Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Alasan Seorang "Silent Majority" Tidak Memilih 01 atau 03

19 Februari 2024   07:00 Diperbarui: 19 Februari 2024   07:16 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diam bukan berarti apatis. Mereka memang diam, tetapi diam-diam menyimak dan mempelajari situasi. 

Pelaksanaan Pemilu 2024 telah berakhir. Pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, memimpin dalam proses hitung cepat dari berbagai lembaga survey. Bahkan hasil real count KPU yang sedang berjalan pun, paslon 02 mengungguli dua paslon lainnya.

Sebagai pendukung capres 02, tentu saya ikut senang atas pencapaian tersebut. Cukup surprise pula mengetahui angkanya berada di atas 50 persen. 

Ini artinya paslon 02 memiliki kesempatan besar untuk menang satu putaran, jika persyaratan lainnya terpenuhi. 

Meskipun pendukung paslon 02, selama masa kampanye saya menahan diri untuk tidak ikut-ikutan kampanye, khususnya melalui media sosial. 

Salah satu alasannya karena tidak ingin terpancing dalam perdebatan panas, yang berpotensi berlanjut pada adu narasi tiada akhir. Lebih tidak diinginkan lagi bila perdebatan sampai lari kemana-mana hingga menyinggung ranah pribadi. Males banget. 

Bahkan di rumah sendiri saja, saya menahan diri untuk tidak berkomentar banyak tentang paslon 02 pilihan saya. Hal ini mengingat saya dan suami terpecah soal pilihan. Saya ke 02, suami ke 03. Seru kan... Hehe... 

Untungnya suami selow bae. Meski kami berbeda pilihan, suami tidak pernah ngotot sama pilihannya. Saya juga selow saja sama pilihannya. Tidak apayang penting saya tetap ratu pilihan di hatinya, asekkk ... 

Lagipula, berbeda itu biasa, tidak usah dibesar-besarkan. Jangan sampai ribut-ribut, diam-diaman lebih-lebih left grup WA, lahh... 

Nah, karena lebih memilih diam dan tidak mengumbar narasi secara terbuka, saya bisa disebut sebagai bagian dari kelompok pemilih tipe silent majority

Istilah silent majority sendiri mendadak ramai usai Ketua Tim Kampanye Prabowo-Gibran Daerah Jawa Barat, Ridwan Kamil mengunggah postingan di akun Instagramnya. Hal tersebut sebagai bentuk tanggapan soal quick count pasangan Prabowo-Gibran yang unggul melebihi 50%.

“Pelajaran: silent majority sudah berbicara. Siapa mereka? Mereka yang menyimak namun jarang komen, mereka yang jarang ribut-ribut di medsos tiap akun ini posting politik,” tulis Ridwan Kamil dalam unggahannya pada Rabu (14/2/2024).

Istilah silent majority jika dibahasakan dalam Bahasa Indonesia artinya mayoritas yang diam.

Melansir dari Kamus Oxford via Kompas.tv, dijelaskan, Silent Majority merupakan kelompok besar pada sebuah negara yang tidak menyatakan pendapat mengenai sesuatu atau tidak mengungkapkan pendapatnya dengan terbuka. 

Tak hanya itu, Silent Majority juga bisa diartikan menjadi bagian terbesar populasi negara yang terdiri dari orang-orang yang pasif dalam politik dan tidak mengungkapkan pendapat politiknya di muka umum.

Seperti itulah kurang lebih yang saya lakukan selama masa kampanye capres-cawapres. Alih-alih ikut berisik di media sosial, saya lebih suka memosisikan diri sebagai pembaca, penonton, dan penyimak pasif. 

Namun demikian, bukan berarti saya tidak tertarik dengan riuh semarak pencalonan presiden. Justru sebaliknya, saya mengejar unggahan-unggahan tersebut di media sosial tersebut.

Sangat menarik ketika bisa menyimak berbagai unggahan dari berbagai sudut pandang. Tidak kalah menarik pula memperhatikan beragam komentar yang bermunculan dari setiap unggahan. Mulai dari komentar mendukung, menolak, hingga debat panas panjang kali lebar hingga ribuan komentar. Terkadang bisa geli dan senyum-senyum sendiri bila berjumpa komentar-komentar kocak. 

Aktivitas menyimak tersebut tentu bukan sekadar kegiatan iseng. Aktivitas ini sangat membantu untuk menguji apakah pilihan saya sudah tepat. 

Di sisi lain, menyimak unggahan-unggahan serta beragam komentar tersebut juga pada akhirnya bermanfaat meneguhkan hati untuk tidak memilih dua calon lainnya di luar 02.

Sebenarnya keberpihakan kepada calon 02 baru benar-benar yakin saya tentukan sekitar beberapa minggu sebelum hari pencoblosan. 

Sebelum itu, pilihan saya masih terpecah antara capres 02 dan 03.

