Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kalau Bisa WFH, Kenapa Harus WFO?

16 Januari 2023   12:23 Diperbarui: 17 Januari 2023   12:20 1373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bekerja dan pekerjaan (FREEPIK/PRESSFOTO)

Harus diakui, pandemi COVID-19 telah membawa pergeseran dalam banyak sendi kehidupan. Salah satunya dalam hal bekerja. Kita jadi mengenal Istilah work from home (WFH) dan work from office (WFO). 

Selama pandemi, sebagian besar perusahaan dan instansi pemerintah menerapkan kebijakan WFH bagi karyawannya. Ada pula yang nenerapkan sistem hybrid, beberapa hari WFO dan beberapa WFH. 

Sejak September 2021 lalu, suami saya sendiri sudah kembali WFO, atau bekerja full di kantor. Sebelumnya, selama satu tahun lebih sejak awal pandemi pada 2020, perusahaan tempat suami bekerja menerapkan sistem kerja hybrid, yaitu 1-2 hari WFO dan 3-4 hari WFH. Bergiliran dengan karyawan lainnya. 

Work from office

Bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya, WFO berarti harus siap mengorbankan banyak hal.

Pertama, korban waktu. Kantor di Jakarta, rumah di luar kota, itu hal lumrah di Jakarta. Ya kan, rumah di Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, sementara "mencari makan" di Jakarta. 

Mungkin ada yang bertanya, Kenapa tidak membeli di rumah di Jakarta saja? Jawabannya simple, ya, karena harga rumah di Jakarta semakin hari semakin tidak masuk akal, tidak lagi terjangkau. Yang terjangkau ya hanya yang ada di kawasan penyangga Jakarta. 

Itulah sebabnya, sebagian besar warga yang berkantor di Jakarta, umumnya mau tidak mau, harus mengikhlaskan waktu hidupnya beberapa jam sehari untuk dihabiskan dalam perjalanan pergi dan pulang kantor. 

Suami saya rata-rata membutuhkan waktu 2, 5 hingga 3,5 jam di perjalanan pergi dan pulang kantor, menggunakan motor. Bila kota sedang diguyur hujan, perjalanan akan lebih lama lagi, bisa  hingga 2 jam untuk perjalanan pulang saja. Tiba di rumah bisa lebih dari pukul sembilan malam. 

Kedua, korban uang untuk ongkos, baik untuk biaya angkutan umum maupun untuk membeli bahan bakar bagi yang menggunakan kendaraan pribadi. Ongkos ini juga tidak main-main besarannya.

Ilustrasi WFH (ShutterStock via Kompas.com) 
Ilustrasi WFH (ShutterStock via Kompas.com) 

Seorang keponakan, mengeluarkan 30 ribu rupiah per hari hanya untuk ongkos perjalanan. Dia harus beberapa kali naik turun transportasi umum dari rumahnya di Bekasi ke kantornya di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.

Dengan enam hari kerja dalam seminggu, berarti dana yang harus dikeluarkan sebesar Rp 180.000,- per minggu. Jika dikalikan empat minggu, berati satu bulan menghabiskan Rp 720.000, hanya untuk biaya perjalanan! Belum lagi biaya makan siang dan kadang-kadang juga sarapan di kantor. WFO memang membutuhkan dana akomodasi yang tidak sedikit. 

Ketiga, korban fisik dan mental. Kelelahan menjadi makanan sehari-hari bagi mereka yang WFO. Bagaimana tidak lelah bila harus berada berjam-jam di perjalanan. Bukan hanya lelah fisik, bahkan mental pun rentan lelah akibat stres di perjalanan. Sudahlah lelah bekerja, berlelah-lelah lagi dalam perjalanan pulang ke rumah.

Tiba di rumah hanya tersisa sedikit tenaga untuk mandi dan makan. Tak lama langsung tertidur. Bahkan untuk sekadar bercengkerama dengan keluarga pun sudah tak ada daya lagi. 

Keesokan paginya, kala hari masih gelap harus sudah terjaga, langsung mandi, sarapan, dan berangkat kerja lebih awal demi menghindari kemacetan. Begitu rutinitas yang wajib dilakoni setiap hari. 

Diluar semua pengorbanan tersebut, WFO tetap membawa banyak keuntungan. Koordinasi dan kolaborasi tim dapat dengan mudah dikerjakan dari kantor daripada dari rumah. Tidak hanya itu, efektivitas dan produktivitas pekerjaan pun bisa dijaga dalam level sesuai target perusahaan. 

Work from home 

Bila melihat dari ulasan di atas, WFH jelas memberi beberapa keuntungan. Diantaranya bebas pengeluaran, baik pengeluaran untuk ongkos perjalanan maupun biaya makan. Ini artinya, ada pos pengeluaran yang bisa ditutup dan dialihkan ke pos lain atau bisa pula ditabung. 

Di samping itu, kondisi fisik dan mental mungkin bisa lebih baik, tidak perlu berlelah-lelah di perjalanan. Juga lebih banyak waktu yang bisa dihabiskan untuk berinteraksi dengan keluarga, suami/istri dan anak-anak. 

Waktu berjam-jam yang tadinya dihabiskan dalam perjalanan, bisa digunakan untuk quality time bersama keluarga tercinta.

Sebelum dan sesudah WFH, para suami pun bisa membantu pekerjaan istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga, momong anak, atau juga menemani anak belajar. 

Begitu pula para istri yang bekerja, sebelum dan sesudah WFH, bisa segera berjibaku dengan pekerjaan rumah yang belum kelar. 

Namun demikian, WFH juga meminta beberapa konsekuensi. Dibutuhkan kedisiplinan tingkat dewa untuk melakukan dan menghasilkan pekerjaan dengan kuantitas dan kualitas yang sama seperti bila WFO. 

Tetap bangun pagi seperti biasa layaknya WFO, tidak terlambat memulai pekerjaan, tetap fokus, dan sebisa mungkin tidak terganggu pada hal-hal yang bisa merusak konsentrasi bekerja.

Maksudnya disini, tidak boleh ada perbedaan jam kerja antara WFO dan WFH. Bila saat WFO, delapan jam sehari dengan satu jam istirahat, ya lakukan hal yang sama juga ketika WFH. 

Jadi intinya, WFH jangan dijadikan kesempatan untuk memanfaatkan jam kerja buat rebahan, berleha-leha, atau untuk kesenangan sendiri, apalagi sampai berpikir mumpung atasan tidak melihat. 

Bahkan sebaliknya, masa WFH bisa dimanfaatkan menjadi momen untuk menggali kreativitas dalam berkarya di luar pekerjaan utama, dengan memanfaatkan waktu sebelum dan sesudah WFH yang seharusnya dihabiskan untuk perjalanan pergi dan pulang kantor. 

***

Sebagai istri dan ibu rumah tangga, saya sendiri lebih suka bila suami WFH. Efek terbaiknya, kuantitas dan kualitas kebersamaan semakin meningkat. Dan tentu saja, pos pengeluaran berkurang, lumayan untuk nambah-nambahin buat beli segenggam berlian, hehe... 

Hanya sayangnya, jenis pekerjaan suami memang sulit dilakukan di rumah, terutama untuk saat ini. Kecuali bila suatu saat perusahaan mampu meng-up grade sistem dan sumber daya yang lebih baik dengan teknologi yang lebih canggih. Sehingga tanpa perlu ke kantor, karyawan bisa WFH, dan hasil pekerjaannya sama efektif dan produktif, tidak ada beda layaknya WFO. 

Akhir kata, WFO maupun WFH memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Setiap sistem memberikan konsekuensi berbeda, baik bagi perusahaan atau instansi yang mengadakan, maupun bagi pekerja. Tinggal bagaimana perusahaan dan karyawan mampu bergandengan tangan berkolaborasi sebaik mungkin demi kepentingan bersama. 

Intinya, kalau memang salah satu dirasa lebih baik dari lainnya, kenapa tidak? 

Maksudnya, kalau ternyata WFO lebih baik, ya ikuti saja WFO. Begitu pula sebaliknya, jika ternyata WFH lebih baik dan memang memungkinkan untuk dilakukan, kenapa tidak? Kenapa harus WFO kalau memang bisa WFH? (MW). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun