Meskipun makian dan perkataan kotor itu ditujukan pada pihak-pihak lain, bukti tersebut menunjukkan sebagian karakternya yang emosional. Bukan tidak mungkin, setelah menikah nanti, makian dan perkataan-perkataan kotor itu ditujukan kepada pasangannya.
Sebaliknya, kita juga bisa mengumpulkan nilai plus dalam setiap diskusi. Sikap tenang dan emosi yang terkontrol dari calon pasangan bisa menjadi nilai plus. Apalagi ditambah dengan perkataan-perkataan sopan, nilai plusnya semakin meningkat.
Sangat berbahaya jika tetap memaksa meneruskan hubungan dengan seorang yang emosional. Apalagi dalam masa pacaran sudah berani membentak-bentak, memaki, terlebih "main tangan".
Hanya sayangnya, banyak orang yang menuup mata saat pacaran. Terjadi pada kaum hawa, khususnya.Â
Dengan alasan sudah telanjur cinta, enggan mengakhiri hubungan. Tetap keukeuh menikah meski mengetahui pasti calon suaminya seorang pemarah dan emosional.
Padahal, menjalani pernikahan tidak cukup dengan modal perasaan dan cinta. Apalagi cinta buta. Pikiran rasuonal juga harus dikedepankan.Â
Bila menutup mata dari segala kekurangan calon pasangan, bisa fatal akibatnya. Alih-alih surga, neraka yang dijumpai dalam pernikahan.Â
Temukan pasangan yang seimbang
Kita sering mendengar orang berkata, cari pasangan yang penting seiman.
Namun, saya mendengar seorang penasihat pernikahan pernah berkata, seiman saja ternyata tidak cukup. Bukan hanya seiman, kita juga sebaiknya menemukan pasangan yang seimbang dengan kita.
Karena pasangan yang seiman saja belum tentu seinbang. Misalkan saja, sama-sama Kristen. Seiman sih, tapi yang satu lebih suka pergi ke gereja, yang satu lebih suka ke diskotek. Tentu ini tidak seimbang. Jomplang sekali.Â
Atau seperti saya. Saya tidak suka laki-laki perokok. Maka ketika gadis dulu, saya mencari pria yang seiman, juga yang tidak merokok. Jadi seimbang, kami sama-sama tidak suka rokok.Â