Siang itu, hari Minggu lalu, saya dan suami mampir di sebuah supermarket di dalam kawasan Mal Cinere.
Sebenarnya niat hati bukan untuk berbelanja. Mampir di sana sekadar menghabiskan waktu, sebelum mengikuti ibadah di gereja yang letaknya takjauh dari mal. Kebetulan kami tiba lebih awal dan memiliki waktu sekitar satu jam sebelum ibadah dimulai.Â
Karena memang tidak niat berbelanja, saya berkeliling melihat-lihat. Akhirnya saya hanya mengambil beberapa butir telur, dua bungkus mi instan dan satu bungkus biskuit yang rencananya akan saya kunyah sebelum masuk gereja.Â
Seperti biasa, saya selalu membiasakan diri mengecek harga barang di rak sebelum memutuskan untuk membawanya ke meja kasir.
Mengecek harga barang terlebih dahulu bertujuan agar total harga belanjaan bisa direka sebelum dibawa ke kasir.
Saya tidak ingin kebablasan mengambil barang tanpa berhitung. Risikonya pengeluaran bisa melebihi target belanja yang sudah saya tetapkan.
Kebiasaan belanja kebablasan sangat tidak baik. Hal ini bisa membuat tangan sembarang mengambil barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan, cuma demi memuaskan "lapar mata".
Kalaupun di rak pajangan, tidak tertera harga dengan jelas, saya akan menanyakan harga sebenarnya kepada petugas atau langsung cek harga di kasir. Jika harganya worth it, diambil. Jika tidak, dikembalikan ke rak.
Mengecek harga barang terlebih dahulu juga bermanfaat agar kegiatan berbelanja jadi menyenangkan. Jangan sampai saya kena "prank" karena harga barang di kasir berbeda dengan harga di rak.Â
Apabila selisih harga tidak banyak, tidak apa. Akan jadi kesal kalau ternyata selisih harga terlalu jauh dengan harga yang tertera di rak.
Setelah puas berkeliling, dan waktu ibadah semakin dekat, saya membawa barang-barang tersebut ke kasir.
Sedikit mengantre di depan kasir, akhirnya beres juga proses membayar. Total belanjaan hanya Rp21.100,- sesuai dengan perkiraan.Usai dari sana, kami kembali ke gereja untuk mengikuti ibadah.Â
Nah, saat ibadah itulah pikiran saya sempat sesaat melanglang ke kegiatan berbelanja tadi, rasanya seperti ada yang ganjil. Namun, karena masih ibadah, cepat saya enyahkan pikiran tersebut.Â
Sesaat selesai ibadah, langsung saya mencari tahu dimana letak keganjilannya. Setelah diingat-ingat lagi, seharusnya rupiah yang saya bayarkan lebih besar dari 21 ribu. Apakah saya mendapat diskon?Â
Untungnya setruk belanja masih disimpan di dompet, tidak saya buang. Dengan cermat saya perhatikan apa yang tercetak dalam setruk.Â
Got it! Ketemu juga dimana letak ganjilnya. Saya membeli dua bungkus mi instan yang sama, tetapi yang tercetak dalam setruk hanya satu! Jadi bukannya dapat diskon, tetapi mbak kasir sepertinya lupa menghitung dua kali untuk mi instan tersebut.Â
Nilainya memang tidak seberapa. Dibulatkan pun hanya tiga ribu rupiah untuk satu bungkus mi instan yang belum terbayar. Akan tetapi, nilainya akan jadi besar jika diakumulasi dengan kesalahan-kesalahan lain yang mungkin dilakukan kasir selama tempo tertentu.Â
Sependek pengetahuan saya, setiap toko, minimarket atau supermarket secara berkala melakukan aktivitas pengelolaan stok barang. Proses tersebut dalam dunia bisnis dikenal dengan istilah stock opname.
Masalah akan timbul saat stock opname jika terjadi ketidakcocokan antara stok tersedia dengan jumlah barang terjual. Sederhananya, barang di rak lenyap, tapi uangnya tidak ada.
Akibatnya, risiko kehilangan barang umumnya dibebankan kepada karyawan yang bertugas atau berhubungan langsung dengan customer.
Oleh karena itulah, meski nilainya kecil, bisa jadi uang tersebut sangat berarti bagi seorang kasir.Â
Maka kaki pun segera bergegas kembali ke supermarket yang sama. Sayangnya karyawan yang berada di depan mesin kasir telah berganti orang.Â
Tetapi rezeki memang tak kemana. Si mbak ternyata sedang berbenah dekat meja kasir nenyelesaikan tugasnya  Si mbak baru saja berganti shift dengan rekan kerjanya.
Mbak kasir cukup kaget ketika saya menjelaskan masalahnya. Spontan si mbak mengucapkan terima kasih.Â
Saya pun segera dibuatkan setruk baru untuk mi instan yang belum dihitung, dan saya membayar dengan uang pas, tiga ribu rupiah.
Dah, lega hati ini sudah melakukan yang seharusnya. Plong rasanya sudah berusaha menjadi pembeli yang benar. Meskipun jumlahnya tidak seberapa, setidaknya saya sudah berlaku jujur.
Bisa saja saya tidak kembali ke kasir, dan langsung melenggang pulang. Toh tidak ada yang tahu. Saya pun bisa membenarkan diri bahwa itu kesalahan kasir, bukan kesalahan saya.Â
Memang tidak ada yang tahu sih, tapi rasa bersalah itu akan memetap di hati.Â
Kebiasaan menjadi customer jujur sudah saya lakukan sejak saya mulai bisa jajan sendiri, dulu kala masih kanak-kanak.
Terlebih sekarang sudah berkeluarga dan memiliki anak, kebiasaan jujur ini sekalian saya tularkan kepada suami dan anak.Â
Entah sudah berapa kali saya mengembalikan uang pemilik warung atau kasir. Umumnya berupa uang kembalian yang diberikan melebihi yang seharusnya. Bahkan pernah satu kali saya kembalikan beberapa hari kemudian.Â
Hal itu terjadi karena baru beberapa hari setelahnya saya teringat dan merasakan ada sesuatu yang ganjil. Si ibu pemilik warung yang saya kembalikan uangnya sampai sempat terdiam sesaat, sebelum akhirnya tersenyum penuh terima kasih.Â
Sebenarnya ini juga dampak positif dari kebiasaan saya yang selalu mengecek harga barang dan menghitung total harga belanjaan. Sehingga ketika ada yang tidak sesuai, bisa langsung dicari dimana letak kesalahannya.
Berlaku jujur, khususnya perkara uang, memang bukan karakter bawaan. Berlaku jujur soal uang adalah pilihan hidup.Â
Untuk bisa terbiasa akan hal tersebut, perlu latihan yang terus-menerus, diawali dengan hal-hal kecil.Â
Begitu pula untuk menjadi pembeli atau customer yang jujur, perlu latihan kontinu. Bisa dimulai dengan mengembalikan uang kembalian yang melebihi dari yang seharusnya. Bisa pula dengan cara membiasakan membayar sesuai dengan yang diambil, di kantin sekolah atau kantin kantor misalnya.
Intinya, jangan mengambil apa yang bukan hak kita, sekecil apapun nilainya. Itu sama saja dengan mencuri.Â
Menjadi pembeli jujur bukan tidak ada keuntungannya, justru kebaikan akan sering datang menghampiri.Â
Salah satunya seperti yang saya alami, dimana banyak pemilik toko sekitar rumah yang akhirnya percaya sepenuhnya pada saya.
Ketika harga barang belanjaan melebihi uang yang saya bawa, misalnya, pemilik toko tidak ragu mengizinkan saya membawa belanjaan meski ada kekurangan pembayaran.Â
"Udah, biarin, entar-entar aja, deket ini,"
Seperti itu biasanya tanggapan mereka. Senang rasanya menjadi pembeli yang bisa dipercaya.
Menjadi pembeli jujur juga membuat para pemilik toko tersebut segan terhadap pembeli seperti saya. Mereka juga akan berusaha memprioritaskan saya ketika ada antrean belanja di toko mereka.Â
Adanya customer jujur tentunya juga membawa keuntungan bagi penjual, kasir, atau pemilik toko. Untuk itulah, para penjual selaku pelaku bisnis pun harus menjadi penjual yang jujur. Misalnya, jujur mengembalikan uang customer sesuai jumlahnya, dan jujur terhadap kualitas barang yang dijual.Â
Kebaikan lain sebagai efek domino dari perilaku jujur terhadap uang, yakni membangun karakter diri yang tidak materialistis. Termasuk membentuk karakter diri yang tidak silau nan rakus terhadap uang, terlebih uang yang bukan hak milik sendiri.
Tidak hanya itu, menjadi customer jujur juga akan mendorong dan menumbuhkan sikap empati dan peduli pada orang lain. Akan selalu ada keinginan dalam hati agar orang lain tidak sampai rugi atau mengalami kesulitan karena kita.Â
Dengan berlaku jujur, tanpa sadar kita pun sedang melatih diri untuk selalu mendengar apa kata hati nurani, yang menuntun kita melakukan kebaikan dan kebenaran.Â
Uang memang memungkinkan manusia melakukan hal-hal baik. Namun, jangan lupa, uang juga mampu memaksa manusia meninggalkan hal-hal baik demi uang. Salam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H