Kalau capres 01 sendiri sudah saya singkirkan sejak awal bahkan sebelum beliau resmi mencalonkan diri. Sebagai saksi yang merasakan langsung hasil kerja mantan gubernur ibukota periode lima tahun terakhir, saya tidak bisa percaya lagi sama bapack satu ini. 

Andaikata beliau memgikrarkan janji manis sekalipun, saya tidak percaya lagi. 

Hasil karya beliau di ibukota masih berbekas, guys

Gajrukan akibat sumur resapan di banyak jalan raya di Jakarta masih saya rasakan hingga kini.

Kenyamanan saya sebagai pengguna jalan umum sangat terganggu ketika berkendara motor melewati jalan-jalan yang penuh dengan jajaran sumur resapan. Motor terguncang-guncang akibat jalanan tidak rata. Pengendara motor pun harus memelankan laju kendaraan dan lebih berhati-hati kalau tidak ingin terjatuh atau tersenggol kendaraan lain akibat jalan yang tidak mulus. Itu satu hal. 

Hal lain yang menurunkan nilai mantan rektor ini berkaitan dengan pilkada 2017 silam. Di mana ketika itu beliau memanfaatkan isu SARA guna memuluskan langkahnya menduduki kursi gubernur. Sangat tidak beretika.

Itu pendapat saya tentang calon 01.

Kalau calon nomor urut 03 beda lagi. Semula saya mengidolakan beliau. Saya pun sempat mendukungnya menjadi calon presiden dari partai merah. 

Akan tetapi, hati seketika patah ketika beliau merusak impian saya, suami dan anak lelaki saya. Apa itu? Impian untuk melihat Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Aaahh... Kesal sekali rasanya waktu itu.

Sejak itu pula, dukungan saya pada beliau 80 persen goyah. Dan semakin luluh lantak sepanjang masa kampanye pilpres. Kala debat capres, contohnya. Alih-alih terus menerus mengedepankan visi-misi, beliau malah terkesan berusaha mencari-cari kesalahan dan kekurangan paslon dukungan Jokowi untuk menjatuhkan mereka. 

Seakan belum cukup, sikap pimpinan partai pengusung beliau pun ikut memperburuk situasi. Sikap pimpinan partai tersebut akhir-akhir ini sangat tidak simpatik.

Sungguh disayangkan memang. Padahal, dua pemilu sebelumya saya mempercayakan suara saya kepada partai merah ini, sejalan dengan pilihan saya untuk presiden pada suara Jokowi yang diusung partai tersebut. 

Dalam berbagai unggahan pidato-pidato beliau di berbagai sosial media, pimpinan partai semakin kesini semakin terkesan arogan. Salah satunya menyinggung abang tukang bakso. 

Belum lagi sikapnya pada Presiden Jokowi yang kerap kali tampak merendahkan dan sangat tidak menghornati jabatan beliau sebagai presiden. 

Patut dipertanyakan, apakah pimpinan partai tidak menyadari bahwa Jokowi adalah idola sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk saya? Atau partai berusaha denial?

Bagaimana rasanya melihat idola kita direndahkan begitu rupa? Kesal dan marah pastinya, meski hanya bisa ngedumel dalam hati. 

Memang benar Jokowi adalah kader dari partai beliau, tapi jangan disebut petugas partai juga, lah. 

Jokowi tanpa partai itu, kasihan... Ah, apa iya? Hasil pemilu barusan seperti menunjukkan sebaliknya, partai itu tanpa Jokowi, lebih kasihan lagi, bukan begitu? 

Itulah pula sebabnya pilihan suara saya pada pemilu 2024 pun berpindah ke partai lain. Sepertinya sudah tidak nyaman lagi memilih partai satu ini. 

Dengan kemenangan 02 kali ini, semoga bisa jadi bahan pembelajaran bagi anda-anda yang ingin mencoba peruntungan menjadi capres, caleg, cagub atau ca... ca... lainnya. Termasuk partai pengusungnya.

Yang harus dimenangkan itu hati rakyat, jadi bersikap dan berlakulah sebagimana yang diinginkan rakyat. Curi hati rakyat dengan sikap penuh kerendahan hati yang tulus, bukan dibuat-buat alias imitasi. 

Junjung tinggi sikap saling menghormati dan menghargai terhadap siapa pun, baik lawan politik maupun rekan satu partai atau satubkoalisi. Termasuk terhadap orang atau pihak yang menurut anda levelnya lebih rendah dari anda. Berhati-hati dengan sikap dan lisan. 

Dan satu hal lagi, jangan sampai abai melirik kaum pemilih "mayoritas diam". Mereka memang diam, namun bukan berarti apatis. Mereka diam, tetapi diam-diam menyimak dan mempelajari situasi. 

Demikian sedikit sharing dari seorang pemilih silent majority. Sengaja ditulis usai pemilu agar tidak memengaruhi suara pemilih lainnya. Salam damai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun