KEGIATANÂ mengantar-jemput anak sekolah sudah tidak saya lakukan lagi sejak anak saya, si ganteng, duduk di bangku SMP kelas 8.
Sehari-hari, selepas bel sekolah berbunyi, si ganteng akan menumpang angkutan kota (angkot) untuk mengantarkannya pulang ke rumah.
Jarak 8 km antara sekolah dan rumah harus dilaluinya dengan tiga kali naik-turun angkot. Durasi perjalanan sekolah-rumah berkisar 1-1,5 jam.
Untuk ongkosnya, sesuai tarif pelajar, yakni. empat ribu rupiah. Karena anak saya harus naik-turun 3 angkot, berarti total ongkos transport per hari Rp12.000,-
Selain angkot, si ganteng kadang-kadang pula menumpang bus sekolah. Dengan menumpang bus sekolah, si ganteng bisa skip satu kali angkot dan menghemat empat ribu rupiah.
Bus sekolah berwarna kuning ini sendiri adalah fasilitas transportasi gratis bagi pelajar yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan.
Seluruh pelajar dari jenjang SD hingga SMA dan sederajat yang mengenakan seragam sekolah, bisa langsung menaiki bus sekolah melalui halte terdekat atau jalan-jalan yang dilintasi bus ini sesuai rutenya.
Berhubung sekolah si ganteng berada di kawasan Pejaten dan rumah kami di sekitar Pondok Labu, Jakarta Selatan, maka bus sekolah yang ia tumpangi adalah bus sekolah rute reguler 22, dengan rute Pasar Minggu-Kebagusan-Pondok Labu.
Dikutip dari TribunJakarta.com, bus sekolah di Jakarta saat ini memiliki dua rute, yaitu rute reguler dan rute zonasi.Â
Bus sekolah rute reguler akan melewati jalan-jalan utama, atau jalan-jalan besar di Kota Jakarta. Jenis bus yang digunakan merupakan bus berukuran sedang dengan kapasitas 27 kursi. Saat ini bus sekolah rute reguler melayani 28 rute di seluruh wilayah Jakarta.
Sementara bus sekolah rute zonasi beroperasi di jalan-jalan kecil dengan menggunakan bus berukuran kecil dengan kapasitas 19 kursi. Dan hingga kini bus sekolah rute zonasi sudah melayani 13 rute di seluruh Jakarta.
Dibanding angkot, bus sekolah memiliki nilai plus di mata para pelajar yang setiap harinya menggunakan angkutan umum. Selain karena gratis sehingga bisa menghemat uang transport, faktor kenyamanan di dalam bus menjadi daya tarik tambahan.Â
Bus yang berpendingin udara, kondisi di dalam bus yang luas sehingga tidak perlu sempit-sempitan seperti di dalam angkot, serta para awak busnya yang ramah, membuat para pelajar termasuk anak saya sebenarnya lebih senang naik bus sekolah daripada naik angkot.
Meskipun bus sekolah memiliki banyak kelebihan, tetapi juga memiliki beberapa kekurangan.Â
Satu di antara kekurangan itu adalah jadwal atau waktu lewatnya bus ini yang tidak pasti. Akibatnya tidak mudah bagi si ganteng dan teman-temannya untuk bisa menumpang bus sekolah. Terlebih bus rute 22 tidak lewat persis di depan sekolah si ganteng.
Biasanya, si ganteng dan teman-temannya harus naik angkot satu kali dulu dari sekolah, menuju kawasan Ragunan, Cilandak. Bila beruntung, dalam perjalanan, angkot mereka bisa berpapasan dengan bus sekolah.
Bila sudah begitu, mereka akan menunggu hingga angkot yang mereka tumpangi jauh mendahului bus sekolah. Lalu, di satu titik, biasanya di sekitar Jalan Ampera, Cilandak KKO, atau sekitar Ragunan, mereka akan turun dari angkot, lalu menunggu bus sekolah untuk menaikinya.
Dari sana, bus sekolah akan mengantar mereka hingga Pondok Labu. Dari Pondok Labu, si ganteng meneruskan lagi naik angkot untuk tiba di rumah. Terkadang, si ganteng juga jalan kaki dari Pondok Labu untuk tiba di rumah. Jaraknya memang tidak jauh, tidak sampai 1 km.Â
Hanya saja, kejadian di atas tidak setiap hari ditemui. Sekalipun waktu pulang sekolah si ganteng setiap hari hampir sama, tetapi tidak setiap hari dapat berpapasan dengan bus sekolah.
Kekurangan yang kedua adalah rutenya yang tidak jelas, di mana sering kali supir bus menurunkan siswa sebelum tiba di tujuan akhir. Kebiasaan ini mirip dengan kelakuan metromini dan kopaja, angkutan umum di Jakarta yang sudah tinggal nama.
Kejadian ini berkali-kali dialami si ganteng dan teman-temannya. Setelah naik dari Ampera, Cilandak atau Ragunan, mereka tiba-tiba saja diturunkan di bawah flyover Andara. Tidak jelas juga apa penyebabnya, yang pasti anak-anak mau tidak mau harus turun.Â
Memang sih biasanya kalau sampai diturunkan dan bus sekolah putar balik, penumpangnya tinggal si ganteng dan seorang temannya. Pernah pula tinggal si ganteng sendiri penumpangnya. Namun, seharusnya tidak lantas diturunkan begitu saja.Â
Dari bawah jalan tol layang Andara, masih sekitar 1 km ke Pondok Labu. Nanggung kalau mau naik angkot lagi, karena sama saja nggak jadi berhemat dan tetap tiga kali naik angkot.
Akhirnya dari sini, biasanya anak-anak jalan kaki sampai ke Pondok Labu, baru setelah itu lanjut naik angkot lagi.
Pernah juga beberapa kali si ganteng diturunkan di SMK 41 Kompleks Timah. Dari sana, bus putar balik.
Untungnya kalau dari SMK 41 tinggal beberapa ratus meter lagi sampai Pondok Labu, jadi masih bisalah diterima.
Bahkan pernah satu kali, si ganteng ikut sampai Ciganjur sebelum diantar ke Pondok Labu. Alasannya karena harus mengantar beberapa siswa. Akibat dibawa "jalan-jalan" dulu ke Ciganjur, si ganteng pun tiba di rumah lewat dari pukul 4 sore
Akhir-akhir ini, bus sekolah rute 22 sering dijumpai ngetem di ujung Jalan Ampera, tetapi anak saya nggak mau lagi naik.
"Ngetemnya lama, Ma," kata si ganteng.
"Belum tentu juga langsung ke Pondok Labu. Kalau muter ke Ciganjur dulu, kelamaan..." lanjutnya lagi.
Okelah kalau begitu. Namanya juga fasilitas gratis dari pemerintah daerah, terpaksa ikut aturan main si pemberi fasilitas. Meski seharusnya tidak demikian. Meski seharusnya pelayanan yang diberikan maksimal.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H