Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah "Driver" Gojek dan Maxim yang Jadi "Bang Toyib"

14 September 2023   17:27 Diperbarui: 14 September 2023   19:11 1877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi driver taksi online (Shutterstock/Beauty Studio via Kompas.com) 

BEBERAPA waktu lalu, saya menumpang sebuah taksi online dari Maxim, yang membawa saya menuju rumah seorang sepupu di daerah Tambun, Bekasi.

Seperti biasa, selama perjalanan, saya berusaha menggali banyak cerita dari bapak driver.

Ketika saya tanya rumah beliau di mana, beliau jawab di Pandeglang. Sontak saya kaget. Wow, jauh juga. Kok bisa nyasar ke Jakarta, tanya saya selanjutnya.

Beliau bercerita bahwa sejak awal menjadi mitra taksi online, beliau memang memilih bergerak mencari rezeki di seputar wilayah Jabodetabek.

Jabodetabek menjadi pilihan karena memang tidak bisa dipungkiri lagi, jumlah pelanggan taksi online di sini jauh lebih besar dibandingkan kota-kota lain di sekitarnya. 

Bapak driver ini sendiri sudah berkeluarga. Anak dan istrinya ditinggal di Pandeglang. Beliau pulang ke Pandeglang hanya satu kali dalam satu sampai dua minggu.

Beliau bilang, sebenarnya berat meninggalkan keluarga. Namun, tidak memungkinkan pula jika harus setiap hari pergi-pulang Pandeglang. Bisa-bisa hasil yang didapatkan dari ngojek habis hanya untuk membeli bahan bakar. 

Maka dari itu, lebih irit baginya dengan cara pulang seminggu atau dua minggu sekali. Dengan begitu, akan lebih banyak rupiah yang bisa dibawa untuk keluarga tercinta di rumah. 

Di Jakarta sendiri beliau bilang tidak memiliki tempat tinggal. Mobil miliknya menjadi tempat tinggal sekaligus sumber mengais rezeki.

Di dalam mobil sudah tersedia berbagai perlengkapan kesehariannya. Pakaian ganti, peralatan mandi, hingga air minum dalam galon tersimpan di bagian belakang mobilnya.

Untuk masalah tidur, bapak driver ini juga tidak pusing. Beliau bisa tidur di mana saja. SPBU dan rumah ibadah menjadi tempat-tempat favoritnya untuk menumpang menepikan mobil, nerebahkan badan sekaligus melepas lelah.

Perkara mandi dan urusan ke belakang pun sama, toilet umum di SPBU dan rumah-rumah ibadah menjadi pilihan utama. 

Sementara untuk urusan makan, lebih mudah lagi. Beliau tinggal mampir ke warteg di mana saja. Pilihan makanan di warteg beraneka ragam, harga pun tidak menguras saku. 

Cerita serupa datang dari seorang wanita, kenalan sesama orang tua murid di mana anak saya bersekolah. Suami kenalan saya ini juga driver taksi online, tapi bukan dari Maxim melainkan dari Gojek.

Seperti bapak driver Maxim sebelumnya, suaminya pun tidak setiap hari pulang ke rumah mereka yang ada di Depok. Oleh karena itu, sang istri sudah menyiapkan segala keperluan suaminya di mobil selama jauh dari rumah. 

Suaminya sendiri akan pulang ke rumah jika memang kebetulan mengantar penumpang dengan tujuan yang tidak jauh dari rumahnya, atau "selelahnya" badan.

Penghematan bahan bakar tetap menjadi alasan utama untuk tidak sering pulang agar lebih banyak rupiah yang bisa diberikan kepada istri tercinta.

Namun, berbeda dengan driver Maxim sebelumya, suami wanita kenalan saya ini, bisa pulang satu sampai tiga kali dalam seminggu. Depok yang masih masih masuk wilayah Jabodetabek memungkinkan suaminya untuk bisa sering-sering pulang. 

Melihat kisah-kisah perjuangan para driver taksi online ini, rasanya ingin saya mengangkat topi (meskipun sedang tidak pakai topi) dan memberi penghormatan setinggi-tingginya.

Saya yakin sebenarnya para pejuang keluarga ini juga sangat ingin memiliki pekerjaan yang memungkinkan mereka bertemu keluarga setiap hari. Berangkat bekerja pagi, lalu pulang sore atau malam hari seperti layaknya pekerja pada umumnya.

Hanya sayangnya, mereka bercerita sulit mendapatkan pekerjaan sesuai harapan. Terlebih usia kedua bapak-bapak driver ini sudah di atas 40 tahun.

Diskriminasi usia memang umum terjadi di banyak lapangan pekerjaan di negara tercinta ini. Sepertinya, hampir semua lowongan kerja masih menjadikan usia sebagai salah satu syarat utama. 

Bahkan untuk jenis pekerjaan yang tidak memerlukan effort banyak sekalipun, seperti penjaga toko, tetap menerapkan syarat usia. Atau hanya sekadar cleaning service/penjaga toilet umum, entah kenapa tetap pula mensyaratkan usia. 

Menjadi driver taksi online merupakan pilihan terakhir bagi bapak-bapak driver ini. Itu pun mereka berdua masih sangat bersyukur karena masih ada Gojek, Maxim, dan Grab yang mau menerima mereka sebagai nitra kerja tanpa meributkan usia.

Di ujung perjalanan mendekati Tambun, entah mengapa saya jadi teringat lagu berjudul Bang Toyib.

Para pejuang keluarga ini pun mirip Bang Toyib, tetapi dalam versi baik. Bang Toyib yang ingat keluarga Bang Toyib yang tetap pulang meski tidak setiap hari. Bang Toyib yang rela tidur dan makan di mana saja. Bang Toyib yang rela berlelah-lelah jauh dari keluarga, demi menghidupi anak dan istri tercinta. 

Tetap semangat, para driver pejuang keluarga. Salam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun