Hak cipta dalam bentuk film memang dapat diduplikasikan dan diubah oleh oknum tidak bertanggung jawab,
bahkan nyaris tidak dapat dibedakan dari aslinya. Hal ini, berdampak kepada orang -- orang yang yang dapat menduplikasikan
film -- film asli dan memodifikasi terhadap hasil penggandaan, dan menyebarkannya ke situs -- situs ilegal tanpa adanya biaya.
Hal ini tentu merugikan produser dari film aslinya dikarenakan, karya yang mereka ciptakan dengan susah payah, justru
diduplikasikan dan disebarluaskan tanpa biaya apapun, di sisi lain pemilik film tersebut sulit untuk mengetahui bahwa terjadi
pelanggaran atau pembajakan yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab terhadap filmnya.
Praktik pembajakan yang kian terang-terangan memang semakin meresahkan. Berbagai upaya untuk mengatasi
problem pembajaka ini film ini sudah dilakukan. Salah satunya melalui pembuatan iklan layanan masyarakat tentang Anti
Pembajakan Film yang diproduksi atas Kerjasama Asosiasi Produser Film Indonesia dengan Bekraf (Badan Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif).
"Dari kasus ini, khalayak, khususnya pengguna internet dan medsos harus makin paham bahwa karya film itu
dilindungi oleh UU Hak Cipta. Jika terbukti, pelanggarnya bisa dijerat hukuman penjara maksimal selama 10 tahun dan atau
denda hingga Rp4 miliar," pungkas Aceng.
Pada saat ini, peran dari generasi millennial sangat diperlukan untuk mengatasi masalah yang dialami oleh penikmat
film --film bajakan. Sebagai generasi muda yang lebih mengetahui dan hafal dengan perkembangan teknologi, peran mereka
dalam memberi edukasi publik terhadap masyarakat yang belum mengerti tentang pentingnya menghargai hak cipta
seseorang, serta memberikan kesadaran bahwa kekayaan intelektual adalah tumpuan dalam berindustri secara kreatif. Kita
juga bisa memberi edukasi tentang pentingnya berhati -- hati dalam bersosial media, efek samping dari menonton atau
mendownload film dari situs illegal, dan pasal -- pasal yang menyangkut hak cipta dan penggandaan suatu ciptaaan secara tidak sah.Â