda dengan era 1990-an, gerakan mahasiswa selalu dikonstruksi berdasarkan ideologi yang jelas bahwa mahasiswa adalah agen perubahan sosial yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh karena itu, bila ada potensi kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat, mencederai prinsip demokrasi dan tak sesuai aturan, mahasiswa yang mempunyai daya kritis yang cukup tajam, secara spontan melakukan kritisme secara cermat dan benar. Hal itu dilakukan tidak hanya melibatkan suatu elemen gerakan saja, tetapi melibatkan berbagai organ yang ada. Mereka sadar bahwa hanya dengan penyatuan ideologi lah suatu gerakan bisa dilakukan secara masif.

Gerakan mahasiswa sekarang bertolak belakang dengan yang dulu. Gerakan mahasiswa sekarang cenderung dipengaruhi ideologi-ideologi tertentu dan kepentingan politik praktis. Tak heran jika gerakan mahasiswa muncul tidak dengan visi misi yang sama, justru sering terjadi konflik antara mereka sendiri. Di era sekarang, kita jarang melihat gerakan mahasiswa yang berlatar belakang dari ideologi yang sama dengan simbol-simbol organisasi gerakan mahasiswa yang bermacam-macam. Yang terjadi justru sebaliknya, warna bendera mahasiswa melambangkan suatu gerakan sekaligus mencerminkan variasi ideologi yang melandasi masing-masing gerakan itu. Kekuatan politik itulah yang kemudian menggerogoti ideologi dan kekuatan serta daya tawar gerakan mahasiswa, sehingga setiap upaya gerakan mahasiswa di tengah masyarakat kurang mendapat simpati dan dukungan.

Gerakan mahasiswa yang menonjol justru ideologi dan kekuatan politik tertentu. Itu di satu sisi. Pada sisi yang lain, tidak bisa lagi diartikan bahwa gerakan mahasiswa sekarang sering kali dijadikan komoditas suatu kekuatan dan keperluan tertentu. Kalau yang pertama mencerminkan adanya perselingkuhan dengan aliran politik tertentu, maka gerakan yang satu ini justru lepas dari ikatan mainstream ideologi politik, melainkan justru membuat perhitungan ekonomi dengan kelompok politik. Karena itu, bentuk gerakan ini pun dapat dikatakan lebih berbahaya dibanding sebelumnya karena gerakan mahasiswa itu telah mengalami pergeseran dan tanpa disadari status mahasiswa dari yang semula agen pembawa perubahan menjadi agen ''bisnis'' suatu kepentingan politik tertentu.

 Perubahan status ini tentu saja memengaruhi pada, pergerakan mahasiswa itu sendiri. Gerakan mahasiswa era sekarang tidak lagi sebesar gerakan era 1990-an karena jumlah massanya telah ''terkotakkotak'' dan berbeda aliran yang sangat berpengaruh terhadap strategi gerakan yang dibangun. Lemahnya strategi itu menyebabkan tidak jelasnya visi dan misi gerakan sendiri. Sehingga, sekaligus berakibat pada gagalnya perubahan yang hendak dicapai. Saya tertarik untuk mengangkat permasalahan ini dalam sebuah artikel  tentangPartisipasi Politik mahasiswa  Terhadap Isu-Isu Politik Kontemporer"  demi menjaga keutuhan bargaining-nya, gerakan mahasiswa perlu adanya reorientasi dan rekonstruksi serta penyatuan visi dan misi kembali dengan mengusung suatu ideologi tunggal yang dapat memayungi setiap gerakan sebagaimana semestinya mahasiswa.

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun