Untuk masalah tidur, bapak driver ini juga tidak pusing. Beliau bisa tidur di mana saja. SPBU dan rumah ibadah menjadi tempat-tempat favoritnya untuk menumpang menepikan mobil, nerebahkan badan sekaligus melepas lelah.
Perkara mandi dan urusan ke belakang pun sama, toilet umum di SPBU dan rumah-rumah ibadah menjadi pilihan utama.Â
Sementara untuk urusan makan, lebih mudah lagi. Beliau tinggal mampir ke warteg di mana saja. Pilihan makanan di warteg beraneka ragam, harga pun tidak menguras saku.Â
Cerita serupa datang dari seorang wanita, kenalan sesama orang tua murid di mana anak saya bersekolah. Suami kenalan saya ini juga driver taksi online, tapi bukan dari Maxim melainkan dari Gojek.
Seperti bapak driver Maxim sebelumnya, suaminya pun tidak setiap hari pulang ke rumah mereka yang ada di Depok. Oleh karena itu, sang istri sudah menyiapkan segala keperluan suaminya di mobil selama jauh dari rumah.Â
Suaminya sendiri akan pulang ke rumah jika memang kebetulan mengantar penumpang dengan tujuan yang tidak jauh dari rumahnya, atau "selelahnya" badan.
Penghematan bahan bakar tetap menjadi alasan utama untuk tidak sering pulang agar lebih banyak rupiah yang bisa diberikan kepada istri tercinta.
Namun, berbeda dengan driver Maxim sebelumya, suami wanita kenalan saya ini, bisa pulang satu sampai tiga kali dalam seminggu. Depok yang masih masih masuk wilayah Jabodetabek memungkinkan suaminya untuk bisa sering-sering pulang.Â
Melihat kisah-kisah perjuangan para driver taksi online ini, rasanya ingin saya mengangkat topi (meskipun sedang tidak pakai topi) dan memberi penghormatan setinggi-tingginya.
Saya yakin sebenarnya para pejuang keluarga ini juga sangat ingin memiliki pekerjaan yang memungkinkan mereka bertemu keluarga setiap hari. Berangkat bekerja pagi, lalu pulang sore atau malam hari seperti layaknya pekerja pada umumnya.
Hanya sayangnya, mereka bercerita sulit mendapatkan pekerjaan sesuai harapan. Terlebih usia kedua bapak-bapak driver ini sudah di atas 40 tahun.